Beranda / Berita / Nasional / Dosen UI Beberkan Masalah di Aturan OJK Terkait Janji Keringanan Kredit

Dosen UI Beberkan Masalah di Aturan OJK Terkait Janji Keringanan Kredit

Senin, 13 April 2020 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). [Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Keinginan Presiden Jokowi mengatasi dampak virus corona ke perekonomian, termasuk bagi para nasabah penerima kredit bank dan lembaga pembiayaan, direspons cepat oleh Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Salah satu yang diatur, adalah soal pemberian keringanan kredit kepada bank dan lembaga pembiayaan.

Sayangnya dalam pelaksanaan di lapangan, banyak nasabah mengeluhkan susahnya mendapat keringanan kredit ini. Para pengemudi ojol atau ojek online yang tergabung dalam Garda misalnya, menilai syarat untuk mendapat keringanan itu terlalu birokratis.

“Kelonggaran kredit atau relaksasi kredit itu terlalu bertele-tele birokrasinya, terlalu rumit untuk temen-temen ojol. Jadi persyaratannya terlalu banyak, akhirnya banyak yang tidak bisa mengajukan,” kata Igun saat dihubungi kumparan, Selasa (7/4/2020).

Aturan soal keringanan kredit itu sendiri, merupakan bagian dari Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Pakar Hukum Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Arman Nefi, mengapresiasi cepatnya OJK dalam menerbitkan aturan tersebut.

Sayangnya seperti yang dikeluhkan para nasabah penerima kredit, Arman pun melihat banyak masalah di lapangan yang belum terjawab oleh POJK tersebut. Padahal POJK itu sudah berjalan hampir sebulan, yakni ditetapkan tanggal 13 Maret 2020 dan diundangkan 16 Maret 2020.

"Ternyata masih banyak hal-hal yang tidak mampu dijawab di lapangan. Indah pada keterangan-keterangan pejabat di publik, tapi tidak memberikan kelegaan kepada pihak-pihak yang terdampak dan juga baru disadari ada kekurangan dan kelemahan setelah peraturan (kebijakan) diundangkan dan diberlakukan," kata Arman melalui pernyataan tertulis yang diterima kumparan, Minggu (12/4/2020).

Dia pun mendorong OJK untuk bisa berbesar hati, melakukan sejumlah revisi yang diperlukan. Arman kemudian membeberkan sejumlah masalah dalam Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020.

Pertama, pada bagian MENIMBANG bagian (a), telah disampaikan dengan baik, bahwa perkembangan penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) secara global telah berdampak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dan kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pembiayaan. Seharusnya ini konsisten penggunaan kata-kata pada saat dipakai dalam peraturan ini sampai selesai. Tapi yang kita temukan hanya kata dampak, atau jalan keluarnya dibuat di ketentuan umum pengertian DAMPAK, sehingga terhindar dari ketidakkonsistenan.

Kedua, pada Pasal 2 ayat (1) kata dampak ini sudah langsung diuji dengan isi pasalnya, Bank (dan seharusnya juga dengan Perusahaan Pembiayaan) dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah. Hal ini terbuka menjadi penafsiran masing-masing yang berkepentingan, sudah jelas Pihak Bank dan Perusahaan Pembiayaan akan bersikukuh, ini bukan kewajiban (baca kata 'dapat') dan hanya untuk yang positif Covid-19. Di sisi lain debitur juga tidak boleh dan tidak elok memanfaatkan situasi (moral hazard) dalam rangka win-win solution.

Ketiga, POJK ini hanya berlaku untuk Bank Umum Konvesional, Bank Umum Syariah, Unit-Unit Syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Padahal pada bagian menimbang tadi sudah disebutkan kredit atau pembiayaan. Untuk pinjaman lewat Perusahaan Pembiayaan (Leasing) POJK Nomor 11 Tahun 2020 tidak mengatur. Perusahaan Pembiayaan dan Debitur yang terkait Leasing hendak mengadu kemana?, sebaiknya dimasukkan dalam pasal-pasal POJK ini untuk kepastian hukum, atau ada POJK yang lain?

Keempat, Apabila tentang Leasing ini dimasukkan, sebaiknya di bagian mengingat ditambahkan PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29/POJK.05/2014 TENTANG Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, demikian halnya di Ketentuan Umum, karena POJK Nomor 29 Tahun 2014 berlaku untuk kondisi normal, tidak ada pasal-pasal yang mengatur secara spesifik yang berkaitan dengan Covid-19.

Kelima, Perlu ada kebijakan yang bersifat umum (general) dan bersifat khusus. Yang bersifat umum misalnya untuk seluruh pinjaman kredit mendapatkan pengurangan bunga/ pengurangan biaya titipan dan seterusnya (istilah-istilah dalam syariah) sekian persen. Hal ini harus diputuskan dengan suasana batin, bahwa ini adalah kondisi darurat.

Karena semua Pihak saat ini baik langsung maupun tidak langsung terdampak dengan wabah Covid-19 dan agar debitur tidak perlu semuanya berbondong-bondong mengajukan permohonan, mengisi formulir, dianalisis dulu, menunggu keputusan, keberatan dan seterusnya yang membuat tujuan keringanan kredit tidak tercapai. Padahal waktu, ketidakpastian, dan situasi cepat berubah. Sementara untuk yang khusus, setuju pemberlakuannya seperti yang telah diatur dalam POJK No 11 Tahun 2020.

Keenam, Jika usulan yang kelima dapat diterima maka akan lebih efektif pemberlakuan Jenis Sektor Ekonomi yang terdampak yang terdapat pada lampiran POJK Nomo11 Tahun 2020 (a. pertanian, kehutanan, dan perikanan; b. pertambangan dan penggalian; c. industri pengolahan; d. konstruksi; e. perdagangan besar dan eceran, reparasi, dan perawatan mobil dan sepeda motor; f. pengangkutan dan pergudangan; g. penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum; h. agen perjalanan; i. kesenian, hiburan, rekreasi; atau j. lainnya (sebutkan)).

Jika tidak, ini akan menjadi perdebatan yang berkepanjangan antara kreditur dan debitur, karena pada kenyataannya dampak virus corona ini terjadi baik langsung maupun tidak langsung, terhadap semua sektor ekonomi. (Kumparan)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda