Hardianto Akui Tidak Antusias dengan Kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Aceh - Akademisi Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS), Hardianto Widyo Priohutomo dengan lantang mengaku tidak mendukung kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia. Mahasiswa yang sejatinya masih dari kalangan muda secara alamiah belumlah bisa diatur-atur dalam konteks kedisiplinan organisasi yang solid.
“Perserikatan setingkat partai politik butuh kedewasaan politik yang sangat tinggi di tengah dinamika sekarang ini. Terkhusus untuk mahasiswa, menurut saya mahasiswa masih belum mampu mencapai level tersebut,” ujarnya kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (24/4/2022).
Bukan tanpa alasan Hardianto menyatakan demikian. Merujuk pada partai-partai yang diisi anak muda seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), komposisi pergerakannya masih kasak-kusuk tidak beraturan serta berantakan dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Bahkan, lanjut dia, di tingkat generasi tua seperti Amin Rais dengan Partai Ummat malah menyebabkan beberapa kader mundur. Oleh sebab itu, Hardianto menegaskan, kedewasaan politik sangatlah penting ketika mau membangun sebuah parpol.
Kemudian, Hardianto dengan lantang juga mengaku tidak antusias dengan kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia. penyebabnya, karena peran mahasiswa merupakan harapan bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Mahasiswa, kata dia, merupakan kelompok yang biasa turun ke jalan dan berani menyuarakan aspirasi rakyat. Citra yang sudah melekat kepada mahasiswa ialah pahlawan bagi masyarakat kecil. Tetapi, bila mahasiswa bikin partai, siapa lagi yang akan menjadi perwakilan rakyat.
Sekarang ini, jelas Hardianto, masyarakat rata-rata agak anti dengan parpol. Saat ditanya mengapa, ia menjawab karena banyak politisi yang mengabaikan konstituen. Sehingga jalan keluar yang dipilih warga untuk menyampaikan aspirasi ialah melalui mahasiswa.
Menurutnya, pilihan yang tepat bagi mahasiswa berjuang ialah menjadi seorang civil society, tidak di partai politik.
Sementara itu, berhubung Partai Mahasiswa Indonesia sudah berbadan hukum, Akademisi Ilmu Politik UNAS ini mengatakan, alangkah baiknya partai tersebut tidak usah dibangun. Ia menduga, ke depan orientasi Partai Mahasiswa Indonesia akan menjadi sebuah partai yang serba nanggung.
Semisal, kata dia, ketika kadernya adalah mahasiswa, terus kader tersebut tidak mampu menyelesaikan studi karena keasyikan berpolitik di partai, maka kader tersebut akan dipertanyakan kedewasaan berpolitiknya. Karena studi saja diabaikan.
“Mendingan mahasiswa itu mereka selesaikan kuliahnya. Begitu mereka tamat, mereka terjun ke masyarakat menjadi seorang idealis. Memutus mata rantai pada hal-hal yang negatif di politik seperti korupsi, nepotisme, dan oligarki,” ungkapnya.
Hal itulah yang menurut Hardianto penting untuk menjadi fokus mahasiswa. Jangan sampai mahasiswa dengan membangun sebuah parpol menjadi bagian dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Meski demikian, Hardianto menegaskan sependapat jika perserikatan di Indonesia dijamin dalam konstitusi. Karena siapa saja memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat.
Namun, yang ia harapkan ialah fenomena hadirnya Partai Mahasiswa Indonesia ini bukanlah upaya untuk mendegradasi demokrasi di Indonesia. Apalagi di tambah dengan kabar jika pengurus Partai Mahasiswa Indonesia banyak tidak dikenali oleh mahasiswa.
“Apapun itu, perlu kita waspadai. Kita nggak mau lagi kembali ke jaman Orde Baru. Kita ingin negara ini semakin matang demokrasinya, bukan demokrasi yang hanya legal formal,” tuturnya.
Di sisi lain, saat ditanya dengan pengalaman partai-partai yang berangkat dari profesi, menurutnya Partai Mahasiswa Indonesia ini sangat jauh korelasinya dengan Partai Buruh Indonesia.
“Kesannya sama-sama berangkat dari akar rumput, tetapi tidak ada kaitannya. Indikasi dari nama pengurus saja tidak terdeteksi oleh mahasiswa. Jangan-jangan hanya sebuah identitas yang dibangun oleh politisi lain. Pertanyaannya, siapa pemegang tangannya,” ungkapnya.
Di akhir tanggapan, Hardianto Widyo Priohutomo menyampaikan dua hal. Pertama, akademisi politik perlu cermat memerhatikan gejala-gejala kemunduran demokrasi. kemunduran substantif seperti munculnya pengganggu yang mencoba menghancurkan demokrasi dari dalam dan luar.
Kedua, masyarakat harus peka kalau kedaulatan rakyat bukanlah kedaulatan penguasa. Masyarakat punya hak untuk mengontrol pemerintahan. Dalam konteks good governance (tata pemerintahan yang baik), masyarakat berhak mengkritisi kebijakan.
“Namun sayang, kesadaran-kesadaran ini yang semakin menumpul. Masyarakat tidak peka kalau gaji yang mereka hasilkan, harga makanan mereka santap, sangat ditentukan oleh kebijakan politik,” pungkasnya.(Akhyar)