kip lhok
Beranda / Kolom / Subsidi Menguji Rasa Nurani Kita

Subsidi Menguji Rasa Nurani Kita

Rabu, 26 Agustus 2020 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Pemerintah Aceh sudah membuat negeri ini hingar bingar soal subsidi. Stiker BBM yang digagasi Pemerintah Aceh bersama Pertamina menjadi perdebatan yang tak kunjung tuntas. Bagaikan menguji nurani dan harga diri manusia.

Namun Pemerintah Aceh tidak berani tegas dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan subsidi BBM dan siapa yang tidak boleh menggunakan subsidi BBM. Kenderaan jenis apapun dan mahal, boleh memasang stiker untuk mendapatkan subsidi BBM.

Namun kalimat yang dituliskan dalam stiker”panas”, menantang dan mengusik kenyamanan. Menyentakkan nurani. Bila kita membuka Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah menegaskan pembatasan penggunaan BBM.

Pada pasal 3 dijelaskan, pembatasan penggunaan jenis BBM tertentu untuk transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berlaku untuk, kendaraan dinas; dan mobil barang dengan jumlah roda lebih dari 4 (empat) buah.

Kalau kenderaan dinas pemerintah, BUMN, BUMD, kenderaan TNI, Polri, sudah ada aturan resmi, kendaraan ini tidak dibenarkan mendapat subsidi BBM. Sementara untuk jenis kenderaan lainya tidak ada aturan resmi yang melarangnya.

Namun Gubernur Aceh mengeluarkan surat edaran tentang stiker. Dalam surat edaran Gubernur Aceh Nomor: 504/9186 Tahun 2020 tentang stiker BBM, dengan tegas disebutkan stiker boleh dipasang dikenderaan manapun.

 Khusus untuk premium, ada penekanan lebih jauh, seluruh jenis kenderaan tanpa memperhatikan kemewahan kenderaan, boleh memasang stiker. Kalau semuanya dibenarkan, lantas buat apa stiker itu dipasang dikenderaan?

Apakah pemerintah Aceh ingin “mengimbau” mereka yang kaya dan memiliki kemampuan untuk meringankan beban negara dalam subsidi BBM yang terasa memberatkan?

Sehingga bahasa yang tertulis di stiker ini, subsidi BBM bagai diperuntukan bagi masyarakat miskin, kurang mampu. Kalimatnya jelas dan besar, bukan untuk masyarakat yang pura pura tidak mampu. Dan kalimat untuk jenis solar tertera tulisan “subsidi untuk rakyat bukan untuk penimbun yang jahat”.

Sepertinya pemerintah Aceh dan pihak pertamina ingin mengklasifikasi, siapa yang berhak mendapatkan subsidi, walau pembuat stiker tidak berani terang-terangan.

Berbeda dengan subsidi listrik yang diberlakukan pemerintah saat negeri ini diterpa wabah corona. Pemerintah dengan tegas mengklasifikasinya. Bagi pengguna listrik yang diklasifikasi pemerintah berhak mendapat subsidi, langsung listriknya digratiskan.

Demikian dengan klasifikasi penerima bantuan Bansos, PKH, BNT, Raskin, kartu sejahtra dan lainya. Ada ketentuan dari pemerintah untuk mendapatkanya. Artinya diperuntukan bagi masyarakat yang memang harus dibantu.

Aceh dalam persoalan subsidi BBM, membuat kejutan. Pemerintah Aceh bagaikan ingin mengurangi beban negara dalam melunasi hutang hutang kepada Pertamina. Lihatlah betapa besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk subsidi setiap tahun.

Pada tahun 2019, misalnya, Bumi Pertiwi mengalokasikan dana subsidi energy, nilainya mencapai Rp 157,79 T, terdiri dari; subsidi BBM dan LPG Rp 100,68 triliun dan subsidi listrik Rp 57,1 triliun. Sebuah angka yang sanga besar.

Tahun 2020 mengalami pengurangan subsidi, subsidi energi hanya Rp 124,87 triliun.Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) tahun berjalan sebesar Rp 18,7 triliun. Selanjutnya, anggaran subsidi LPG tahun berjalan sebesar Rp 49,39 triliun.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, bagaikan ingin mengurangi beban negara dalam persoalan subsidi. Pemerintah Aceh bagaikan ingin mengetuk hati mereka yang kaya dan memiliki kemampuan untuk membantu negara, agar mereka yang kaya tidak mempergunakan BBM bersubsidi. Namun menggunakan BBM non subsidi.

