Beranda / Kolom / Situasi Ekstrim

Situasi Ekstrim

Kamis, 21 Mei 2020 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Konser amal virtual "Berbagi Kasih Bersama Bimbo" pada Minggu (17/5) malam. (Foto: Antara)


Oleh Otto Syamsuddin Ishak

Konser amal virtual 'Berbagi Kasih Bersama Bimbo', yang diinisiasi oleh MPR RI, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 BNPB, Indika Foundation, dan GSI Lab. Serta didukung Gerakan Keadilan Bangun Solidaritas (GERAK BS), KitaBisa, BenihBaik, Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Yayasan Generasi Lintas Budaya, telah berlangsung sukses, dan sekaligus menuai kritik. 

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan: “Sudah menjadi tugas dan kewajiban MPR RI sebagai Rumah Kebangsaan untuk turut menggelorakan semangat gotong royong yang merupakan kekayaan bangsa. Hal itulah yang mendasari penyelenggaraan konser amal virtual ini.”

Presiden Jokowi mengatakan: “Semoga acara ini bisa menginspirasi banyak orang dan mempererat rasa persatuan kita.”  

Apakah fenomena konser dapat dikatakan merepresentasikan bangkitnya spirit nasionalisme dalam menghadapi pandemic Covid? Apalagi konser virtual tersebut diselenggarakan jelang Hari Kebangkitan Nasional pula. Hal yang pasti inisiatornya memakai embel kebangsaan, meskipun gotong royong lebih cenderung sebagai varian fenomena solidaritas social. Untuk Presiden mengimbuhkan “rasa persatuan” yang mewakili perwujudan nasionalisme.

Namun dukungan dan kritik-kritik yang muncul, menunjukkan telah terbentuk 2 blok social yang dikhotomis. 

Apakah fenomena dikhotomis tersebut dapat sebagai pertanda embrionik yang kian membenarkan proyeksi Bill Gates bahwa di penghujung pandemic Covid19, kita akan hidup dalam situasi yang ekstrim?

Perhatikan saja bagaimana kebijakan berselancar dalam gelombang pandemic. Pertama sekali, dalam KTT virtual G20 di Bogor, Presiden Jokowi mengajak negara-negara anggota G20 untuk ‘perang’ melawan virus Corona. Kedua, Presiden menyatakan: “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan.”

Kalaulah berdamai itu merujuk pada WHO, maka kehidupan berikutnya adalah masuk ke tahap transisi: yang kompleks dan tidak ada kepastian. Sebuah kondisi di mana, menurut Direktur Regional WHO untuk Eropa Henri P. Kluge, setiap warga harus menyesuaikan diri dengan langkah yang cepat.

Karena itu, menurut WHO, rezim harus terlebih dahulu memastikan bahwa transmisi Covid-19 telah terkendali. Sementara posisi Indonesia dalam gelombang pandemic masih dipertanyakan, apakah masih dalam periode gelombang pertama, atau transisi ke dalam gelombang kedua Covid. Apakah Indonesia sudah melalui tahapan klimaks pandemic? Sejauhmana, misalnya PSBB sebagai salah satu bentuk upaya mencegah transmisi cukup tangguh dari pembobolan politik (elite) maupun sosial (masyarakat) dalam skala ruang kelokalan, yang menguntai secara lonas (lokal-nasional). 

Selanjutnya, apakah selama ini terus diupayakan peningkatan kapasitas sistem kesehatan yang merata secara nasional sehingga mampu “mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina pasien.”?

Perubahan kehidupan, kata Presiden Jokowi, “Itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal."

Persoalannya, pandemic itu bergelombang karena virus beradaptasi dengan kondisi konteks di mana ia berada. Isu yang menerpa public pun berbeda. Muncul soalan Herd immunity, yang bak genderuwo yang hadir di siang bolong. Setiap individu warga akan mendapat kekebalan alamiah bila selamat dari serangan Covid. Masalahnya, minimal 70 persen populasi terjangkit Covid, lalu anggota populasi yang hidup itulah yang mendapat herd immunity. Ini juga disebut strategi pasif atau terserah pada situasi dalam berhadapan dengan pandemic.

Hal itu mengingatkan pada teori evolusi Darwin: Survival of The Fittest (1869), atau "Sintasan yang terbugar". Herbert Spencer sebagai Darwinis Sosial mengakui bahwa evolusi adalah 'seleksi alamiah'. Bahwa dalam dunia sosial, “kelangsungan hidup (hanya) bagi yang paling kuat.” Mereka yang tidak kuat akan punah (ditelan oleh gelombang pandemic Covid19). 

Karena itu, timbul sejumlah protes terhadap strategi herd immunity. Bahkan Juru Bicara Pemerintah Achmad Yurianto, mengatakan: “Pemerintah tidak akan menggunakan strategi itu.” Persoalannya bagaimanakah kecenderungan gerak bandul rasa percaya warga negara pada rezim?

Bila situasi makin ekstrim, maka spirit kebangsaan atau persatuan, atau pun solidaritas sosial akan tertinggal di belakang, sementara setiap individu harus memacu diri menjadi yang kuat untuk dapat melanjutkan kehidupannya.


Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala


Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda