Aceh Kelebihan 22 Ribu Guru, Wapres Gibran Nilai Zonasi Butuh Evaluasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. [Foto: Tangkapan layar akun youtube Sekretariat Wakil Presiden]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya mengenai program zonasi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Meski mengakui tujuan baik dari program ini, Gibran menyoroti sejumlah tantangan yang masih dihadapi, terutama terkait dengan ketidakmerataan jumlah guru di berbagai wilayah.
Dilansir media dialeksis.com dalam akun youtube Sekretariat Wakil Presiden, Senin (11/11/2024), dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah, Gibran menegaskan bahwa zonasi bertujuan untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh siswa.
Namun, implementasinya belum sepenuhnya berjalan mulus, terutama karena adanya ketidakseimbangan jumlah guru di sejumlah daerah. Ketika memberikan arahan, ia mengatakan,
“Jadi Bapak Ibu, zonasi ini program yang baik, tapi silakan nanti Bapak Ibu selama rakor mungkin bisa memberi masukan, karena jumlah guru kita itu belum merata," ujarnya.
Menurut Gibran, zonasi adalah langkah penting untuk memastikan semua anak Indonesia memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas di dekat domisili mereka.
Namun, ketidakseimbangan jumlah guru mengakibatkan beberapa daerah memiliki surplus tenaga pengajar, sementara yang lain kekurangan.
Di Aceh, misalnya, terdapat kelebihan 22.089 guru, sedangkan di provinsi padat seperti Jawa Barat kekurangan sekitar 54.907 guru.
Kondisi ini, lanjutnya, menjadi pekerjaan rumah besar bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang harus diselesaikan segera.
“Zonasi sekali lagi ini program yang baik, tapi mungkin belum bisa diterapkan di semua wilayah,” tambahnya.
Selain masalah distribusi guru, Gibran juga menyinggung sejumlah tantangan lain yang mengiringi kebijakan zonasi. Salah satunya adalah meningkatnya perpindahan domisili yang kerap terjadi menjelang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Praktik ini menjadi persoalan serius, sebab banyak keluarga yang pindah secara administrasi demi memastikan anak-anak mereka masuk ke sekolah yang dianggap lebih unggul dalam zonasi tersebut.
Hal ini, menurut Gibran, berdampak pada efektivitas zonasi dan menciptakan ketidakadilan bagi siswa yang tinggal di kawasan tersebut secara permanen.
Masalah ketidakmerataan fasilitas pendidikan juga menjadi sorotan. Gibran menilai, beberapa sekolah di daerah masih kekurangan fasilitas dan sarana belajar yang memadai, sehingga menciptakan kesenjangan kualitas antara sekolah di satu zona dengan yang lainnya.
Tantangan ini membuat program zonasi, yang sejatinya mengupayakan kesetaraan, belum sepenuhnya optimal dalam pelaksanaannya.
Gibran kemudian mengungkapkan pengalaman pribadinya saat menjabat sebagai Wali Kota Solo. Ia menceritakan bahwa banyak orang tua dan masyarakat yang menyampaikan keluhan terkait program zonasi, mulai dari sulitnya mendapatkan sekolah terdekat hingga kurangnya fasilitas pendidikan yang layak di sejumlah sekolah.
“Keluhan-keluhan itu sering muncul setiap tahun. Masyarakat ingin yang terbaik bagi anak-anaknya, tetapi zonasi terkadang menimbulkan tantangan bagi mereka yang merasa tidak punya pilihan selain menerima sekolah di zona mereka, meskipun kualitasnya tidak setara dengan sekolah lain,” ungkapnya.
Gibran berharap adanya masukan dari para pemangku kepentingan dalam rapat koordinasi tersebut untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada.
"Saya berharap kebijakan zonasi ini bisa terus dievaluasi dan disempurnakan, agar benar-benar mampu memberikan akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia," pungkasnya. [nh]