Dari bahasa yang digunakan dalam stiker memang “kasar” dan menyentakan. Sebelumnya pernah juga ada stiker dengan bahasa santun, misalnya kenderaan ini menggunakan BBM bersubdi. Apakah pemerintah Aceh melihat stiker ini kurang efektif, sehingga mereka mengeluarkan bahasa kali ini yang menyentakkan?

Bahasanya “menyengat”, seperti sendiran, bagaikan ingin mengetuk hati nurani mereka yang memiliki kemampuan untuk mandiri, janganlah menggunakan BBM bersubsidi. Apakah ini maksud pemerintah Aceh?

Bagi saya penempelen stiker subsidi itu bagaikan bagian dari doa dan harapan. Apakah mereka yang hidup dalam garis kemiskinan tidak ingin kaya. Apakah mereka masih kekurangan tidak ingin juga meringankan beban negara?

“Ya Allah, ya Tuhanku, saat ini daku hidup masih miskin, masih mendapatkan subsidi pemerintah. Berilah daku kemudahan agar daku mampu mandiri. Agar daku tidak lagi tergantung pada subsidi pemerintah dan daku bisa meringankan beban negeri ini”.

Apakah mereka yang ditakdirkan Tuhan hidup dalam kekurangan tidak punya keinginan dan doa untuk dibebaskan Tuhan dari kekurangan, agar diberi Tuhan kecukupan? Bila diberi Tuhan kecukupan, apakah mereka tidak punya keinginan membantu negeri ini?

Agar dana yang dipergunakan untuk subsidi dapat dikurangi dan dipergunakan untuk kegiatan pembangunan lainya. Tentunya semua manusia punya harapan dan doa agar diberikan Allah kecukupan dan dibebaskan Tuhan dari ketidakcukupan.

Lantas bagaimana dengan mereka yang kaya, memiliki kemampuan, namun mempergunakan stiker yang membeban negara ini? Apakah tidak terketuk hati nuraninya untuk meringankan beban negeri ini?

Bila dia menempel stiker untuk mendapat subsidi BBM, dan di stiker itu ada kalimat bukan pura pura tidak mampu, bukankah secara tidak langsung dia juga sudah berdoa? Bukankah dia sudah berdoa agar dimasukan Tuhan dalam klasifikasi manusia yang tidak mampu, agar dia dimiskinkan Tuhan.

Bukankah dengan menempel stiker dikenderaanya (bagi mereka yang mampu) menjadi beban bathinya. Sehingga dia juga merasa malu dan mengisi BBM non subsidi, artinya dia berusaha meringankan beban negara. Apakah mereka yang kaya tidak mau membantu negeri ini dengan meringankan beban negara?

Untuk tahap awal pemerintah Aceh sudah membagikan 156 ribu stiker. Walau bahasanya kasar dan menyentakan, jumlah stiker ini akan ada penambahan sesuai dengan permintaan masyarakat yang ingin memasang stiker di kenderaanya. Begitu banyakah yang ingin memasang stiker, sehingga perlu adanya penambahan?

Saya tidak tahu dengan pasti, apa tujuan pemerintah Aceh menggunakan kalimat yang menyentakan dalam stiker ini. Apakah benar Pemerintah Aceh bagaikan ingin mengklasifikasi antara yang kaya dan kurang mampu. Sehingga yang mampu tidak lagi menambah beban negara dalam subsidi BBM?

Pemerintah Aceh sudah mulai menghangatkan negeri ini dalam persoalan subsidi BBM. Efektifkah pemasangan stiker untuk mengurangi subsidi BBM, perlu kajian yang mendalam. Pemerintah Aceh juga harus mengevaluasinya.

Adanya stiker yang bertebaran saat ini, nurani kita saat ini sedang digugah. Apakah menyentuh harga diri? Nyamankah dengan stiker itu? Pemerintah bagaikan mengharapkan bantuan semua pihak dalam meringankan beban negara. Minimal bantuanya dengan doa.

Bagi yang mampu, kiranya tidak menambah beban negara. Mereka dapat mengurangi beban negara dengan mengisi BBM non subsidi. Bukan justru menempelkan kenderaanya dengan stiker dimana kalimatnya bagaikan doa “ Bukan masyarakat yang pura pura tidak mampu”.

Bukankah bagi mereka yang mampu, tangan di atas itu jauh lebih mulia daripada mengadahkan tangan untuk mendapatkan bantuan? Nurani kita saat ini sedang digugah. Saya masih menyisakan pertanyaan di dalam hati, apakah ini tujuan dari pemerintah Aceh menempelkan stiker subsidi BBM di kenderaan? (Bahtiar Gayo)



Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda