USBN dan Retorika Pendidikan Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : ampuh devayan
Para siwa dari seluruh Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat di Banda Aceh, memprotes kebijakan Kadis Pendidikan (kadisdik) Aceh, Drs Laisani MPd, yang mengundurkan jadwal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) -- seharusnya dilaksanakan 19-tanggal 27 April 2018 diundur ke 19-25 April 2018, atau setelah pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Alasannya, bagian dari strategi untuk meningkatkan daya serap siswa terhadap mater-materi pelajaran.
Jika USBN diundur dan dilaksanakan bulan April, maka sangat merugikan para siswa. Karena selain dekat dengan pelaksanaan UN, pada bulan tersebut juga banyak pembukaan tes seleksi masuk perguruan tinggi seperti SBMPTN dan tes lainnya.
"Kami merasa rugi kalau diundur, karena akhir bulan April banyak tes SBMPTN, IPDN, Akpol, Akmil," ujar Hafiz, Adinata Putra, dan Khalil ketika usai menyambangi salah seorang pimpinan DPRA untuk memprotes kebijakan pak kadisdik Aceh itu. Sebelumnya, para siswa SMA sederajat di Banda Aceh itu mendatangi redaksi harian salah satu media.
Menurut mereka, Disdik Aceh harus mengkaji dan mempertimbangkan kembali kebijakan itu. Karena pada bulan April 2018 para siswa justru harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) dan SNMPTN, melanjutkan masuk perguruan tinggi dan akademi. Para siswa itu mengaku sudah menemui guru-gurunya dan menceritakan hal ini. "Guru-guru kami tidak dapat berbuat apa-apa, karena ini kebijakan dinas," kata Risma, seorang siswi SMA di Banda Aceh.
Ehem, saya seruput kopi dulu ya… biar melek, agar bisa mereka-reka. Karena agak susah juga untuk menjelaskannya bila mengamati kronik pendidikan Aceh, dalam beberapa tahun terakhir ini yang semakin komplek (untuk tidak menyebut makin peliek). Mungkin ini juga bagian dari gagasan supaya "Aceh carong?"
Susah pertama, bila pak kadis mengundur jadwal USBN karena belum terserapnya materi-materi pelajaran; pertanyaannya, apa kerja para guru selama ini, apa tidak mengajar? Apa kerja kepala dinas pendidikan Aceh atau para pejabat yang mengurusi pendidikan Aceh. "nyan kagura pak kadis," ketus Nek Ti Buntok.
Susah kedua, tampaknya memang tidak ada SOP yang jelas selama ini. Apalagi setelah seluruh administrasi pendidikan di tingkat SMA yang sudah ditangani pihak dinas provinsi—sudah mencapai setahun lamanya, justru bukan semakin membuat pendidikan Aceh bagus tapi sebaliknya semakin karut marut.
Tentu, tidak termasuk kesejahteraan para guru yang selama ini makin dizalimi. Misal, dana Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) guru tidak dibayar yang katanya tidak ada anggaran, nasib guru honor yang sudah ikut tes semakin tidak jelas. Bayangkan, menurut data, ada 12 ribu guru di Aceh tidak lagi mendapat tunjangan tersebut sudah lebih setahun. Seperti diungkapkan seorang pengurus PGRI Aceh, TPK guru rata-rata setiap guru yang berstatus PNS menerima Rp 700-850 ribu per bulan. Belum lagi soal dana sertifikasi guru yang dipolemikkan dan selalu saja ditundah hingga beberapa bulan baru dibayar. Mungkin, harus dideposito dulu (?)
Banyak keluhan para kepala sekolah dan guru-guru yang dibikin puyeng. Mulai soal instruksi yang sporadis/ mendadak juga tumpang tindihnya administrasi sekolah, kegiatan olympiade, termasuk soal-soal ujian seperti USBN.
Kabarnya, entah ya, soal-soal untuk USBN sampai saat ini belum selesai diferitifikasi oleh Disdik Aceh, malahan ada sekolah yang tidak sempat membuatnya. Boleh jadi, itu satu alasan pak Kadis mengundurkan jadwal karena mereka tidak siap (mampu) membuat soal tersebut. Pihak sekolah-sekolah, merasa tenang-tenang saja, karena memang tidak ada instruksi dari disdik provinsi Aceh. Malah menyangka, soal-soal USBN itu sudah disiapkan oleh tim MGMP (Majelis Muyswarah Guru Mata Pelajaran) provinsi. Kemudian, semua mulai "gabuk" karena adanya instuksi dari kadisdik Aceh agar sekolah-sekolah masing menyusun soal-soal tersebut.
Susah ketiga, kadisdik Aceh sepertinya melepas tanggungjawab atau tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Saya yang bukan praktisi pendidikan pun dapat membayangkan kalau jadwal yang sudah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan rentang waktu 19 Maret -27 April untuk melaksanakan USBN sudah tepat. Sebab lembaga itu profesional, dan independen yang mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi pelaksanaan Standar Nasional. Artinya sudah memprediksi ke depan dengan mempertimbangkan banyak agenda agenda pendidikan, sehingga tidak saling bentrok yang bisa merugikan para siswa.
Nah, itulah susah atau anehnya pejabat pendidikan kita. Lebih aneh lagi, dia menyerahkan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan sendiri jadwal USBN sesuai kesempatan. Terus…kalau siswa itu selesai nanti, mau kemana melanjutkan pendidikan?
Itulah sekilas pernik-pernik pendidikan kita. Sebuah gambaran kompetensi para pejabar teknis yang mengurusi lembaga pemandai manusia itu, tidak tahu apa yang harus diperbuat dan diprioritaskan. Political will terhadap sektor pendidikan masih sebatas retorika. Belum adanya kesungguhan para pemangku pendidikan itu sendiri.
Kebijakan pendidikan sebatas retorika, padahal mengelola pendidikan berarti mengelola masa depan, kebutuhan sepanjang hayat. Ironinya, justru makin mundur karena kualitas pengelolanya masih menganut paradigma masa lalu. Akibatnya, dunia pendidikan Aceh terus terbengkalai, tercemari kebijakan yang liar karena mencampur baur dengan kepentingan politik.