kip lhok
Beranda / Kolom / Referendum Timor Leste, MoU Helsinki dan Revisi UUPA

Referendum Timor Leste, MoU Helsinki dan Revisi UUPA

Selasa, 09 Juli 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Salah satu peristiwa yang menakjubkan di dunia ini adalah peristiwa Referendum Timor Leste (Timor Timur) berhasil pada abad sekarang, bahkan tawaran otonomi khusus dari Pemerintah BJ Habibie ditolak habis-habisan oleh rakyat Timor Timur. 

Berbeda dengan tawaran Pemerintah Indonesia terhadap dua daerah yang notabane nya bergejolak sepanjang masa yakni Papua dan Aceh. Hingga sekarang masih menikmati status istimewa dan khusus dari Pemerintah Indonesia. Pertanyaan adalah bagaimana nasib Aceh, apa yang harus dipelajari dari momentum keberhasilan Referendum Timor Leste?

Secara historis kehadiran Timor Timur dimulai dalam tahun 1974 ketika terjadi Red Flower Revolution atau Revolucai dos Cravos (Revolusi Bunga Merah) di Portugal pada 25 April 1974 yang dilakukan atas rezim Antonio de Oliveira Salazar (Presiden) dan Mercel Caetano (Perdana Menteri), revolusi dipimpin oleh Jenderal de Spinola menumbangkan pemerintahan diktator dan melahirkan pemerintahan baru di Portugal yang mengembalikan hak-hak sipil rakyat, membebaskan para tahanan politik, menghapuskan polisi rahasia, meniadakan sensor pers, dan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk membentuk partai politik. (The Liang Gie: 1995, 281).

Hasil dari revolusi di atas, Pemerintah Portugal selain mengakui kemerdekaan negara-negara jajahannya di Afrika, juga mengumumkan bahwa kepada Timor Leste pun diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak dan kemerdekaan tersebut diberikan melalui proses dekolonisasi yang akan dikerjakan oleh Pemerintah Portugal yang baru. Dalam hal melaksanakan mandate tersebut maka pada 13 Mei 1974 Gubernur Timor Leste membentuk Komisi untuk Penentuan Nasib sendiri Timor Leste.

Proyek Integrasi

Beberapa referensi dunia menilai bahwa Timor Timur menjadi masalah domestik dan Internasional bagi Indonesia karena pemerintahan Soeharto tidak hanya memaksakan penggabungan wilayah Timor Timur ke dalam NKRI karena situasi perkembangan Timor Timur mencapai puncaknya ketika 28 November 1975 Fretilin mengeluarkan proklamasi kemerdekaan dan mengumumkan terbentuknya Republik Demokrasi Timor Timur, sekaligus mengangkat Xavier do Amaral sebagai Presiden pertama dengan konstitusi yang ditetapkan oleh Comite Central Fretelin. Namun pada saat itu Pemerintah Soeharto memproklamasikan dengan keempat partai pada 30 November 1975 di Baliho yang menyatakan penyatuan seluruh wilayah bekas koloni Portugis sebagai bagian dari Negara Indonesia. Bahkan diiringi dengan invasi militer secara besar-besaran dari darat, laut, dan udara atas wilayah Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975.

Tentu fakta dilapangan dalam hal amatan penulis bahwa proyek integrasi sebenarnya sudah gagal sejak pemerintahan Soeharto memutuskan mendukung Partai Apodeti, salah satu partai yang mendukung integrasi dengan Indonesia, dan kemudian melakukan pengambilalihan atas wilayah Timor Timur, namun pengurus dan pendukung Partai Apodeti merupakan hanya persentase kecil rakyat Timor Timur. Setelah Timor Timur menjadi bagian Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Timor Timur yang secara sepihak ternyata tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Timor Timur terus bergelok kala itu. Kemudian berdasarkan Kesepatakan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur yang ditandatangai pada 5 Mei 1999 di New York di bawah naungan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan dilaksanakan referendum untuk menyelesaikan perselisihan yang ada antara Portugal dan Indonesia (Nimatul Huda: 2014, 209).

Kesepakatan di atas ternyata tidak secara yuridis mengakhiri kekuasaan Indonesia di Timor Leste. Hal ini terlihat pada Pasal 1 menyatakan “Meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk meletakkan usulan Indonesia tentang sebuah otonom yang seluas-luasnya kepada Timor Leste dalam wilayah Republik Indonesia, untuk dipilih oleh masyarakat Timor Leste baik yang ada di dalam Timor Leste maupun diluar Timor Leste untuk disetujui atau ditolaknya lewat sebuah jajak pendapat langsung, rahasia, dan universal.

