DIALEKSIS.COM | Kolom - Ramadhan 1446 H ini menemukan momentum terbaik untuk refleksi menyeluruh bagi kita sebagai anak bangsa. Setelah kita melalui momentum politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung secara serentak, termasuk di Aceh yang sangat melelahkan. Mayoritas kepala daerah terpilih telah dilantik, saatnya bagi seluruh pemimpin dan segenap warga mengumpulkan energi positif untuk menuntaskan agenda politik dalam bentuk kebijakan yang wajib dituntaskan demi kesejahteraan masyarakat.
Ramadhan sebagai bulan pertarungan kebajikan, diharapkan mampu menyuplai energi kebajikan itu menjadi kebijakan yang berkeadilan pada bulan-bulan lainnya setelah bulan Ramadhan berlalu. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa dalam perspektif Islam. Bukan hanya karena di dalamnya terdapat limpahan rahmat yang tanpa batas, dan ampunan (magfirah) Allah SWT yang tanpa sekat, tetapi juga terdapat beragam kemuliaan dan keutamaan lainnya. Bulan Ramadhan dikenal juga dengan syahrun mubarak, bulan penuh keberkahan.
Rasulullah SAW bersabda, ”Sungguh telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. Pada bulan ini diwajibkan puasa kepada kalian.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Al-Baihaqi). Dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, merumuskan makna sejatinya dari ibadah puasa Ramadhan : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Irisan Ramadhan dan tujuan sejati dari politik memiliki benang merah, menghantarkan kita kepada “taqwa” sebagai manusia yang berwujud punya rmanfaat kepada manusia yang lain. Semangat dari ketakwaan dapat diartikan dari bentuk keikhlasan, kejujuran, keadilan, rendah hati, beradab, tidak angkuh dan sombong, sebagai garis lurus menuntun kita berhubungan sempurna dengan Allah SWT dan berhubungan dengan sesama manusia.
Disisi lain, politik juga ditujukan untuk melahirkan tatanan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap warga. Substansi ajaran puasa bermuatan keadilan, begitu juga politik yang diterjemahkan dengan kepemimpinan yang amanah, jujur, berempati dan berkeadilan demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan damai. Ramadhan dan politik adalah peta jalan menuju memanusiakan manusia di muka bumi ini.
Realitas yang kerap terlihat dari ajang perhelatan politik lalu - melahirkan residu manusia penuh amarah dan kebencian. Politik diharapkan sebagai seni menata manusia dan ajang pesta amanah dan ketulusan, justru memanggungkan amarah, intrik penuh konflik. Etika dan akhlaq seakan terkubur, yang lahir justru hunusan amarah dari jiwa-jiwa kerdil dan pragmatis. Kita kehilangan kewarasan dan keteladanan sebagai panutan.
Impian kita kadang hampir terkubur akibat dari realitas elite politik yang seharusnya menarasikan harapan dan keteduhan, justru kerap menyemburkan bahan bakar untuk menyulut amarah ditengah masyarakat yang didera kemiskinan kehidupan dan kemiskinan literasi politik. Masyarakat mudah terbelah terbelah, suasana kebangsaan berkelebat menjadi suram. Kita cenderung menggali kuburan kita bersama dalam timbunan dendam, dimana politik terkesan hanya memberi panggung bagi yang kuat dan siap, namun membunuh yang lemah dan melarat. Kita seperti bukan menjadi sebuah keluarga dan bangsa lagi. Karena itu, Ramadhan ini diharapkan menjadi bulan perenungan yang sesungguhnya bagi kita semua.
Kesalehan umat Islam pada bulan Ramadan secara pandangan mata terlihat meningkat. Ritual keagamaan terlihat secara nyata di ruang publik dan ibadah. Kesalehan sosial juga turut meningkat, tentu ini sangat menggembirakan kita. Kesalehan politik, diharapkan demikian juga yang diterjemahkan dalam kebijakan publik oleh penyelenggara pemerintahan dan politik.
Ramadan dapat dikatakan sempurna bila melahirkan sikap nilai kesalehan ramadhan membekas pada bulan-bulan selanjutnya dalam seluruh dimensi kehidupan. Bukan semata kesalehan ritual keagamaan, melainkan juga kesalehan politik dan sosial.
Ramadhan dengan amalan Puasa, bukan semata kemampuan kita menahan dari rasa haus dan lapar sepanjang hari, namun lebih dari itu. Munsucikan diri dari amarah dan dendam adalah salah satunya. Harapannya, puasa inilah yang membasuh angkara dan dendam politik. Puasa dijadikan bantalan kebajikan politik masa depan. Bagi kita diruang publik, inilah puasa kasta tertinggi yang seharusnya diraih. Bukan semata puasa kelas biasa yang hanya menahan “tidak makan dan tidak minum”.
Ibadah puasa yang kita laksanakan saat ini memiliki tujuan yang luar biasa, oleh karena itu juga ikhtiar atau usaha untuk mencapainya pun harus dilakukan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan yang sepenuh jiwa.
Bila kesadaran itu telah tertanam dalam diri kita, maka ibadah puasa yang kita laksanakan, insya Allah, tidak hanya sekadar menahan perut lapar, dan haus dan dahaga semata. Namuan lebih dari itu, kita akan menjadi manusia yang secara subtsansi mewujudkan nilai puasa sesungguhnya dalam kehidupan.
Namun sangat disayangkan, tidak sedikit di antara kita yang masih belum menuju kepada substansinya puasa. Pemaknaan ibadah puasa sebagian kita masih sebatas pada menahan rasa lapar dan dahaga semata, belum manapaki puasa yang substantif, nilai lebih dari puasa. Rasulullah SAW dalam Sabda-Nya menukilkan bahwa, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga semata ”.
Mudah-mudahan Ramadhan saat ini diharapkan dapat menebarkan kesalehan dan keadaban politik bagi para pihak yang terkait dengan layanan publik disepanjang waktu setelah rpuasa ramadhan. Politik adu domba, intrik busuk, berburuk sangka, berbohong, ghibah, hasad dan hasud sudah seharusnya kita akhiri. Selain akan mengurangi kualitas ibadah puasa kita, perilaku buruk tersebut dapat merusak rajutan kita sebagai sesama manusia dan merusak derajat taqwa kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Saatnya kita meningkatkan taqwa kita dan menebar kesalehan politik untuk kemaslahatan warga. Semoga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa !.
Penulis: Masri Amin,SE,M.Si Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) sekaligus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh.