Komnas HAM Nilai Polri Berlebihan Tangani Demonstran
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Jakar - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai secara kasat mata Polri cenderung berlebihan dalam menangani gelombang demonstrasi 23-30 September di berbagai daerah. Mereka menyatakan sudah membentuk tim pemantau untuk mengumpulkan fakta terkait dugaan kekerasan yang dilakukan aparat.
Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, menyatakan tim pemantauan yang digawangi empat komisioner ini bekerja hingga dua bulan ke depan.
"Kami sudah menyampaikan, posisi dan penilaian Komnas HAM sudah jelas salah satunya tindakan berlebihan oleh aparat terhadap peserta demonstrasi. Memang ukuran formalnya diukur dari SOP, tapi kasat mata saja sudah melampaui apa yang sepantasnya," kata Hairansyah yang juga menjadi Ketua Tim Pemantauan di Jakarta, Jumat (11/10).
Hairansyah menambahkan, penilaian sementara Komnas HAM menemukan penanganan aksi pada pengujung September ini lebih parah dibanding aksi 21-22 Mei.
"Jadi kalau biasanya malam hari baru eskalasinya meningkat, tapi ini dari awal sudah ada represi. Bahkan yang di Makassar itu ketika massa aksi sudah mundur tapi mobil [polisi] tetap melaju dengan kecepatan tinggi," lanjut dia.
Tim pemantauan tersebut kini tengah bekerja mengumpulkan fakta dan bukti di sejumlah daerah di antaranya Kendari, Makassar juga Jakarta. Hairansyah juga terbuka untuk menerima data atau bukti tambahan dari koalisi masyarakat sipil.
Selain soal pengerahan kekuatan yang berlebihan, Hairansyah mengatakan Komnas HAM juga mengkritik sikap polisi yang seolah alergi dengan penyampaian aspirasi melalui demonstrasi. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata 'perusuh' dalam setiap penangkapan.
"Setiap orang yang berdemo itu disebut perusuh--ini sejak Mei lalu. Kami juga sudah tegaskan, kami bilang jangan mudah stigma setiap yang berdemo itu perusuh, kami juga sama cemasnya," ungkap dia.
Tagih janji
Lebih dari 40 kelompok elemen masyarakat sipil yang menamakan diri Aliansi rakyat Indonesia menagih komitmen untuk membentuk tim penyelidikan independen, untuk mengusut dugaan kekerasan aparat dalam menangani gelombang aksi.
Pengaduan diwakili lebih dari 30 anggota aliansi dari kalangan LSM, buruh dan mahasiswa.
Anggota aliansi yang juga anggota Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Simon mengungkapkan, tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat banyak ditemukan sepanjang unjuk rasa.
"Aksi kami 23 September itu kami sudah mau selesai, karena adzan maghrib maka kami sementara berhenti. Tapi saat menghentikan, kami dihujani gas air mata. Dan bukan itu saja , bahkan massa aksi dikejar sampai ke Atmajaya dengan gas air mata. Bahkan Atmajaya itu area tim medis," cerita Simon di ruang pengaduan Komnas HAM.
Sedangkan Ketua KASBI, Nining Elitos, mengatakan anggotanya jadi korban luka karena selongsong gas air mata yang ditembakkan polisi mengenai kepala.
"Karena kan ditembakkannya itu rendah sekali, sejajar dengan massa aksi," ungkap Nining saat ditemui di Kantor Komnas HAM.
Pemantauan aliansi menemukan tindakan represif aparat bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan daerah lain seperti Bandung dan Kendari. Pola represi aparat yang ditemukan aliansi di antaranya penembakan gas air mata, meriam air, pengerahan alat berat, pemukulan, pengadangan tim medis, intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, penyisiran, hingga perburuan massa aksi.
Di Bandung, pola yang mirip juga terjadi. Catatan aliansi menyebut setidaknya 331 orang menjadi korban luka dengan 36 di antaranya dilarikan ke rumah sakit karena luka serius.
Tim advokasi dari masyarakat sipil menerima sekitar 390 pengaduan per 3 Oktober 2019 terkait orang-orang yang belum jelas kabarnya setelah rangkaian aksi. Sebanyak 200 laporan orang 'hilang' adalah mahasiswa, 50 laporan mencari pelajar dan sisanya campuran--mulai dari karyawan hingga pedagang.
Maka dari itu Ketua LBH Jakarta yang juga tergabung dalam aliansi, Arif Maulana, mendesak Komnas HAM segera membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan masyarakat sipil. Selain itu ia juga menuntut proses penyelidikan yang transparan.
"Kami masih belum lupa kok dengan kasus 21-22 Mei, ada 9 orang yang ditembak, belum ada kabar, belum ada statusnya. Kami berharap tim ini berkerja secara independen, karena harus kami sampaikan bahwa sulit untuk percaya pada kepolisian ketika kepolisian dalam kasus ini adalah institusi yang diduga terlibat, berperan dalam dugaan pelanggaran HAM ini," tukas Arif.
Ketidakpercayaan terhadap polisi juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Advokasi LBH Pers, Gading Yonggar. Ia mengadu sempat dipersulit polisi saat melapor mengenai kekerasan yang menimpa jurnalis.
"Kecenderungannya penyidik mengarahkan ke masalah etik saja. Padahal jelas ada penganiayaan, pengeroyokan dan penghalangan akses jurnalis. Kami juga meminta Komnas HAM untuk memonitor penanganan kasus ini," kata Gading.
Gading menegaskan siap menyokong Komnas HAM dengan data, bukti juga keterangan saksi.
Sementara terkait usulan untuk membentuk tim penyelidikan independen, Hairansyah mengaku perlu membicarakan dengan komisioner lain. Ia menjanjikan akan melaporkan masukan aliansi saat rapat paripurna Komnas HAM. (im/CNNIndonesia)