Artinya penawaran otonomi di atas dalam Pasal 1 di atas masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 5 menguraikan bahwa dikembangkan mekanisme lebih lanjut yang menyatakan bahwa jika masyarakat Timor Leste memilih otonomi maka itu berarti menghendaki integrasi sehingga dengan demikian PBB Harus melewati mekanisme internasional mencabut status Timor Leste dari daftar wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri dan mencabut masalah Timor Leste dari agenda Sidang Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. Jika menolak otonomi, PBB perlu sebuah Administrasi Transisi di Timor Leste untuk mempersiapkan rakyat Timor Leste menuju pemilihan umum yang demokratis untuk membentuk Negara Timor Leste lewat pengesahan konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang dapat diterima oleh semua pihak, termasuk masyarakat internasional. (Avelino M. Coelho. 2012: 88).

Untuk melaksanakan kesepakatan 5 Mei 1999, Sekretaris Jenderal PBB membentuk United Nations Missions for East Timor (UNAMET) yang memegang mandate mengorganisir dan mengadministrasi pelaksanaan referendum, sementara masalah keamanan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Referendum akhirnya dilaksanakan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999 yang hasilnya diumumkan pihak PBB (UNAMET) pada 4 September 1999, sebanyak 344.580 rakyat Timor Timur (78,5%) memilih opsi merdeka (memisahkan diri dari RI) dan 94.388 (21,5%) memilih opsi otonomi luas. Hasil penentuan menunjukkan pendapat bahwa mayoritas warga Timor Timur yang memiliki hak pilih menolak tawaran otonomi khusus di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlu dipahami dan dicatat proyek integrasi Indonesia atas Timor Timur menjadi catatan sejarah dunia karena penuh dengan kekejaman, pertumpahan darah bahkan telah menimbulkan trauma politik yang amat mendalam di hati sanubari rakyat Timor Timur. Hal ini pula menimbulkan kebencian rakyat Timor Timur atas Indonesia karena klaim atas bangsa mereka ternyata belum ada pengakuan PBB atas ‘integrasi’ tersebut.

MoU Helsinki dan UUPA

Uraian di atas kiranya menjadi motivasi kita untuk berpikir jernih atas bangsa Aceh. Bagaimanapun anak cucu kita harus memahami bahwa Aceh dengan Jakarta memiliki hubungan yang sangat dinamis, bahkan dalam teks preambule konstitusi Pemerintah Indonesia memberi sinyal hijau dengan teks menyatakan “Sesungguhnya Kemerdekaan itu adalah Hak segala Bangsa”. Merdeka atau tidak pasca MoU Helsinki itu menjadi persoalan lain, makna merdeka rakyat Aceh dalam bingkai MoU Helsinki harus dipahami dengan merdekanya rakyat Aceh dari kemiskinan, merdekanya rakyat Aceh dari intervensi kewenangan pemerintah pusat atas kewenangan pemerintah Aceh, merdekanya rakyat Aceh dari kemiskinan rakyat Aceh, ketersediaan energi bagi Aceh untuk menumbuh industri-industri strategis di Aceh.

Proyek rencana revisi perubahan UUPA harus dilanjutkan dan bersumber dari jiwa dan rahimnya teks-teks MoU Helsinki. Jika tidak maka diprediksikan akan terjadi proyek disintegrasi kembali pasca habisnya DOKA. Pemerintah Indonesia harus paham betul karena persoalan Aceh bukan hanya DOKA semata tetapi lebih daripada itu, perlu perhatian khusus dari Jakarta atas Aceh, bahkan asistensi khusus harus diterapkan demi mengejar ketertinggalan selama ini.

Kendati demikian, kita juga berharap bahwa perubahan UUPA menjadi pintu masuk kita atas kesejahteraan rakyat Aceh, martabat rakyat Aceh (Bendera dan Lambang), kedaulatan ekonomi rakyat Aceh, hak-hak ekonomi rakyat Aceh. Oleh karena semua pihak atau pemangku kepentingan diharapkan selektif dalam perubahan UUPA ini dikemudian hari. Bahkan kiranya posisi Gubernur Aceh dihapuskan saja digantikan jabatans Wali Nanggroe Aceh selaku Kepala Pemeritahan Aceh yang memiliki kekuasaan federatif di Aceh, sekaligus penjaga marwah dan harkat orang Aceh.

Semoga persoalan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA, dan di Rancangan Perubahan UUPA ke depan tidak menghianati rakyat Aceh, bahkan proyek ini menjadi pintu fundamental kesejahteraan dan kemajuan rakyat Aceh yang akan datang.[**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda