Beranda / Berita / Nasional / Komnas HAM: Antisipasi Konflik Agama Potensi Muncul Jelang Natal dan Tahun Baru

Komnas HAM: Antisipasi Konflik Agama Potensi Muncul Jelang Natal dan Tahun Baru

Kamis, 24 Desember 2020 22:15 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: (Foto: Arsip Humas Kemenag)


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengantisipasi konflik beragama yang berpotensi muncul jelang Natal dan Tahun Baru.

Beka memprediksi, pelarangan perayaan Natal akan meningkat. Hal itu ia nilai terjadi akibat peran pemerintah daerah yang tak tegas menindak.

"Frekuensi pelarangan perayaan Natal meningkat, bukan hanya oleh masyarakat tapi kadang juga difasilitasi negara, dalam hal ini pemda. Ini harus jadi salah satu perhatian dan prioritas menag," katanya, Rabu (23/12).

Sampai saat ini, kata dia, Komnas HAM masih mencatat munculnya kasus intoleransi beragama di berbagai daerah. Kasus terbaru yang ditangani pihaknya terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

Beka mengungkap masyarakat Nasrani di sana merasa kebebasan beribadah dikekang karena penolakan masyarakat setempat. Pembatasan itu pun disebut didukung oleh pemerintah daerah.

"Ada kebijakan dari bupati yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, artinya tidak boleh mendirikan tempat ibadah," ceritanya.

Mendengar laporan tersebut, Komnas HAM berupaya memediasi korban dengan masyarakat setempat dan bupati. Ia mengatakan, kasus ini hanya salah satu dari sekian banyak sikap intoleransi di penjuru Tanah Air.

Berkaca pada kepemimpinan sebelumnya, Beka menyebut permasalahan intoleransi tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan politik dan keamanan. Namun harus memahami unsur hak konstitusional dari setiap warga negara.

"Harapannya menteri agama baru bisa membangun kerukunan umat beragama di dalam toleransi, dan menjamin hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di dalamnya kebebasan menjalankan ibadah," kata dia.

Ia menyarankan Yaqut berperan aktif dalam penyelesaian konflik beragama dan kasus pelarangan tempat ibadah di berbagai daerah.

Sebelumnya, hasil survei yang terbitkan Wahid Foundation pada Agustus 2019 mengungkap negara masih menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Dalam kurun waktu 2017-2019, terdapat 192 peristiwa dan 276 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dimana 138 pelaku pelanggaran tersebut adalah negara.

Survei menemukan 22 regulasi didapati diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu. Dengan 13 regulasi diantaranya mewajibkan warga melaksanakan shalat berjamaah, 6 mewajibkan memakai busana atau atribut beragama dan 3 mewajibkan membaca Al-Quran [cnnindonesia].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda