DIALEKSIS.COM | Kolom - Sebagai pemuda yang memiliki garis keturunan dari Kuala Batee dari ayah, sekaligus sebagai Ketua PD Gerakan Pemuda Al-Washliyah Aceh Barat, saya merasa terpanggil untuk mengajak kita semua merenungkan kembali kisah heroik namun tragis dari Kuala Batee.
Kuala Batee bukan sekadar nama tempat, ia adalah simbol keberanian, kemakmuran, dan ketahanan sebuah peradaban kecil yang pernah bersinar terang di pesisir barat daya Aceh, sebelum akhirnya menjadi sasaran kebrutalan invasi asing.
Kuala Batee adalah sebuah wilayah di Kabupaten Aceh Barat Daya, dulunya wilayah ini adalah sebuah kerajaan yang mandiri, tapi tetap berada di bawah kendali Kerajaan Aceh Darussalam -- Kalau dalam istilah kenegaraan, seperti negara bagian/vassal. Kerajaan Kuala Batee ini didirikan sekitar tahun 1785 Masehi oleh Raja Cut Ampon Tuan. Di bawah kepemimpinannya, Kuala Batee mencapai puncak kejayaan.
Lokasinya yang sangat strategis di pesisir barat Sumatera menjadikan wilayah ini pelabuhan utama untuk perdagangan lada, komoditas primadona pada abad ke-19. Kapal-kapal dagang internasional, termasuk Amerika dan Eropa, berlabuh disini untuk membeli lada berkualitas tinggi. Perdagangan inilah yang membawa kemakmuran luar biasa bagi rakyat Kuala Batee. Tetapi, kemakmuran inilah yang secara tidak langsung menarik perhatian negara-negara Barat yang rakus, dan pada endingnya membawa bencana.
Tragedi yang menimpa Kuala Batee bermula dari sebuah insiden pada 7 Februari 1831. Sebuah kapal dagang Amerika bernama Friendship asal Salem, Massachusetts, yang sedang memuat lada di Kuala Batee, diserang dan dijarah. Ada beberapa versi sejarah disini dalam versi populer mengatakan bahwa penduduk lokal merasa dirugikan oleh praktik curang pedagang Amerika seperti penipuan timbangan lada atau kapten kapal yang melarikan diri tanpa membayar lunas melakukan aksi balasan. Ada juga yang menduga bahwa insiden ini sengaja diprovokasi oleh pihak Belanda yang ingin menjatuhkan reputasi Aceh sebagai pelabuhan aktif dan memuluskan jalan bagi invasi mereka di Sumatera Barat.
Apapun motif di baliknya, penjarahan Friendship menyebabkan kerugian sekitar US$50.000 dan memicu kemarahan besar di Amerika Serikat. Protes yang diajukan kepada uleebalang (pemimpin) lokal di Kuala Batee, Po Adam, tidak membuahkan hasil. Tekanan dari para pemilik kapal, termasuk Senator Nathaniel Silsbee, akhirnya sampai ke telinga Presiden Amerika Serikat ke-7, Andrew Jackson.
Presiden Jackson, yang dikenal dengan kebijakan agresifnya, melihat ini sebagai pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan kepentingan dagang Amerika. Ia memutuskan untuk mengirim ekspedisi militer untuk "menghukum" Kuala Batee.
Pada 28 Agustus 1831, kapal fregat USS Potomac, salah satu kapal perang terkuat Angkatan Laut Amerika Serikat saat itu, berangkat dari Boston menuju Aceh. Di bawah komando "Komodor John Downes" dengan lebih dari 300 prajurit gabungan Angkatan Laut dan Marinir.
Pada 5 Februari 1832, USS Potomac tiba di perairan Kuala Batee. Untuk menghindari kecurigaan, kapal itu menyamar sebagai kapal dagang Denmark. Presiden Jackson sebenarnya telah menginstruksikan Downes untuk mencoba bernegosiasi terlebih dahulu, namun Komodor Downes, atas saran seorang informan lokal bernama Adam, memutuskan untuk tidak melakukan negosiasi.
Dua hari setelahnya pada subuh hari, Komodor Downes melakukan serangan kejutan. Sebanyak 282 pasukannya mendarat dan menyerbu empat benteng pertahanan Kuala Batee yang dibangun dengan sederhana dari tanah dan kayu. Rakyat Kuala Batee, dengan semangat juang yang membara, melawan mati-matian menggunakan persenjataan seadanya seperti tombak dan senapan lontak.
Namun, perlawanan itu pada akhirnya harus tunduk pada keunggulan teknologi militer Amerika. Pasukan Downes yang dilengkapi senapan modern dan meriam kapal berhasil menerobos pertahanan benteng. Lebih dari 450 penduduk Kuala Batee, termasuk wanita dan anak-anak, gugur dalam pertempuran tak seimbang ini, sementara pihak Amerika hanya menderita 2 korban jiwa dan 11 luka-luka.
pada 9 Februari 1832, Komodor Downes memerintahkan USS Potomac untuk membombardir seluruh Desa Kuala Batee, menghancurkan dan membakar permukiman hingga rata dengan tanah. Sebelum pergi, Downes mengeluarkan peringatan keras kepada sisa-sisa penduduk agar tidak lagi menyerang kapal Amerika.
Tindakan Komodor Downes ini, yang tanpa ultimatum dan deklarasi perang, memicu gelombang kritik di Amerika sendiri. Namun, Presiden Andrew Jackson tetap membela tindakannya, berargumen bahwa "hukuman" semacam itu diperlukan untuk mencegah agresi di masa depan dan menegakkan kehormatan bendera Amerika di mata dunia. Ekspedisi ini menjadi intervensi militer Amerika pertama di Asia.
Bertahun-tahun setelah insiden berdarah itu, kisah Kuala Batee perlahan memudar dari ingatan kolektif, seolah Amerika telah "menutup buku" atas peristiwa tersebut. Sekarang, Kuala Batee telah bertransformasi menjadi sebuah kecamatan yang tenang di Kabupaten Aceh Barat Daya. Jejak-jejak kejayaan masa lalu dan tragedi mengerikan itu tidak banyak lagi yang tersisa. Hanya reruntuhan istana yang usang dan terbengkalai, sebuah inskripsi Shewbuntar berbahasa Inggris yang telah menua, serta beberapa artefak seperti koin dan tembikar yang ditemukan di situs-situs kuno, menjadi saksi bisu dari peradaban yang pernah berjaya itu. Informasi sejarah yang komprehensif tentang Kuala Batee juga masih sangat terbatas, menunjukkan betapa pentingnya upaya penelitian dan pelestarian.
Kisah Kuala Batee bukan hanya tentang kehancuran, tetapi juga tentang bagaimana sebuah komunitas bangkit dari keterpurukan, menjaga identitas budaya dan sejarahnya, serta terus menatap masa depan. Saya bangga sekali menjadi Keturunan Kuala Batee dari ayah, kakek, dan buyut saya. [**]
Penulis: