DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Keputusan Presiden Republik Indonesia yang mengembalikan empat pulau sengketa ke wilayah administratif Aceh memang disambut lega oleh masyarakat. Namun, di balik kabar baik tersebut, suara kritis tetap menggema dari kalangan mahasiswa dan aktivis. Aliansi Gerakan Aceh Menggugat (GAM) menilai bahwa pengembalian pulau bukan akhir dari persoalan. Mereka mendesak agar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Safrizal ZA dicopot dari jabatannya.
“Empat pulau memang telah kembali ke pangkuan Aceh, tapi luka di hati rakyat belum tertutup. Ini bukan sekadar soal permintaan maaf, ini soal akuntabilitas pejabat negara,” tegas Sahirman, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Teuku Umar (FEB UTU), dalam orasi aksi damai di Meulaboh, Senin (23/6/2025).
Menurut Sahirman, keputusan Kemendagri yang sempat mengalihkan empat pulau ke Sumatera Utara tanpa konsultasi publik dan tanpa transparansi adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat otonomi khusus Aceh. Ia menilai tindakan tersebut sembrono, dan berdampak besar pada ketegangan sosial serta polarisasi antardaerah.
“Ini bukan cuma soal administrasi, ini soal harga diri dan martabat Aceh. Keputusan Tito justru menciptakan api perpecahan, bukan merawat persatuan. Ia tidak layak lagi menjabat Mendagri,” ujarnya lantang di hadapan peserta aksi.
Dalam pernyataannya, Sahirman menyebut Tito sebagai aktor utama dari kegaduhan yang nyaris memicu gesekan sosial horizontal antarwarga. Ia bahkan menyebut tindakan tersebut sebagai pelecehan terhadap Aceh, seolah Aceh hanya daerah pinggiran yang bisa diatur tanpa pertimbangan.
Sahirman menegaskan, keputusan presiden yang membatalkan pengalihan empat pulau memang patut diapresiasi. Namun, jika pejabat tinggi seperti Mendagri dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan dibiarkan tanpa sanksi, maka praktik serupa bisa saja terulang di masa depan.
“Jika Tito tidak diberi sanksi, ini menjadi preseden buruk. Wilayah lain bisa mengalami nasib yang sama. Rakyat harus tahu, negara ini punya sistem, bukan mainan pejabat,” ucapnya.
Ia menilai ketegasan Presiden diperlukan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa negara hadir secara adil dan berani bertindak tegas terhadap pejabat yang melampaui batas.
Dalam kesempatan itu, Sahirman menyerukan kepada seluruh mahasiswa di Aceh dan secara nasional agar terus mengawasi jalannya pemerintahan, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan kedaulatan wilayah dan keadilan regional.
“Pemulihan nama Aceh tidak cukup hanya dengan mengembalikan peta. Harus ada sikap politik dari presiden, harus ada tindakan nyata. Copot dua pejabat ini sekarang juga, atau ke depan banyak daerah lain akan mengalami hal serupa karena tidak ada sanksi,” katanya menutup orasi.