Beranda / Kolom / Transformasi: Belum Selesai!

Transformasi: Belum Selesai!

Minggu, 08 April 2018 21:15 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Kita menduga proses tranformasi di Aceh sudah selesai. Mengapa demikian? Itu di karenakan kita tanpa sadar bahwa pikiran pasca konflik kita masih sangat GAM-sentris dan sangat legalistik dalam memandang perubahan sosial di Aceh.

Sentris transformasi pertama, adalah perubahan GAM menjadi organisasi masyarakat (KPA), lalu bermetamorfose menjadi partai lokal (PA). Proses berikutnya adalah pelembagaan KPA, dan PA itu sendiri. Walau pun di dalam perjalanan berikutnya masih banyak hal yang masih harus dikembangkan di dalam kedua institusi atau organisasi tersebut, yang mungkin belum terpikirkan oleh mereka, tapi hal itu menjadi persoalan domestik mereka.   

Sentris transformasi kedua, adalah perubahan kelembagaan pemerintahan Aceh. Kita selalui mengatakan terkait dengan MoU Helsinki, yang juga dijabarkan dalam UUPA. Kita selalu menuntut kerja Pusat untuk menepati janjinya segera. Tapi kita lalai merumuskan payung hukum yang seharusnya dilakukan oleh pemerintahan Aceh di level propinsi dengan pemerintahan Aceh di level kabupaten/kota, yang menyangkut pembagian kewenangan.

Kita sedikit tersentak, mungkin kagum, mungkin juga konyol, ketika Rezim Irwandi/Nova hendak meletakkan anggaran otsus pada pemerintahan kabupaten/kota, setelah konflik kepentingtan di dalam pengelolaan APBA. Hal itu, boleh jadi, kebijakan politik Irwandi/Nova yang sangat menghibur atau mendapat simpati pemerintahan kabupaten/kota sehingga boleh diharapkan setiap kebijakan rezim ini akan mendapat dukungan kabupaten/kota di tengah ketegangan antara eksekutif dan legislatif di level propinsi nantinya. Kita menjadi lupa bahwa hal itu menabrak otonomi khusus yang merupakan hasil MoU Helsinki. Lalu, adakah payung hukum tentang mekanisme pelimpahan anggaran tersebut ke kabupaten/kota?

Kesemua yang disebutkan di atas, dan tentunya masih banyak hal lain, terutama menyangkut rincian-rincian yang secara teknis sudah jelas, adalah transformasi struktural. Ternyata, masih banyak urusan struktural domestik, yang tak kalah banyaknya, meski pun tak senyaring teriakan tuntutan ke Pusat. Apalagi bila kita melihat ke lapisan bawah masyarakat Aceh, yakni korban konflik dari kalangan masyarakat sipil.

Mungkin, saya terlalu negatif apabila mengatakan bahwa mereka belum tertransformasi secara struktural dari kondisi kehidupan di masa konflik ke dalam kehidupan baru di masa pasca konflik (damai). Seakan tak ada amanat MoU Helsinki untuk menuntaskan kondisi korban, juga di dalam UUPA.

Apakah karena mereka bukan eks kombatan? Apakah mereka bukan warga Aceh sehingga mereka tidak termasuk ke dalam target kesejahteraan pemerintahan Aceh ketika menyusun APBA, baik melalui Qanun maupun Pergub?

Konstruksi pikiran rezim sudah over ekstrovert sehingga lupa membereskan persoalan-persoalan domestik Aceh itu sendiri. Padahal: transformasi GAM, masih agaknya yes! Transformasi sosial kesejahteraan, agaknya masih no! Belum lagi transformasi kultural yang masih banyak kontradiksi dalam tindakan dan kebijakan dengan apa itu damai, demokrasi dan pembangunan. []

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda