Ini 4 Jenis Obat yang Diteliti untuk Sembuhkan Corona
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi masker dan obat virus corona. [Foto: dok. Shutterstock]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Jumlah pasien terinfeksi Covid-19 telah mencapai lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia. Berdasarkan data per 16 April 2020, sebanyak 2.089.617 orang positif corona.
Dari jumlah tersebut, 134.809 pasien meninggal dunia dan 516.202 dinyatakan sembuh.
Semenjak World Health Organization (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global, berbagai institusi dan lembaga berlomba-lomba untuk menemukan obat dan vaksin untuk penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini.
Namun selain menemukan obat yang spesifik menyembuhkan pasien Covid-19, para peneliti juga mencoba menguji kelayakan obat yang sudah ada dan beredar di pasaran.
Dihimpun Kompas.com, Jumat (17/4/2020), berikut 5 di antaranya:
1. Avigan
Avigan atau Favipiravir adalah obat antivirus dari Jepang yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang, yaitu Fujifilm Toyama Chemical, dan diproduksi oleh Zheijang Hisun Pharmaceutical.
Pada dasarnya, Avigan dikembangkan untuk mengobati virus influenza. Avigan tersebut diakui sebagai pengobatan eksperimental untuk pasien Covid-19.
Situs Live Science menyebutkan, Avigan secara khusus dibuat untuk mengobati virus RNA. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 memang memiliki materi genetik utama RNA, bukan DNA.
Obat ini menghentikan replikasi virus dengan melumpuhkan enzim yang disebut RNA Polimerase.
Menurut jurnal Proceedings of Japan Academy, Ser.B, dan Physical and Biological Science, tertulis bahwa tanpa adanya enzim utuh, virus tidak dapat menggandakan materi genetik secara efisien dalam sel inang.
Avigan menunjukkan hasil positif dalam uji klinis yang melibatkan 340 orang di Wuhan dan Shenzhen. Empat hari usai diberikan obat tersebut, para pasien Covid-19 dites kembali dan menunjukkan hasil negatif.
Meski begitu, setengah pasien yang dites menunjukkan hasil negatif lebih awal, dan setengahnya lagi lebih dari empat hari. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat obat Avigan.
Ahli melihat bahwa pasien baru dinyatakan negatif dalam kurun waktu 11 hari pasca-tertular.
Kondisi paru-paru yang ditunjukkan oleh sinar-X memperlihatkan adanya perbedaan besar antara pasien Covid-19 yang mengonsumsi Avigan dengan mereka yang tidak.
Pada pasien yang mengonsumsi obat Avigan tampak kondisi paru meningkat 91 persen. Sedangkan yang tidak mengonsumsi obat Avigan, kualitas paru meningkat hanya 62 persen.
Sementara itu, dalam uji coba di Wuhan, Avigan tampak memperpendek durasi demam pasien, dari rata-rata 4,2 hari menjadi 2,5 hari.
2. Klorokuin
Klorokuin fosfat (chloroquine phosphate) merupakan senyawa sintetis (kimiawi) yang memiliki struktur sama dengan quinine sulfate.
Quinine sulfate berasal dari ekstrak kulit batang pohon kina, yang selama ini juga menjadi obat bagi pasien malaria.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran (Unpad), Keri Lestari, mengatakan bahwa kedua struktur tersebut (quinine sulfate dan chloroquine phosphate) memiliki manfaat yang sama dalam proses penyembuhan penyakit malaria.
Klorokuin memang menjadi salah satu senyawa yang dianggap sebagai kandidat antivirus untuk Covid-19. Penelitian telah dilakukan oleh Wuhan Institute of Virology dari Chinese Academy of Sciences.
Penelitian tersebut dilakukan oleh ahli virologi Manli Wang bersama timnya, dan telah dipublikasikan dalam jurnal Nature. Berdasarkan penelitian awal, klorokuin dapat menghambat kemampuan virus baru untuk menginfeksi dan tumbuh di dalam sel saat diuji pada kera.
Situs Science News menyebutkan bahwa klorokuin dapat memblokir infeksi virus dengan mengganggu kemampuan beberapa virus, termasuk SARS-CoV-2, untuk memasuki sel.
“Klorokuin juga dapat membantu sistem kekebalan tubuh melawan virus tanpa jenis reaksi berlebihan, yang dapat menyebabkan kegagalan organ,” tutur para peneliti.
Pakar Farmakologi & Clinical Research Supporting Unit FKUI, dr Nafrialdi, sebelumnya menekankan perlunya uji klinis untuk dapat menetapkan klorokuin sebagai obat untuk melawan virus corona.
Nafrialdi juga memiliki kekhawatiran karena klorokuin sebagai obat antimalaria juga sudah tidak lagi digunakan karena banyaknya kasus resisten malaria di sejumlah wilayah, termasuk Papua. Kendati demikian, apabila memang klorokuin dapat menjadi obat bagi pasien Covid-19, maka itu merupakan sinyal awal.
“Itu mungkin hanya sinyal awal, tapi jangan langsung diterjemahkan bisa langsung dipakai. Perlu dilakukan serangkaian uji klinis untuk bisa menyatakan obat antimalaria menjadi obat virus corona,” tutur Nafrialdi kepada Kompas.com, Kamis (12/3/2020).
Namun baru-baru ini, sekelompok peneliti di Brasil menghentikan tes uji klorokuin terhadap pasien Covid-19. Ini karena sekelompok pasien yang mengonsumsi klorokuin dalam dosis tinggi mengalami kelainan ritme jantung yang serius.
3. Remdesivir
Remdesivir adalah obat antivirus yang berhasil menyembuhkan infeksi virus Ebola. Remdesivir adalah salah satu obat yang direkomendasikan WHO untuk diuji oleh para peneliti dalam menyembuhkan Covid-19.
Remdesivir telah terbukti melawan virus SARS-CoV-2 pada tikus yang terinfeksi. Obat ini juga telah diuji pada manusia yaitu di Amerika Serikat, namun butuh responden lebih banyak untuk memastikan.
4. Kombinasi lopinavir dan ritonavir
Selain klorokuin dan remdesivir, WHO juga mengetes obat kombinasi lopinavir dan ritonavir. Kombinasi ini bekerja dengan baik untuk melawan virus HIV.
Kombinasi obat ini bekerja langsung pada protein inti virus yang disebut protoase. Sama seperti remdesivir, kombinasi ini juga berhasil diuji pada tikus. (Kompas)