kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Hasil Investigasi, Desa di Konawe Tidak Fiktif Tapi Cacat Hukum

Hasil Investigasi, Desa di Konawe Tidak Fiktif Tapi Cacat Hukum

Senin, 18 November 2019 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Dirjen Bina Pemerintah Desa Kemendagri, Nata Irawan, saat membeberkan hasil temuan tim investigasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dalam konferensi pers di Operation Room gedung B Kemendagri, Jakarta, Senin (18/11/2019). [Foto: Puspen Kemendagri]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sesuai janji sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pemerintahan Desa akhirnya membeberkan hasil temuan tim investigasi yang telah diterjunkan ke Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dalam konferensi pers di Operation Room Gedung B Kemendagri, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Dalam paparannya, Dirjen Bina Pemerintah Desa Kemendagri, Nata Irawan menegaskan, empat desa di Kabupaten Konawe tidak fiktif keberadaannya, namun tata kelola pemerintahannya tidak optimal karena cacat hukum.

"Kita garis bawahi tidak fiktif, desa tersebut ada," tegasnya. 

Nata menambahkan, "Oleh karenanya kami lihat di lapangan, desa tersebut ada dan tidak fiktif. Hasil temuan yang kami dapat, ternyata desa tersebut ada tetapi tidak berjalan tata kelola pemerintahannya secara optimal."

Hasil verifikasi kondisi riil di lapangan baik secara historis dan sosiologis dipastikan bahwa 56 desa tersebut ada. 

Namun Tim mendapatkan data dan informasi bahwa penetapan Perda Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa dalam Wilayah Kabupatan Konawe tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

"Kami sepakat betul Perda yang dilakukan Bupati Konawe cacat hukum, karena tidak melalui mekanisme dari DPRD. Oleh karenanya harus kita perbaiki, benahi administrasinya," ujarnya.

Register Perda di Sekretariat DPRD Kabupaten Konawe yakni Perda Nomor 7 tahun 2011 tersebut adalah Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010. 

Karenanya, 56 desa yang tercantum dalam Perda tersebut secara yuridis dikatakan cacat hukum, sehingga diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. 

Dia menyebutkan, 56 desa tersebut baik Kepala Desa maupun Perangkat Desanya telah diminta keterangan dan didalami lebih lanjut oleh pihak berwajib yaitu Polda Sulawesi Tenggara.

"Sesuai MoU antara Mendagri dan Kapolri, kalau menyangkut aspek hukum, akan dilakukan proses hukum. Kalau dalam 60 hari setelah ditangani APIP, seandainya ada cacat hukum dan administrasi maka sepenuhnya atas izin Mendagri, Aparat Penegak Hukum (APH) dapat mengambil langkah," kata Nata.

Fakta yang didapatkan dari klarifikasi dan pendalaman keterangan dari pihak yang berwajib terdapat 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa, selanjutnya 18 desa masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana dan prasaran desa. 

Sedangkan empat desa yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma ditemukan dalam proses pendalaman hukum lebih lanjut dikarenakan empat desa tersebut terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa. 

Hasil kelanjutan pendalaman dari empat desa tersebut, dua desa yaitu Desa Wiau Kecamtan Routa dan Desa Napooha Kecamatan Latoma masih perlu dilakukan pendalaman secara intensif.

Terkait anggaran, Tim mendapatkan data dan informasi bahwa empat desa tersebut telah disalurkan Dana Desa (DD) dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) sebesar Rp.9.327.907.054. Namun demikian baru sebesar Rp.4.350.045.854 atau (47%) yang telah disalurkan dari RKUD ke-4 Rekening Kas Desa (KUD), sehingga masih tersisa dalam RKUD sebebsar Rp.4.977.861.200 atau (53%). 

"Selanjutnya sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2018 ADD atau Bantuan Keuangan telah dianggarkan di APBD dan disalurkan kepada empat Desa tersebut sebesar Rp.899.102.180," beber Nata.

Tim juga mendapatkan aktivitas pemerintahan desa tidak berjalan dengan baik karena Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 

Hal tersebut dipicu adanya kesenjangan antar Kepala Desa beserta perangkatnya terhadap penghasilan yang diterima oleh pendamping lokal desa yang notabene tidak membantu dan tidak selalu hadir di lapangan.

"Tim mendapatkan data dan informasi dari Perangkat Desa yang dapat ditemui bahwa pembinaan secara menyeluruh terkait dengan Tata Kelola Pemerintahan Desa tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah baik Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat maupun Bupati sebagai Pembina langsung Pemerintahan Desa di Kabupen Konawe," imbuhnya.

Terhadap 56 desa tersebut, berdasarkan Permendagri Nomor 56 Tahun 2015 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, disebutkan jumlah Desa di Kabupaten Konawe sebanyak 241 desa. 

Selanjutnya dua tahun kemudian berdasarkan Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 jumlah desa menjadi 297, atau ada penambahan sebanyak 56 desa. 

Dasar penambahan desa tersebut adalah Surat Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 140/3188 tanggal 10 Juli 2015 perihal Rekomendasi Kode Wilayah Desa di Kabupaten Konawe.

Mempedomani Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa disebutkan dalam Pasal 116 Ayat (1) menyatakan desa yang sudah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetap diakui sebagai desa. 

"Maka 56 desa tersebut secara historis dan sosiologis sah sebagai desa," pungkasnya.

Paparan tersebut berdasarkan hasil investigasi Tim Gabungan Kemendagri yang terdiri dari Inspektorat Jenderal, Ditjen Bina Pemerintahan Desa, Ditjen Bina Administrasi Wilayah, dan Biro Hukum Setjen Kemendagri. 

Tim bertugas melakukan kunjungan langsung ke lapangan, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten Konawe, Polda Sulawesi Tenggara, serta mencari data, informasi dan fakta lapangan terkait dengan 56 desa yang diindikasikan bermasalah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.(me/rel)



Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda