Selasa, 01 Juli 2025
Beranda / Berita / Nasional / Jangan Hanya Jadi Pasar! Indonesia Harus Jadi Pemain Utama AI Dunia

Jangan Hanya Jadi Pasar! Indonesia Harus Jadi Pemain Utama AI Dunia

Senin, 30 Juni 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menilai Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar teknologi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI). [Foto: Humas Komdigi]


DIALEKSIS.COM | Yogyakarta - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menilai Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar teknologi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI). Untuk berdaulat digital di tengah derasnya arus transformasi global, Indonesia harus menyiapkan ekosistem nasional yang kuat: dari riset dan pengembangan (R&D), komputasi, regulasi, hingga talenta digital unggul.

Nezar mengatakan bahwa salah satu jalan pembuka untuk menuju kedaulatan digital adalah Indonesia perlu membuat regulasi AI yang jelas di mana Atlas of AI harus menjadi pedoman dalam pembuatannya. Hal ini disampaikannya saat menjadi pembicara dalam acara “Mencapai Seabad Indonesia Merdeka” di Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta, Minggu (29/6/2025).

“Sebetulnya jelas sekali kalau kita ingin membuat satu regulasi dan lain sebagainya kita harus lihat geopolitik pengembangan AI ini. Atlas of AI itu harus jadi pedoman untuk membuat regulasi AI untuk Indonesia kalau kita mau teknologi yang berdaulat,” kata Nezar.

Indonesia, lanjut Nezar, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat strategis untuk industri chip dan komputasi AI global, seperti nikel, boron, hingga mineral penting lainnya. Namun, belum ada desain besar yang mampu menjadikan kekayaan tersebut sebagai bagian dari ekosistem global AI.

“Kita punya begitu banyak Sumber Daya Alam dan begitu banyak critical minerals seperti nikel, boron, dan mineral penting lainnya. Tapi belum ada desain besar untuk mengorganisir secara tepat bagaimana kita bisa bargaining dengan pusat-pusat pembangunan AI di dunia agar kita menjadi bagian dari ekosistem pengembangan AI dunia,” jelasnya.

Untuk memperkuat posisi Indonesia, Nezar menekankan pentingnya membangun pusat riset dan cluster komputasi dalam negeri yang kuat”baik dari sisi hardware, infrastruktur, maupun kapasitas data. Sebab, saat ini dana R&D Indonesia hanya 0,24% dari total GDP sehingga perjalanan menuju kedaulatan digital, khususnya di bidang AI, masih lambat.

“Nah tanpa R&D ini agak susah kita bisa mengembangkan AI yang berdaulat, AI yang milik kita sendiri. Untuk membangun semuanya dibutuhkan komputasi yang cukup kuat, infrastruktur yang mumpuni. Dua hal ini masih dalam perencanaan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nezar menjelaskan pentingnya kedaulatan AI bagi Indonesia karena AI dirumuskan dengan foundation model yang dibuat negara pengembangnya seperti Amerika Serikat sehingga data-data yang digunakan adalah nilai-nilai yang ada di barat, yang ‘membonceng’ nilai-nilai nyata saat dilatih.

“Alhasil, bias dalam data untuk dipakai oleh masyarakat di luar Amerika itu sering terjadi, termasuk juga stereotyping terhadap kelompok-kelompok tertentu, ras tertentu, bangsa tertentu itu terjadi di AI. Jadi itu membuktikan ya ada upaya untuk melakukan filtering dan lain sebagai macamnya sesuai dengan kepentingan yang ada,” tuturnya.

Menurut Nezar, ada tiga tantangan utama dalam transformasi digital Indonesia yang harus segera diatasi untuk bisa menjadi negara yang berdaulat digital yakni kesenjangan infrastruktur digital, ancaman serangan siber dan defisit talenta digital. Bahkan, Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital pada 2030, namun masih kekurangan 2,7 juta. Kesenjangan ini bisa menghambat seluruh proses transformasi.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pengembangan talenta digital menjadi hal yang sangat penting untuk menuju kedaulatan digital Indonesia. Ia yakin jika Sumber Daya Manusia-nya berkualitas, maka keterbatasan infrastruktur bisa ditaklukkan untuk membuat inovasi-inovasi dalam kemajuan teknologi digital.

“Sekali lagi talenta digital ini menurut saya proyek nomor satu, infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukan keterbatasan itu. China membuktikan itu dengan keterbatasan, begitu juga India juga dengan talenta-talenta yang baik mereka bisa lebih maju dalam adopsi teknologi digital ini,” tutur Nezar.

Nezar pun mengingatkan bahwa transformasi digital tidak boleh dilihat secara sektoral, melainkan sebagai ekosistem yang saling terkait: dari keamanan, ekonomi, pendidikan, hingga perlindungan nilai lokal.

“Jadi antara geopolitik, kepentingan pertahanan dan keamanan, antara pembangunan ekonomi digital, antara pendidikan, kesehatan, protecting local values, itu semuanya berada dalam satu ekosistem yang saling mengunci. Tidak boleh kita abaikan satu elemen pun karena dia akan merusak satu ekosistem itu,” pungkasnya. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI