Untung Ada "Ombus"
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nurdin Hasan
Nurdin Hasan. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kita, rakyat Aceh, patut berterima kasih pada Bustami Hamzah. Mengapa begitu? Karena berkat sosok yang dalam beberapa bulan terakhir kerap dipanggil dengan sapaan “Ombus” itu, proses demokrasi tetap berjalan di nanggroe keunubah endatu.
Bayangkan kalau sampai pemilihan gubernur (Pilgub) Aceh hanya diikuti calon tunggal, yaitu Muzakir Manaf alias Mualem. Tentu pesta demokrasi bansa tseuneubeh ateuh rhueng donya terkesan hambar. Belum lagi kalau sampai (dan tentu saja peluangnya sangat tidak mungkin) tong soh yang menang.
Menurut hasil tidak resmi, Mualem yang berpasangan dengan Fadhlullah atau Dek Fad meraih 53,27% suara. Mereka akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030. Sementara, Bustami yang menggandeng Fadhil Rahmi alias Syekh Fadhil sebagai calon wakil gubernur memperoleh 46,73% suara pemilih.
Dapat dipastikan hasil resmi Pilgub Aceh yang rencananya akan diumumkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, pada 14 Desember mendatang, tidak akan jauh dari angka tersebut. Jikapun berubah, selisihnya sangat tipis dan hampir pasti tak akan mengubah kemenangan Mualem-Dek Fad.
Sekitar awal Agustus lalu, saya pernah bertanya pada seorang teman dekat Bustami, apakah dia akan maju sebagai calon gubernur. Sang sahabat itu tegas berujar, “Tidak. Dia (Bustami) sedang fokus menyukseskan dua agenda besar: Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara (Sumut) dan Pilkada serentak."
Memang, ketika itu, Bustami menjabat Penjabat (Pj) Gubernur Aceh setelah dilantik Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian pada 13 Maret 2024. Saat itu, banyak vanue PON belum tuntas dikerjakan padahal pelaksanaan PON sudah di ambang mata. Begitu juga persiapan Pilkada, meski tahapannya sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), perlu atensi serius dari Pemerintah Aceh.
Namun, dalam waktu tak terlalu lama, di berbagai persimpangan jalan lam nanggroe bertebaran baliho dan spanduk bergambar Bustami. Kendati tak secara tegas menyatakan diri maju sebagai kandidat gubernur, pajangan fotonya teraebut menandakan bahwa Bustami siap bertarung, meski belum ada partai politik yang mengusungnya.
Saya hubungi teman Bustami, menanyakan soal fenomena baliho dan spanduk, “soe peugrop, Bustami?” Ia sebut beberapa nama orang dalam (ordal) alias people in yang diduga kuat mendorong Bustami maju sebagai calon gubernur.
Dalam bincang politik sambil menikmati kopi sore di sebuah warung sudut kota Banda Aceh, kami sepakat bahwa kalau benar Bustami maju, pasti akan kalah melawan Mualem. Mengapa? Karena selama ini, ia tak dikenal rakyat Aceh. Bustami hanya seorang birokrat meski menjabat beberapa posisi strategis di Pemerintahan Aceh.
Beda dengan Mualem yang sudah tersohor sejak masa konflik, sebagai Panglima Tentara Negara Aceh (TNA). Belum lagi, jaringan Mualem juga sudah begitu mengakar hingga ke pelosok desa. Nah, Bustami punya modal apa?
Argumen mereka bahwa Mualem bisa dikalahkan sebab rakyat “sudah tidak suka lagi terhadap Partai Aceh (PA) karena selama ini kurang memperhatikan nasib rakyat,” padahal PA adalah partai pemenang beberapa pemilu. Kalau memang benar alasan itu, kenapa pula partai besutan mantan kombatan GAM bertambah perolehan kursi DPRA dalam pemilu terakhir?
Tetapi, dorongan untuk bertarung melawan Mualem tidak terbendung kendati elektabilitas Bustami sangat rendah. Ketika Partai NasDem mengumumkan bakal mengusung Bustami sebagai calon gubernur Aceh, pada 8 Agustus 2024, elektabilitasnya berada di bawah 20%. Sementara posisi Mualem saat itu berada di atas 40%.
Elektabilitas Bustami naik drastis setelah dia memilih Tgk. H. Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop) yang akan mendampinginya sebagai calon wakil gubernur, yaitu mendekati angka 40%. Padahal sebelumnya sosok ulama yang cukup santun dalam berdakwah sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Mualem. Ternyata Mualem memilih Dek Fad sebagai calon wakil gubernur dan elektabilitas mereka tidak tembus 50%.
Qadarullah, Tu Sop wafat. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla sengaja menyelamatkan Tu Sop dari fitnah politik yang selama ini dianggap kotor. Ketika Bustami memilih Syeikh Fadhil untuk mendampinginya, elektabilitas mereka tidak bergerak naik.
Kesimpulan cang panah sambil jep kupi petang bahwa sebenarnya dengan hanya duduk manis saja, Bustami akan tetap menjadi pengendali keuangan Aceh karena dia menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) setelah gubernur definitif “ Mualem “ dilantik. Dengan hanya memberi sinyal dukungan terselubung (karena ASN tak boleh berpolitik?) pada Mualem dalam Pilkada, posisi Sekda bisa dipastikan akan aman hingga Bustami pensiun.
Lalu, langkah apa yang bisa ditempuh Bustami ke depan? Kalau masih tetap ingin berkecimpung di dunia politik dan berniat maju lagi tahun 2030, dia perlu kendaraan politik. Dengan perolehan suara 46,73% dalam Pilgub dan sebagai modalitas politik, Bustami bisa melobi Surya Paloh untuk memberi kesempatan padanya menjadi ketua NasDem Aceh.
Wallahu a'lam bishawab.
Penulis: Nurdin Hasan