kip lhok
Beranda / Kolom / Rumah Orang-Orang PKI di Aceh Diserbu Massa

Rumah Orang-Orang PKI di Aceh Diserbu Massa

Sabtu, 07 Oktober 2023 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra


Thaib Adamy


DIALEKSIS.COM | Kolom - Menjelang minggu kedua bulan Oktober 1965, demonstrasi anti-PKI meletus di seluruh Aceh. Massa yang amarahnya telah berkobar-kobar menyerbu sejumlah faslitas milik PKI serta kediaman orang-orang yang terhimpun di partai kiri itu.

Penyerbuan itu berlangsung siang-malam. Komando militer di Aceh mencatatnya dalam dokumen resmi mereka yang berjudul Laporan Tahunan Lengkap Kodam-I/Kohanda Atjeh Tahun 1965 (1965). Laporan ini menyebutkan, kekerasan pertama kali terjadi di Banda Aceh pada jam 10 pagi tanggal 7 Oktober, ketika massa menyerbu dan menggeledah rumah Thaib Adamy, salah satu tokoh PKI di Aceh.

Militer mencatat: “Dari hasil penggeledahan dirumah Thaib Adamy PKI telah diketemukan tanda2 pangkat jang menjerupai sedjumlah tanda pangkat T.N.I. dalam keadaan belum siap dan setengah karung tanda pangkat T.N.I. bawahan sudah pakai (telah diserahkan ke Kolatu), berikut buku2 tjatatan pribadi Samikidin dan Thaib Adamy (tokoh utama PKI Atjeh)”.

Selain seragam militer, dalam penggeledahan itu ditemukan pula beberapa dokumen partai, granat tangan yang sudah “dalam keadaan berkarat/tua”, sebuah peluru geren (senapan Garand), dan sembilan selongsong peluru pistol Colt 38. Barang-barang sitaan ini kemudian dianggap sebagai bukti bahwa PKI Aceh sedang mempersiapkan pemberontakan bersenjata.

Pada hari berikutnya, 8 Oktober, HMI bersama massa rakyat mendatangi rumah Ketua PKI Aceh Samikidin. Tahu rumahnya juga bakal jadi sasaran amuk massa, Samikidin lekas melarikan diri bersama keluarganya. Massa yang marah karena gagal menangkap Samikidin kemudian membakar seluruh buku dan mesin tik yang ada di rumah. Uniknya, militer yang menjadi pelaku utama kampanye anti-PKI justru menyebut tindakan kader-kader HMI ini sebagai “demonstrasi liar”.

Kalau setingkat kantor dan rumah petinggi PKI Aceh saja berhasil diobrak-abrik massa, apalagi rumah para anggota “biasa”. Jam 4 sore, demonstrasi anti-PKI berlanjut dengan jumlah massa yang lebih besar. Arsip militer menyebutkan, demonstrasi ini digerakkan oleh lawan-lawan politik PKI seperti NU dan Muhammadiyah. Usai mengelilingi Kota Banda Aceh, para demonstran menyerang rumah Tjut Husin dan membakar perabot-perabot yang ada di dalam rumahnya. Demikian halnya dengan rumah seorang kader bernama Sumbowo. Massa turut membakar fasilitas pendidikan politik milik PKI, yang dalam dokumen militer disebut sebagai “rumah beladjar/rapat PKI”.

Di Lhokseumawe, pennggeledahan rumah para anggota PKI berlangsung hingga lewat tengah malam. Sekitar 30-an anggota partai politik dan ormas menghancurkan barang-barang berharga yang mereka temukan di setiap rumah. Berlangsung pada 10 Oktober, penyerbuan ini dimulai jam 22 dan baru berakhir pukul 2 malam.

Tindakan serupa terjadi di Aceh Timur selepas sembahyang Subuh. Jam 6 pagi, sekitar 15.000 warga Kecamatan Kuala Simpang menyerang rumah milik kader-kader PKI di daerah mereka. Jumlah massa ini cukup besar lantaran organisasi yang terlibat lebih banyak. Bahkan, sejumlah organisasi perempuan ikut serta, yakni Putri Alwasliyah, Putri Marhaenis, dan Wanita Muhammadiyah. Massa menyudahi aksinya dengan menggelar sembahyang gaib untuk mendoakan para tokoh Angkatan Darat yang terbunuh dalam peristiwa G30S.

Keadaan gaduh ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang tak punya agenda politik. Mereka melakukan penyerbuan ke rumah orang-orang Tionghoa yang dituduh mendukung PKI untuk mencari keuntungan pribadi. Pada 25 Oktober, dalam gulita jam setengah lima pagi, rumah seorang warga Tionghoa di Jalan Pekanbaru Banda Aceh diserbu “lima orang tidak dikenal memakai topeng kain putih”. Mereka nyaris berhasil menculik seorang cincu yang menginap di rumah tersebut. Para perampok ini kemudian mencari mangsa lain. Di Jalan Gapura, mereka bertemu dengan seorang Tionghoa lain dan membegal uang sebesar Rp2.000.

Penjelasan Anak Thaib Adamy

Saat diwawancarai sejarawan Jess Melvin, seorang anak Thaib Adamy memilih “Ramly” sebagai nama samaran untuk publikasi kesaksiannya. Namun, dalam sebuah wawancara dengan Heyder Affan dari BBC, ia bersedia nama aslinya, yakni Setiady, diungkap ke publik.

Dalam Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966 (2022), Jess Melvin menyebut Setiadi ragu ayahnya punya granat, senjata api, dan seragam militer. Setiadi menjelaskan, di belakang rumah keluarganya ada kompleks militer atau tempat latihan SI-AD (Sekolah Inteligen-Angkatan Darat). “Ada perumahan tentara juga,” tuturnya.

Saat bermain di halaman belakang rumah, Setiadi dan kawan-kawannya sering menemukan granat-granat kosong yang sudah berkarat. Kerap pula tercecer di situ termos bekas berbahan aluminium dan selongsong peluru. Mereka memungut barang-barang bekas pakai tersebut dan membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan mainan.

Setiady menduga, para demonstran anti-PKI menemukan “granat mainan” sewaktu menggeledah rumahnya. Berbekal temuan itu, massa dan militer kemudian merekayasa narasi bahwa ayahnya “sedang mempersiapkan pemberontakan bersenjata”. Setiady juga menjelaskan bahwa ia tak pernah melihat sang ayah memakai atau menyimpan seragam militer. Dia yakin ada orang yang sengaja meletakkan seragam tentara di rumahnya sebagai bukti palsu.

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Peneliti Sejarah)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda