Uroe Makmeugang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ampuh Devayan
Ilustrasi: Metrotvnews.com
Uroe makmeugang atau juga disebut uroe seumesih (hari menyembelih hewan) berupa sapi atau kerbau hanya ada di Aceh. Tradisi itu biasanya saat menyambut bulan Ramadhan atau merayakan lebaran. Rasanya tidaklah lengkap menyambut bulan suci umat Islam itu kalau tidak ada "sie makmeugamg". Meugang sepertinya menjadi suatu yang esensi dalam keluarga orang Aceh.
Sampai saat ini belum ada suatu putusan dari Majelis Adat Aceh (MAA) mengenai "uroe mameugang'. Namun sudah jadi "kesepakatan tak tertulis" masyarakat, terutma di kampung-kampung. Setiap rumah orang Aceh bila hari meugang puasa atau lebaran "mesti ada bau" masakan daging.
Kata 'mesti' menyiratkan suatu kewajiban orangtua untuk menyediakan daging meugang bagi keluarga, tidak terkecuali apakah kaya atau miskin papa. Sedang kata 'bau' menyiratkan, bahwa dengan cara apapun 'sie makmeugang' mesti disediakan. Tak bisa banyak, sedikit juga boleh, terutama untuk anak anak.Hari itu (meugang) anak-anak tidak dibatasi mengkonsumsi daging asal perut mereka mampu menampung.
Dalam keluarga Aceh untuk memenuhi kebutuhan selama ramadhan itu, sudah melakukan persiapan, termasuk untuk beli daging meugang. Ada hadih majah, "tamita sithon, tapajoh sibeulen (dicari atau berusaha setahun untuk persiapan/dinikmati sebulan)".
Bagi orang-orang miskin yang hari-hari biasa, tak sanggup membeli daging (sie), setahun sekali pada 'uroe makmeugang' mesti ada. Daging 'meugang' harus dibawa pulang ke rumah. Tak dibeli, dihutang juga boleh. Para pemilik hewan ternak dan tauke leumo kalau saat "makmeugang" meraup untung besar. Karena harga daging lebih mahal yang biasanya naik sampai 30 persen dari pasaran hari-hari biasa. Sebab masyarakat tetap membeli berapa pun harganya.
Nah, kita bisa bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang memang tidak mampu membeli sie meugang. Atau anak-anak yatim dan piatu yang tiada lagi orangtua. Uroe meugang menjadi hari memilukan ketika mencium aroma 'sie meugang' dari rumah tetangga. Uroe meugang menjadi hari merindu seorang anak yang teringat akan ayahnya, teringat emaknya seandainya mereka masih ada. Atau seorang miskin yang membatin teringat akan nasibnya.
Namanya anak-anak. Mereka sering mengekpresikan kesedihan, kadang merajuk bahkan menangis. Kita bisa menduga anak-anak seperti itu akan berkata, "duhai, andaikan ayahku masih ada. Andai saja ayahku seorang yang kaya. Atau andaikan emakku masih di sini dan memasak sepotong daging di hari ini," begitu gumam anak sambil matanya menerawang jauh. Tentu lain lagi seorang miskin yang mungkin hanya bisa tercenung meratapi hidup kenapa kebagiaan belum berpihak padanya sambil berkata, "bila saja hari ini aku punya uang tentu dapat membawa pulang sedikit daging untuk anak dan isteri di rumah."
Agaknya ini penting kita renung-renung juga ketika banyak di antara kita menjelang masuk bulan suci ini yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Menyiapkan kursi baru, sajadah dan peci baru atau membeli baju koko yang khusus untuk salat terawih. Bagi yang punya mobil pastilah menservisnya agar jalan dengan keluarga lebih nyaman.
Mungkin saja soal 'sie meugang' bukan suatu yang luar biasa, karena hari-hari sudah muak makan daging, bahkan kelebihan. Apalagi para pejabat kalau kedatangan tamu istimewa, pastilah akan menyediakan menu makanan atau mengajak mencicipi makan khas seperti ayam tangkap di restoran-restoran mewah. Maka tidak salah pula "menangkap" bagaimana perasaan anak-anak yang tidak ada orangtua, anak-anak yang tak beruntung karena orangtuanya miskin?
Beberapa daerah di Aceh menganggap uroe meugang suatu yang sakral. Jika seorang suami, apalagi sudah mempunyai anak, akan merasa rendah di mata keluarganya bila tak mampu memenuhi kebutuhan uroe makmaugang. Mungkin kita masih ingat, beberapa tahun lalu, seorang ayah dari keluarga miskin di Banda Aceh, nekat memotong alat vitalnya. Ia putus asa karena tidak bisa membawa pulang `engkot sie' buat keluarga. Memotong alat vital sendiri sebagai ekspresi yang menganggap dirinya tidak pantas menjadi laki-laki sebagi pelindung keluarganya.
Ketika Aceh masih kondusif dan sebelum Aceh diterapkan qanun syariat Islam, setiap menyambut bulan Ramadhan begitu gembira dan semarak. Biasanya dua hari sebelum masuk puasa, di kampung-kampung rela berjaga malam menunggu subuh untuk mendapatkan daging meugang. Ada juga yang meuripeh dengan mengumpulkan uang dan membeli sapi atau kerbau, lalu membagi sama (tumpok) rata. Pasar-pasar kaget pun bermunculan di mana-mana.
Kaum ibu di gampong-gampong bergerombol, mulai mengumpulkan kayu bakar hingga menumbuk tepung beras dengan "jeungki", menggiling bumbu untuk meugang dan puasa. Sedang kaum lelaki biasanya membersihkan lingkungan mulai perkarangan rumah sampai perkarangan meunasah.
Begitu kentara budaya Aceh yang islami. Inilah yang jarang kita saksikan sekarang ini. Karena rumah-rumah orang Aceh sekarang sudah ditembok tinggi-tinggi dan dengan gembok globe yang sebesar buah kelapa. Dapur-dapur kita juga tak lagi meniupkan aroma "engkot sie" keluar karena dipasangi alat peredam dengan kompor elektrik. Sehingga tangisan anak-anak yang mengendus bau daging pun sudah tak lagi kita dengar.
Moga pendidikan ramadhan kali ini bisa menambah pelajaran sehingga hidup ini menjadi Indah, memperhatikan mareka yang miskin yatim dan orang-orang yang tersia-sia.(ampuh devayan)