kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / 6 Poin Kunci dalam RUU PKS yang Masuk Prolegnas Prioritas 2021

6 Poin Kunci dalam RUU PKS yang Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Kamis, 14 Januari 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi RUU PKS [Dok.joss.co]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. Sebelumnya Komnas Perempuan mengusulkan RUU PKS sejak 2012.  

Namun DPR baru meminta naskah akademiknya pada 2016. Sebelumnya pada 2020, DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari prioritas prolegnas.

"Tinggal menunggu masuk masuk penjadwalan di Baleg DPR, tapi karena sudah masuk Prolegnas Prioritas, paling lambat satu tahun ini sudah kembali dibahas karena itu kan satu tahunan ya," kata Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka dikutip dari web resmi DPR RI, Rabu (13/1/2021).

Kasus kekerasan selama 2020

Komnas Perempuan menilai, RUU PKS mendesak untuk segera disahkan. Apalagi setelah melihat kasus kekerasan selama pandemi Covid-19 tidak juga surut.

Komnas mencatat, sepanjang 2020 sebanyak 4.849 orang mengalami kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual memiliki kecendrungan meningkat. Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor menilai bahwa RUU PKS penting untuk segera disahkan.

“Yang kita usulkan ini relatif lebih lengkap ya. Bahwa ada enam elemen kunci yang kita sebut sebagai keunggulan RUU tentang penghapusan kekerasan seksual,” kata Maria saat dihubungi Kompas.com pada Selasa (12/1/2021).

1. Pencegahan kekerasan seksual

Selama ini kekerasan seksual dipisahkan dalam 5 undang-undang yang berbeda. Kelimanya, yaitu UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Selain mencakup aspek pidana, pelaku diberikan hukuman, di situ juga diatur tentang bagaimana upaya penghapusan kekerasan seksual,” ujar Maria.

Selain itu, menurut Komnas Perempuan, tindak pencegahan perlu dilakukan agar dapat menekan angka kekerasan seksual yang semakin tinggi.

Maria menerangkan bahwa pencegahan dapat dilakukan dengan memberi pemahaman kepada masyarakat atau sosialisasi mengenai kekerasan dan pelecehan seksual.

2. Bentuk tindak pidana kekerasan seksual

Di sisi lain, Maria menyebut, hukum yang diterapkan di Indonesia selama ini tidak mengkategorikan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara menyeluruh.

"Kalau kita mengacu pada sistem hukum di kita, dalam hal ini KUHP itu hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan," ujar Maria.

Sementara kekerasan seksual yang masuk dalam laporan Komnas Perempuan, lebih beragam dari yang tercantum dalam KUHP.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini terjadi, meliputi:

Perkosaan, Intimidasi atau ancaman perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Prostitusi paksa, Perdagangan orang untuk tujuan seksual, Perbudakan seksual, Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung.

Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual, Penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, Praktik tradisi bernuansa seksual yang mendiskriminasi dan membahayakan, Aturan diskriminatif berlandaskan moralitas dan agama.

3. Hukum acara pidana

Hukum acara pidana berkaitan erat dengan sikap para penegak hukum dalam menanganai kasus kekerasan seksual.

Maria menilai selama ini baik proses penyidikan maupun penyelidikan seringkali tidak berpihak pada korban, bahkan menyudutkan korban.

"Melarang aparat penegak hukum untuk merendahkan, menyalahkan korban, membebankan misalnya pencarian alat bukti kepada korban, menggunakan latar belakang pengalaman korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan," jelas Maria.

Dalam RUU ini juga nantinya akan mengatur mengenai larangan kriminalisasi korban.

4. Perlindungan dan pemulihan korban

Sampai saat ini, menurut Maria, KUHP dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kekerasan seksual, belum menjangkau korban.

Hukum yang berlaku tidak otomatis diatur dalam mekanisme penanganan korban. Seolah pelaku dan korban jadi bagian yang terpisah dalam suatu kasus kekerasan seksual.

Maria menilai bahwa peraturan selama ini tidak berpihak pada perempuan maupun korban kekerasan seksual.

"Jadi kalau kita melihat dari KUHP ini kan hukum yang diberlakukan untuk pelaku, belum memberikan perlindungan pada korban," ujar dia.

5. Peran masyarakat dan tokoh daerah

Salah satu aspek yang dapat menghapus kekerasan seksual ialah peran masyarakat dan tokoh daerah dalam mengedukasi masyarakat soal kekerasan seksual.

Masyarakat dapat lebih lantang menyuarakan keberpihakannya terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual.

Maria menambahkan bahwa masyarakat perlu berhati-hati merespon berita yang beredar terutama mengenai kasus kekerasan berbasis gender.

"Penting menurut saya, bahwa masyarakat harus cerdas menerima informasi," tukas Maria.

6. Pemantauan jika telah disahkan

Mari menyebut, tidak ada undang-undang yang sempurna. Maka kedepannya saat RUU PKS disahkan, Maria berharap masyarakat tetap turut serta memantaunya (Kompas.com).


Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda