Beranda / Kolom / Elit Aceh, Singa dan Rubah

Elit Aceh, Singa dan Rubah

Kamis, 26 Desember 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada
Aryos Nivada. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Kolom - Pilkada serentak 2024 baru saja usai. Di Aceh, Muzakir Manaf sukses menjadi Kepala Pemerintah atau Gubernur Aceh. 

Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem didampingi Fadhullah sebagai wakil gubernur Aceh. Dek Fadh adalah panggilan akrab Ketua Gerindra Aceh itu. 

Terpilihnya Mualem - Dek Fadh menandakan dominasi politik Gerakan Aceh Merdeka paska berakhirnya konflik Aceh, sejak 2005. 

Sejak itu, melalui Pilkada 2006, 2012, 2017 dan 2024, Aceh dipimpin oleh mantan GAM yang juga populer disebut mantan pejuang. 

Sebagaimana diketahui, sejak 1976 GAM melancarkan perlawanan terhadap rezim politik Indonesia. Pada 15 Agustus 2005 terjadi pertemuan para pihak yang menghasilkan kesepahaman perdamaian yang dikenal dengan MoU Helsinki. 

Sejak itu, meminjam teori elit politik Vilfredo Pareto terjadi sirkulasi elit di Aceh. Jika dahulu, elit politik atau elit penguasa selalu dipegang oleh orang-nya nasional, maka melalui Pilkada 2006, elit politik Aceh dipegang oleh sosok-sosok yang pernah disebut pengacau oleh Pemerintah. 

Ada hal menarik dengan Pareto saat menjelaskan katagori elit penguasa yaitu melalui singa dan rubah. 

Jenis singa menggambarkan sosok elit konservatif yang memerintah dengan kekuatan dan tradisi. Gaya kepemimpinan singa adalah dengan menampilkan kekuatan sehingga memiliki efek kepemimpinan yang disegani pihak lawan. 


Sedangkan jenis rubah menggambarkan sosok elit penguasa yang memerintah dengan kelicikan dan kemampuan beradaptasi. Gaya kepemimpinan rubah memiliki gerakan yang terkesan diam, sembunyi-sembunyi, bergerak di malam hari, dan penuh intrik.

Di Aceh sendiri singa salah satu hewan imajinatif untuk menggambarkan sosok pemimpin atau penguasa yang hebat. Singa Aceh misalnya dilekatkan kepada Sultan Iskandar Muda. 

Ada juga yang melekatkan julukan Singa Aceh kepada pejuang perempuan Aceh, misalnya kepada Pocot Meurah Intan. Bahkan, ada juga yang pernah menyebut Irwandi Yusuf sebagai Singa Aceh. 

Singa juga terdapat dalam logo GAM bersama Buraq. Kedua hewan ini jelas imajinatif karena tidak terdapat di alam Aceh. Buraq dan singa mewakili aturan Heraldry di Perancis dan Eropa sebagai corak kerajaan (politik konservatif). 

Singa dengan kepala lelaki dan Buraq dengan kepala perempuan sangat mungkin sebagai simbol kesetaraan atau kesiapan rakyat Aceh baik lelaki dan perempuan untuk menjaga Aceh sebagai entitas negara/kerajaan. 

Dominasi elit baru Aceh yang sudah bertahan hingga jelang 20 tahun ini menarik, karena selalu berebut untuk ditempeli oleh elit politik nasional. Pada Pilkada 2006 ada Humam Hamid yang mengandeng calon wakilnya dari GAM. 

Pada Pilkada 2012, ada birokrat yang menjadi calon wakil Irwandi Yusuf. Pada Pilkada 2017 ada TA Khalid yang menjadi calon Muzakir Manaf dan Nova Iriansyah yang menjadi calon wakil Irwandi Yusuf. 

Pada Pilkada 2024, elit politik mantan kombatan Mualem - Dek Fadh bertarung dengan elit birokrat dan elit intelektual yaitu Bustami - Syech Fadhil. 

Meski Mualem - Dek Fadh menang, namun dari sisi selisih suara tidak terlalu berjarak jauh yaitu hanya 183.471 suara. 

Kemenangan Bustami - Syech Fadhil di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya dan Bireuen khususnya bisa dilihat sebagai pertanda akan sangat terbuka terjadi sirkulasi elit politik di Aceh pada periode selanjutnya manakala Mualem - Dek Fadh beserta tim pendukungnya yaitu elit non politik tidak mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemajuan yang berbeda dengan kepemimpinan-kepemimpinan sebelumnya. 

Elit non politik adalah sosok berpengaruh di lembaga non politik yang mampu mempengaruhi orang banyak, dan juga mampu ikut mempengaruhi kebijakan dan keadaan politik. Mereka ini di Aceh umumnya dipegang oleh ulama, cendikia, tokoh ormas dan lainnya. 

Meski sekarang terjadi sirkulasi elit non politik akibat terjadinya sirkulasi elit politik, namun sangat rawan terjadi perubahan sikap politik, khususnya bila tidak mendapat keuntungan dari kekola kekuasaan paska pelantikan. 

Ini kerap terjadi di Aceh. Banyak elit-elit non politik yang kembali menjadi pihak berseteru dengan elit penguasa. Jika ini terjadi maka sangat mungkin kelompok elit rubah akan mengeroyok elit singa sebagimana pernah di alami oleh Irwandi dan Abu Doto. Berhati-hatilah!. [**]

Penulis: Aryos Nivada

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI