kip lhok
Beranda / Kolom / Qadar, Yakinlah!

Qadar, Yakinlah!

Senin, 01 Februari 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Di kelas pelajaran agama, baik saat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, mau pun di kelas pengajian sore, guru-guru mengajarkan tentang Rukun Islam dan Rukun Iman sebagai landasan keislaman. Namun hal yang tersulit saya pahami hingga saat ini adalah untuk mempercayai adanya qada (takdir baik) dan takdir buruk (qadar)- sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh).

Meskipun kadangkala dan entah mengapa terlintas dibenak untuk memperbandingkan nasib. Rasionalisasinya, sejarah berulang- bergerak secara spiral- antar generasi. Saya berada di dalam pola yang sama, tapi rincian dan konteks yang berbeda. Secara sosiologis, kita berada di dalam sangkar besi yang sama, tapi di zaman yang berbeda.

Hal demikian sering hadir di masa yang sulit. Suatu ketika di tahun 90-an, saya diingatkan oleh seorang kerabat tua: Apa yang kamu cari? Apakah kamu mencari nasib seperti kakekmu? Saya berada dalam suasana konflik bersenjata sedang pasang naik.

Rupanya, kerabat itu teringat pada peristiwa transisi di awal 1940-an. Masa serdadu Belanda mulai bersiap menarik diri dari Aceh dan serdadu Jepang akan masuk.

Kakek sebagai salah seorang pemimpin Mujahidin sekitar Calang tertangkap Belanda bersama abang dan saudara sepupunya di rumah, yang menjadi pusat pergerakan. Suatu malam, mereka dibawa dari tahanan. Kaki mereka dirantai pada potongan besi rel kereta api di ujung jembatan pelabuhan Calang. Lalu, mereka dieksekusi, dan jatuh ke laut teluk Calang.

Lalu, saya terpikir apa yang dikatakan oleh kerabat tua itu. Apakah posisi saya di dalam 1990-an ini sama dengan posisi kakek di awal 1940-an? Apakah saya akan bernasib sama seperti yang dialami kakek Ishak?

Waktu terus bergulir dan saya hanyut di dalam waktu, dan berada di dalam sangkar besi konflik. Suatu hari pada awal tahun 2000-an, saya kedatangan tamu orang asing. Mereka dari HDC yang sedang melakukan penelitian tentang kemungkinan adanya faksi-faksi di dalam pergerakan di Aceh, dan hubungan garis komandonya hingga ke Swedia.

Saya yang didaulat sebagai pengamat mulai beropini dan selesai. Rupanya, mereka kembali lagi menjenguk saya. Dugaan saya telah selesai, salah besar. Saya bertanya dengan lagak sebagai tuan rumah yang ramah: Ada apa? Mengapa kalian kembali ke sini?

Mereka bercerita sudah bertemu dengan sejumlah tokoh Aceh. Mereka mengaku bahwa hendak memfasilitasi proses perdamaian antara RI dan GAM. Mereka mengklaim bahwa berdasarkan pesan dari Tgk Abdullah Syafi’I, bahwa saya dapat memfasilitasi pertemuan dengan para elite GAM.

Ahirnya pertemuan terjadi di sebuah ruang di kompleks sebuah perguruan tinggi di daerah Luengbata. Saya semakin terperosok ke dalam pusaran sangkar besi konflik.

Mengapa nasib harus begini?

Saya pun teringat ayah yang pulang ke Aceh setelah menyelesaikan studi di Yogyakarta pada saat penghujung DI/TII di akhir 1950-an. Almarhum terlibat di dalam proses perdamaian dan upaya menjemput Abu Beureueh dari persembunyiannya.

Saya menemukan dalih rasional untuk nasib saya. Bukankah apa yang saya lakukan untuk HDC adalah kesinambungan dari apa yang saya lakukan saat memfasilitasi Bondan Goenawan bertemu Tgk Abdullah Syafi’i?

Bukankah hal itu semua bukan sesuatu yang saya agendakan, karena hal itu terjadi secara kebetulan? Bukankah saat itu saya juga baru pulang dari studi S2 di Yogyakarta? Begitulah nasib, seperti bola api yang bergerak secara spiral.

Tadi pagi, seorang kawan bercerita sehabis bermain tenis di Darussalam. Katanya, ada seorang dosen muda yang baru pulang dari studi doctoral mengoceh tentang penggusuran rumah, kira-kira seru sang dosen yang lagi heroik itu: Mengapa mereka ingin menguasai perumahan dosen (dan staf) sampai ke anak-cucu?

Saya membatin, mengapa saya masuk lagi ke dalam sangkar besi nasib yang buruk? Saya pun mulai berandai-andai dengan qadar. Jika orangtua saya dulu menjadi dosen saja di Yogyakarta, tentu saya tak mendengar suara sengak sang doctor muda yang ahistoris itu.

Sekalipun kawan tadi membalas: kalau orangtua kami tidak mau tinggal di belantara kebun kelapa dan batu kuburan syuhada ini, maka tidak ada universitas ini. Dan, kau akan sekolah dan cari makan di luar Aceh, bukan di Kopelma Darussalam ini!

Saya terpikir, mengapa tidak ditakdirkan bapak atau kakek dosen muda itu saja yang menjadi pionir dalam mendirikan kampus di Kopelma Darussalam ini?

Mengapa qadar demikian itu ditetapkan pada orangtua saya dan warga Kopelma Darussalam lainnya? Toh, saya juga tidak sekolah di kampus ini. Mengapa setelah selesai studi di Yogyakarta dulu, saya menerima tawaran untuk menjadi dosen di Darussalam, bukankah saya sudah ada tawaran di Yogyakarta? Saya masuk lagi ke sangkar besi nasib.

Tapi sudahlah. Qada dan qadar memang harus diyakini. Tawakkal harus dibangun dengan rendah hati, berprasangka baik pada Tuhan, bersyukur atas nikmat, dan istiqamah dalam amar makruf nahi munkar!*

• Penulis adalah sarjana Geografi dan Sosiologi yang tinggal di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda