DIALEKSIS.COM | Kolom - Siapa yang tidak tahu tentang wakaf Habib Bugak di Mekkah? Sebuah harta wakaf produktif yang telah ada semenjak tahun 1809 M dan terus dapat dirasakan manfaatnya oleh para pemukim, pelajar, hingga jamaah haji asal Aceh, selama ratusan tahun sudah.
Ketika kesultanan Aceh Darussalam masih berdiri kokoh, para sultan dan dermawanan yang berada dalam negeri, sibuk memikirkan bagaimana para pelajar dan para jamaah haji yang kala itu pergi jauh dari negeri asalnya, dapat hidup tenang dan aman di negeri asing. Istana sendiri, membuka beasiswa kepada para aneuk bangsa yang kala itu ingin melanjutkan pendidikannya ke negeri Timur Tengah.
Wakafpun menjadi salah satu solusi yang dipilih oleh sebagian dermawanan, untuk menjamin kehidupan para pelajar dan jamaah haji saat itu. Tercatat, tak hanya wakaf Habib Bugak ditahun 1809 M, jauh sebelumnya rakyat Aceh telah meninggalkan sekitar 20-an properti wakaf yang terpisah ditanah Haramain.
Alhasil, bentuk kepedulian endatu geutanyoe kala itu, tak hanya dirasakan oleh orang sezaman mereka, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya hingga kini. Meski dulunya, harta wakaf ini hanya diperuntukkan sebagai resident (rumah tinggal) masyarakat Aceh di Mekkah. Kini, harta wakaf ini telah menjelma menjadi beberapa aset penting yang terus diperuntukkan manfaatnya untuk masyarakat Aceh. Hingga saat ini, dari hasil wakaf produktif Habib Bugak saja, ribuan jamaah haji Aceh setiap tahunnya mendapatkan dana bagi hasil sebesar 2000 riyal per orang.
Indatu geutanyoe, telah meninggalkan warisan yang benar-benar berharga bagi seluruh generasi Aceh yang ada dan yang akan datang. Tak salah, bila seniman Rafly dalam caee’-nya menyebut, “Indatu geutanyoe ureung meutuwah…Geupeujeut le Allah ateuh rueng donya”.
Karena memang pada dasarnya, para Indatu tak hanya memerhatikan nasib dan kepentingannya saja. Namun, mereka benar-benar memerhatikan tentang keberlangsungan anak cucunya. Bukan hanya memikirkan mereka yang berada didalam daerah saja, namun juga nasib diaspora Aceh yang menyebar hingga ke penjuru daratan arabia.
Teladan kedermawanan dari para endatu geutanyoe ini, tak hanya terus menerus dikenang namun juga diteladani oleh setiap generasi aceh yang pernah hadir. Hingga masa pra kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, tak terhitung sudah berapa kilogram emas milik endatu geutanyoe kala itu, yang telah disumbangkan secara cuma-cuma sebagai modal kemerdekaan dan pembangunan negeri.
Seperti pepatah masyhur dikalangan orang Arab, “orang yang datang sebelum kami telah menanam sesuatu, sehingga kami dapat memakan hasilnya. Maka, kamipun ikut menanami sesuatu, agar orang yang datang setelah kami dapat memakan hasil tanaman kami”.
Jika dahulu, terdapat seorang dermawan dari Aceh bernama Habib Bugak Al-Asyi menorehkan kisah yang tak lekang oleh waktu. Dengan hati yang tulus, ia mewakafkan hartanya di Tanah Suci, agar jemaah haji asal Aceh mendapat tempat singgah dan jamuan makan di tanah asing -- sebuah bentuk cinta sejati pada bangsa, agama, dan ilmu.
Kini, sejarah seperti itu memanggil kita kembali
Saat ini, mahasiswa Aceh di Mesir telah mencapai jumlah 800 orang, dengan jumlah yang tergolong besar itu, mereka hanya memiliki sebuah kamar apartemen yang dijadikan sebagai tempat berkumpul dan beramah tamah sekaligus pusat kegiatan mahasiswa Aceh. Mereka tengah berjuang menuntut ilmu agama dan memperdalam ilmu mereka di Azhar Syarif, institut Islam tertua di dunia, yang telah melahirkan ribuan tokoh-tokoh yang berpengaruh dengan kiprah mereka yang begitu besar dimasyarakat. Mereka adalah wajah masa depan Aceh, namun mereka juga manusia biasa -- yang butuh tempat tinggal layak, ruang untuk belajar, dan naungan untuk tumbuh. Dan hari ini, mereka sedang berjuang membeli sebuah asrama permanen di jantung kota Kairo, yang akan menjadi rumah bagi generasi Aceh selanjutnya.
Asrama yang diimpikan ini bukan sekadar bangunan berdinding bata dan beratap genteng. Ia adalah simbol kemandirian, ketahanan, dan keberlangsungan perjuangan keilmuan anak-anak Aceh di Kairo.
Setiap kamar di dalamnya akan menjadi tempat sujud mahasiswa saat malam-malam panjang belajar. Setiap sudutnya akan menjadi saksi perjuangan mereka menyerap ilmu para masyayikh, para guru besar Al-Azhar, dan para ulama warisan Nabi.
Saat ini, para mahasiswa Aceh di Mesir yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir tengah menggalang dana untuk membeli asrama permanen. Selama ini, mereka tinggal di rumah sewa, yang penuh keterbatasan dan tak ada kepastian. Biaya sewa terus naik, kenyamanan tak selalu terjamin, dan tidak sedikit dari mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal sambil tetap menjalani perkuliahan yang menuntut fokus dan ketekunan.
Mereka tidak meminta dalam keluh, tapi mengetuk pintu hati kita dengan harapan. Harapan bahwa Aceh, tanah kelahiran mereka, tidak melupakan anak-anaknya di perantauan.
Dan bukankah ini saatnya kita menjawab?
Bayangkan, jika setiap keluarga di Aceh ikut menyumbang dan berpatisipasi dalam rencana ini, dan kita berhasil menggerakkan seribu keluarga, maka akan terkumpul dana miliaran rupiah, cukup untuk menjadi tiang awal berdirinya rumah itu. Bukankah ini lebih dari sekadar donasi? Ini adalah warisan. Ini adalah wakaf yang tak akan habis meski kita telah tiada.
Seperti Habib Bugak dan para endatu dulu mewariskan jejaknya di tanah suci, kini kita bisa meninggalkan jejak itu di tanah Kinanah -- tempat tumbuh para pewaris ilmu.
Kami mengajak Anda, masyarakat Aceh di mana pun berada, untuk ikut ambil bagian dalam proyek mulia ini. Dengan niat lillahi ta’ala, mari kita wujudkan rumah yang akan menjadi warisan tak ternilai -- tempat bersemainya ilmu, iman, dan harapan. Sekecil apa pun donasi Anda, akan sangat berarti bagi mereka.
Rekening Donasi:
BSI (Bank Syariah Indonesia)
7773335537
a.n. Panitia Pembangunan Asrama KMA Mesir
Konfirmasi Donasi:
Kamal Azhary, Lc: 0852-6992-1520
Penulis: Teuku Alfin Aulia (Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Mahasiswa Aceh di Kairo, Mesir)