Senin, 10 November 2025
Beranda / Berita / Nasional / Dr Iswadi: Aceh dan Ironi Penghargaan Pahlawan Nasional 2025

Dr Iswadi: Aceh dan Ironi Penghargaan Pahlawan Nasional 2025

Senin, 10 November 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Dr. Iswadi, seorang akademisi dan pemerhati sejarah. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Penetapan gelar Pahlawan Nasional 2025 kembali menjadi sorotan publik, khususnya dari kalangan masyarakat Aceh. Dari sejumlah nama tokoh yang diumumkan pemerintah, tak satu pun berasal dari Tanah Rencong sebuah daerah yang sejak awal dikenal sebagai Daerah Moda bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiadaan nama tokoh asal Aceh dalam daftar penerima gelar tahun ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk Dr. Iswadi, seorang akademisi dan pemerhati sejarah. Ia menilai keputusan tersebut mencerminkan ironi sekaligus ketidakadilan dalam cara negara menghargai jasa para pejuang daerah.

"Aceh disebut sebagai daerah modal NKRI, tetapi dalam penghargaan setinggi gelar pahlawan nasional, tak satu pun putra atau putri Aceh yang diakui tahun ini. Ini ironi yang menyakitkan,” ujar Dr. Iswadi dalam pernyataan yang disampaikan kepada wartawan, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, istilah daerah modal bukanlah tanpa alasan. Aceh memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan republik. Mulai dari perlawanan terhadap kolonial Belanda yang gigih dan berdarah darah hingga dukungan besar terhadap pemerintahan Indonesia di awal kemerdekaan. Namun, kenyataannya, dalam proses penetapan gelar Pahlawan Nasional tahun ini, peran besar Aceh seakan terhapus dari perhatian pusat.

Dr. Iswadi mencontohkan, sejak masa penjajahan, rakyat Aceh telah berjuang mempertahankan martabat dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan Tgk. Chik Ditiro memang telah diakui sebagai pahlawan nasional. Tetapi, menurutnya, masih banyak tokoh Aceh lain yang memiliki jasa besar namun belum pernah diangkat oleh negara.

"Sejarah Aceh bukan hanya berhenti pada nama-nama itu. Ada ratusan ulama, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat yang punya andil besar, baik dalam perjuangan fisik maupun diplomasi. Banyak di antara mereka yang belum mendapatkan tempat dalam sejarah nasional,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa dukungan Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia tidak hanya bersifat moral, tetapi juga nyata dalam bentuk materi. Salah satu bukti sejarah yang paling dikenal adalah sumbangan rakyat Aceh untuk membeli pesawat Dakota RI-001 Seulawah, yang kemudian menjadi cikal bakal maskapai Garuda Indonesia.

"Kontribusi Aceh terhadap republik ini sangat besar. Tanpa bantuan dan dukungan rakyat Aceh, mungkin perjalanan bangsa ini tidak akan semulus sekarang. Tapi sayangnya, pengakuan dari negara terhadap jasa-jasa itu sangat minim,” lanjutnya.

Dr. Iswadi menilai bahwa mekanisme penetapan gelar pahlawan nasional sering kali tidak mencerminkan pemerataan dan keadilan sejarah. Ia menuding adanya kecenderungan bahwa tokoh-tokoh yang diangkat kerap berasal dari daerah yang memiliki pengaruh politik lebih besar di tingkat nasional.

“Sering kali, siapa yang menjadi pahlawan bukan ditentukan oleh seberapa besar perjuangannya, tetapi seberapa kuat jaringan dan dukungan politik di tingkat pusat. Ini tentu tidak adil,” kata Iswadi.

Lebih jauh, ia menekankan pentingnya transparansi dan objektivitas dalam proses seleksi gelar pahlawan. Menurutnya, sejarah bangsa harus dibaca secara lebih jujur dan inklusif, tidak hanya berpusat pada daerah tertentu saja.

“Pahlawan sejati tidak mengenal batas wilayah atau kepentingan politik. Mereka berjuang untuk bangsa dan kemanusiaan. Karena itu, penghargaan terhadap jasa mereka seharusnya bersifat nasional, bukan hasil kompromi politik,” ujarnya.

Kritik Dr. Iswadi juga berakar dari keprihatinan yang lebih luas: semakin pudarnya kesadaran nasional terhadap peran Aceh dalam sejarah republik. Ia mengingatkan bahwa pengabaian semacam ini bisa berdampak pada generasi muda yang kehilangan kebanggaan terhadap sejarah daerahnya sendiri.

“Kalau anak anak muda Aceh tidak lagi melihat teladan dari para pahlawan asal daerahnya, bagaimana mereka bisa merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia? Pengakuan negara bukan hanya soal gelar, tapi soal menanamkan rasa memiliki terhadap bangsa,” ucapnya.

Selain itu, Dr. Iswadi berharap agar pemerintah pusat dan daerah bisa berkolaborasi lebih baik dalam mengusulkan nama nama tokoh Aceh yang layak mendapat gelar pahlawan. Ia menilai masih banyak tokoh yang belum digali secara mendalam, baik dari masa perjuangan fisik, tokoh ulama, maupun pejuang sosial dan pendidikan.

Aceh punya sejarah yang kaya. Dari masa Kesultanan Aceh, perjuangan melawan kolonial, hingga masa kemerdekaan. Semua periode itu melahirkan tokoh luar biasa. Tinggal kemauan politik dan keseriusan kita untuk memperjuangkannya di tingkat nasional,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa penghargaan kepada para pahlawan bukan hanya tentang masa lalu, melainkan tentang membangun masa depan yang berakar pada penghormatan terhadap sejarah.

“Kalau negara ingin tetap kokoh, maka harus belajar menghargai setiap daerah yang menjadi fondasinya. Aceh sudah berkorban banyak untuk republik ini. Sudah sepatutnya, pengorbanan itu tidak diabaikan,” pungkasnya dengan nada tegas. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI