Beranda / Kolom / Tragedi 1 November, Promosi Aparat?

Tragedi 1 November, Promosi Aparat?

Rabu, 09 November 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

1 November, hari yang dikenang buruk oleh warga Kopelma Darussalam. Meskipun, para saksi (di bawah sumpah, yang diajukan oleh pihak Universitas Syiah Kuala di pengadilan negeri Banda Aceh) mencoba menggeser tempus (bukan locus peristiwanya) ke tanggal 3 dan, atau 6 November.

Para saksi itu, ada yang dari satpam dan ada dari buruh pemenang lelang (yang konon juga aparat penegak hukum). Dalam hal ini kita bisa menemukan garis sindikasi penghancuran rumah di Kopelma Darussalam.

Sebenarnya, saya dan warga agak tenang karena ada mantan Kapolda Aceh yang menasehati bahwa penghancuran rumah itu tidak mungkin melibatkan para aparat Polri, jika tanpa keputusan pengadilan. Namun, rupanya ada scenario lain yang digalang pihak Rektor Unsyiah dengan pihak aparat dari Polresta, Banda Aceh.

Tragedi itu menyeruak lagi dibenak saya karena ada kawan peneliti yang baru pulang dari Kanjuruhan, Malang. Sambil ngopi, kawan bercerita pengalaman lapangannya. Hal yang menarik, ia meneliti tentang dampak sosio-psikologis tragedy Kanjuruhan terhadap aparat di Polresta Malang.

Tragedi yang menimbulkan 135 korban meninggal dan 574 korban luka-luka itu, tidak terpikir oleh saya menimbulkan dampak negative terhadap aparat penegak hukum (Polri). Rupanya hal itu terpikirkan oleh Mabes Polri. Mengapa demikian?

Dampak psikologis aparat muncul setelah pemberian sanksi terhadap 20 personil, termasuk Kapolres, anggota dari Polres Malang dan 14 anggota satuan Brimob. Mengapa demikian?

Karena Kabagops Polresta juga kena sanksi, kata Kawan itu. Padahal Kabagops tupoksinya hanya masalah administrasi, tidak ada kewenangan untuk komando di lapangan. Lalu, saya merespon keterangan kawan itu dengan apa yang terjadi di lapangan, saat penghancuran rumah di Kopelma Darussalam pada 1 November 2021 lalu.

Pasukan yang terlibat di dalam operasi itu, ada dari pihak intel dan aparat dari Polresta, Banda Aceh, serta satpol PP dari Kotamadya Banda Aceh. Jadi, operasi penghancuran rumah dosen itu adalah sebuah operasi gabungan, jelas sindikasinya.

Saya sendiri berdebat dengan Kasatintelkam dan Kabagops dari Polresta, yang disaksikan oleh Komandan Satpol PP, dan publik luas, di samping aparat dari Koramil dan Polsek yang teritorialnya meliputi Kopelma Darussalam.


Jika kawan peneliti kasus Kanjuruhan melihat dari perspektif Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi), dan atau SOP (Prosedur Operasi Standar) bahwa kabagops tidak memiliki kewenangan komando terhadap aparat di lapangan, tetapi saya melihat dan mendengar sendiri bahwa Kasatintel dan Kabagops memberikan komando pada aparat untuk masuk dan menghancurkan rumah-rumah di pemukiman dosen Unsyiah itu.

Kalau saya merujuk ke tragedy Kanjuruhan, apakah kasatintel dan kabagops, bahkan Kapolresta Banda Aceh mendapatkan sanksi? Apakah Kasipropam Polresta melakukan tindakan sesuai dengan tupoksinya?

Malahan, tindakan aparat-aparat itu, jangankan mendapat sanksi, bisa pula mereka mendapatkan promosi dari atasannya. Mengapa demikian?

Setelah terungkap peristiwa pembunuhan Brigadir J, maka terungkap skenarion dan sindikasi yang dibangun Ferdy Sambo. Uniknya, bermunculan sanksi (etik) dan pergantian para pejabat polri.

Uniknya lagi, misalnya, Teddy Minahasa dipromosi (ST/2134/X/KEP/2022) menjadi Kapolda Jawa Timur, untuk menggantikan Nico Afinta, yang terkait dengan tragedy Kanjuruhan, yang sebelumnya terkesan oleh publik, tanggungjawab itu hanya dibebankan pada Kapolresta Malang.

Namun, tak lama kemudian Teddy Minahasa tertangkap terkait kasus narkoba. Hal ini menunjukkan, bahwa Mabes Polri tidak memiliki data yang akurat tentang rekam jejak anggota Polri, sehingga salah promosi.

Kesalahan promosi, contoh lainnya, adalah promosi aparat yang terlibat dalam penganiayaan di RS Bandung, Sumut.

Jika kita merujuk tragedy Kanjuruhan, RS Sumut dan promosi sebagai ikutannya, maka sehubungan dengan tragedy penghancuran rumah di Kopelma Darussalam, bisa juga mereka (aparat) yang terkait justru mendapatkan promosi jabatan, baik Kasatintelkam, Kabagops dan anak buahnya, serta Kapolresta.

Hal ini mungkin terjadi bila tindakan mereka yang melanggar SOP, Tupoksi dan hukum, tidak masuk ke dalam data rekam jejak anggota Polri.

Siapakah sutradara tragedi 1 November 2021 di Kopelma Darussalam yang menjerumuskan sindikasi aparat bertindak di luar hukum?*

*Penulis adalah sosiolog, alumni Lemhanas, PPSA-XX, dan mantan Ketua Komnasham RI.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI