Tipu Aceh: BLT!
Font: Ukuran: - +
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Tahun 2003, Aceh sudah berada dalam periode kedua perdamaian, yang dikenal sebagai Cessation of Hostilities (CoHA) atau Penghentian Permusuhan, dalam periode Presiden Megawati. Periode ini adalah kelanjutan dari tahapan perdamaian antara RI-GAM yang dikenal sebagai Humanitarian Pause atau Jeda Kemanusiaan, yang ditandatangani pada Mei 2000, dalam periode Presiden Gusdur.
Saya kembali membaca pemberitaan BBC, yang intinya Tengku Amri bin Abdul Wahab yang menjabat Panglima Operasi GAM menyerahkan diri ke pihak Indonesia.
Sofyan Dawood, sebagai jubir GAM, mengatakan bahwa “Amri bin Abdul Wahab bukanlah tokoh senior dalam jajaran GAM.” Bahkan Sofyan menuding “Amri terlibat dalam urusan uang.”
Membaca klipping BBC itu, memori saya tergelitik tentang fenomena tahun 2000, saat-saat masih nongkrong di Hotel Kuala Tripa, sebagai sekretaris Tim Monitoring Independen, yang merupakan bagian struktural Jeda Kemanusiaan. Intensitas konflik bersenjata antara para pihak semakin meningkat. Warga sipil berada dalam posisi terjepit.
Lalu pihak RI membangun asumsi bahwa suasana itu adalah akibat dari tidak adanya kesinambungan antara panglima di kantoran dengan panglima di lapangan. Hasil negosiasi RI-GAM memutuskan harus segera diagendakan pertemuan antar panglima di lapangan dari ke dua belah pihak.
Selanjutnya, handphone Nokia berwarna kuning milik saya, tiba-tiba mengisyaratkan ada telpon masuk. Tanpa nama, dan dari area luar. Maka terjadilah dialog berikut:
+ Hai Otto! Kiban nyan agenda peurumpok panglima lapangan.
- Peu kiban?! Peu susah that, droen!
+ Hai, meunyoe tajok eks Libya…abeh awak GAM. (Nadanya terkesan agak frustasi).
- Peu susah that. Menoe mantong: neumita awak bak bineh jalan yang lagak bacut. Neupeusok bajee…neubri pangkat…neupeugah nyoe panglima lapangan GAM.
+ Ooo…kajeut meunan!
Rupanya percakapan itu dengan Menteri Pertahanan GAM, Zakaria Saman yang berada di wilayah Thailand.
Pada hari pertemuan para panglima lapangan di Kuala Tripa, muncul seorang laki-laki dengan pakaian lapangan loreng hijau. Sepucuk pistol di pinggang. Sejumlah bintang kuning di bahu. Dan, pakai kacamata riben gelap. Gagah sekali. Tapi bola mata dibalik riben itu bergerak, seperti orang ketakutan. Barangkali Amri gugup.
Ternyata, laki-laki yang menjabat Panglima Operasi GAM itu adalah Amri. Saya kenal pada saat ke Jakarta memenuhi undangan Kontras yang akan mengadakan seminar tentang Aceh yang diinisiasi oleh Munir Cs. Iqbal Farabi sebagai perwakilan Kontras Aceh memfasilitasi dan mendampingi keberangkatan itu.
Kenapa Amri? Sebenarnya Munir menginginkan Tgk Abdullah Syafei yang datang. Karena situasi, maka sulit untuk memenuhi kemauan Cak Munir. Tapi, saya dan Iqbal sempat berdebat via telpon untuk mensiasati situasi yang pelik ini, antara memenuhi keinginan Cak Munir dan awak GAM yang lagi eforia pasca dicabut DOM. Saya katakan pada Iqbal: jangan orang GAM, tapi orang yang ditunjuk oleh GAM.
Maka kami sepakat untuk menerima Amri karena ia pekerja kemanusiaan yang bertugas di pengungsian Politeknik, Lhokseumawe. Ia gagah, pandai berbicara karena punya pengalaman sebagai penjual majun, dan mengklaim diri sebagai GAM pada para aktivis kemanusiaan yang bekerja di seputar pengungsian Politeknik.
Jika kita membaca kembali publikasi media pada saat itu, opini Amni bin Ahmad Marzuki, yang agak mengena karena ia mengatakan: Amri adalah perwira sulapan, yang sebelumnya berprofesi sebagai penjual obat keliling.
Kebetulan saat Amri melakukan siaran pers, setelah ia menyerahkan diri ke pihak RI, yang inti maklumatnya meminta anggota GAM agar menyerah. Saat itu, saya sedang berada di lantai 34 Empire State Building, New York. Saya melihat penampilan Amri di layar kaca. Lalu, saya membatin:
“Dah menyerah dia. Orang lain kira sudah dapat ‘Boh Labu Tanoh’ (BLT). Betul itu boh labu, tapi mereka tidak mengetahui kalau yang didapat adalah BLT yang sudah kering. Kulitnya mengkilat, isinya sudah kosong karena mengering. Saya kira, sepandai apa pun yang akan mengolahnya, dengan merujuk Hadih Maja, tidak akan menjadi asoe kaya (srikaya).”
Penulis
Otto Syamsuddin Ishak
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.