DIALEKSIS.COM | Kolom - Banjir yang kembali melanda berbagai wilayah di Sumatera tidak dapat lagi dipahami sebagai peristiwa alam semata. Intensitas banjir yang terus berulang justru menunjukkan adanya persoalan struktural yang dibiarkan berlangsung dalam waktu lama.
Kerusakan lingkungan, lemahnya pengawasan, serta kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan hasil dari keputusan politik yang diambil oleh negara dan pemerintah daerah. Ironisnya, di tengah kegagalan politik tersebut, kelompok masyarakat tertentu menanggung beban yang lebih berat, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Dalam banyak kasus, kebijakan penanganan banjir masih mengabaikan realitas sosial dan relasi kuasa yang timpang. Hal ini berupaya mengkritisi bagaimana politik kebencanaan di Indonesia, khususnya dalam konteks banjir di Sumatera, masih belum berpihak pada keadilan gender.
Banjir yang terjadi di Sumatera merupakan konsekuensi dari kebijakan politik yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan keselamatan masyarakat. Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan menjadi faktor utama yang memperbesar risiko banjir. Kebijakan tersebut tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan hasil dari keputusan politik yang melibatkan relasi kuasa antara negara, korporasi, dan elite lokal.
Dalam konteks ini, negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dengan menyebut banjir sebagai bencana alam. Ketika izin usaha diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, dan ketika pelanggaran lingkungan dibiarkan, maka banjir menjadi produk langsung dari kegagalan politik. Masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan, dipaksa menanggung dampak dari keputusan yang tidak pernah mereka buat.
Politik kebencanaan di Indonesia cenderung bersifat netral gender, namun netralitas ini justru menutupi ketimpangan yang nyata. Dalam situasi banjir, perempuan mengalami beban berlapis yang sering kali tidak terlihat dalam laporan resmi pemerintah. Perempuan bertanggung jawab atas pengasuhan anak, perawatan lansia, serta pengelolaan kebutuhan rumah tangga, bahkan dalam kondisi darurat. Di pengungsian, kebutuhan perempuan kerap dianggap sebagai persoalan tambahan, bukan prioritas utama. Minimnya fasilitas sanitasi yang layak, terbatasnya layanan kesehatan reproduksi, serta kurangnya mekanisme perlindungan dari kekerasan berbasis gender menunjukkan bahwa kebijakan kebencanaan belum dirancang dengan mempertimbangkan pengalaman perempuan. Ketimpangan ini bukan terjadi karena kurangnya sumber daya, melainkan karena absennya perspektif gender dalam proses pengambilan keputusan.
Salah satu akar persoalan ketidakadilan gender dalam penanganan banjir adalah minimnya representasi perempuan dalam struktur politik dan pengelolaan bencana. Kebijakan kebencanaan masih didominasi oleh perspektif maskulin yang menitikberatkan pada aspek teknis dan fisik, seperti infrastruktur dan logistik, sementara aspek sosial dan kebutuhan kelompok rentan kurang mendapatkan perhatian. Ketika perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, pengalaman hidup mereka tidak tercermin dalam kebijakan publik.
Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam situasi banjir bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Politik kebencanaan yang tidak inklusif pada akhirnya memperkuat ketidakadilan sosial yang sudah ada sebelumnya.
Meskipun sering diposisikan sebagai korban, perempuan juga menunjukkan kapasitas yang kuat dalam menghadapi banjir. Di berbagai wilayah di Sumatra, perempuan berperan aktif dalam mengorganisasi bantuan, mengelola dapur umum, serta menjaga keberlangsungan kehidupan komunitas di tengah krisis. Namun, peran ini kerap dianggap sebagai kerja sukarela yang tidak memiliki nilai politik.
Ketidakmampuan negara untuk mengakui dan menginstitusionalisasi peran perempuan dalam kebijakan kebencanaan menunjukkan adanya bias gender yang masih kuat. Perempuan ditempatkan sebagai objek perlindungan, bukan subjek pengambil keputusan. Padahal, penguatan peran perempuan dalam politik kebencanaan dapat menjadi langkah strategis untuk membangun ketahanan masyarakat secara berkelanjutan.
Paradigma politik kebencanaan yang selama ini mendominasi praktik pemerintahan masih sangat problematik karena bertumpu pada logika reaktif, teknokratis, dan jangka pendek. Negara cenderung hadir hanya ketika bencana sudah terjadi, melalui penanganan darurat, distribusi bantuan, dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak, tanpa menyentuh akar persoalan struktural yang menyebabkan bencana itu terus berulang. Dalam kerangka seperti ini, kebencanaan direduksi menjadi peristiwa alam semata, bukan sebagai hasil dari relasi kuasa, kebijakan tata ruang yang eksploitatif, serta model pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.
Lebih jauh, paradigma reaktif ini mencerminkan kegagalan politik dalam membaca bencana sebagai arena ketimpangan. Persoalan gender hampir selalu dipinggirkan karena dianggap sebagai isu sekunder yang tidak relevan dengan situasi darura. Perempuan dan kelompok rentan lainnya diposisikan hanya sebagai korban pasif yang menerima bantuan, bukan sebagai subjek politik yang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kebutuhan spesifik. Akibatnya, kebijakan kebencanaan sering kali bersifat buta gender, bahkan mereproduksi ketidakadilan yang sudah ada sebelum bencana terjadi mulai dari beban kerja perawatan yang meningkat, keterbatasan akses terhadap bantuan, hingga risiko kekerasan yang jarang diakui secara institusional.
Hal semacam ini patut dikritisi secara mendalam karena menunjukkan absennya visi transformasional dalam politik kebencanaan. Selama negara hanya berfokus pada pemulihan fisik dan stabilitas jangka pendek, bencana akan terus menjadi siklus yang berulang: banjir datang, bantuan disalurkan, lalu dilupakan sampai bencana berikutnya terjadi. Tanpa perubahan paradigma, kebijakan kebencanaan justru berfungsi sebagai alat normalisasi krisis, bukan sebagai sarana untuk mencegahnya.
Oleh karena itu, politik kebencanaan seharusnya tidak berhenti pada logika respons darurat dan rehabilitasi semata. Ia harus diarahkan pada transformasi struktural yang menantang ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, serta model pembangunan yang merusak lingkungan. Integrasi perspektif gender bukanlah tambahan opsional, melainkan elemen kunci untuk membangun kebijakan kebencanaan yang adil dan berkelanjutan. Tanpa keberanian politik untuk menggeser paradigma ini, negara tidak hanya gagal melindungi warganya dari bencana, tetapi juga turut melanggengkan ketidakadilan yang seharusnya dihapuskan.
Penutup
Banjir yang terjadi di Sumatera hari ini merupakan cermin dari kegagalan politik dalam mengelola lingkungan dan melindungi masyarakat secara adil. Ketimpangan gender dalam situasi bencana bukanlah persoalan sampingan, melainkan inti dari masalah kebijakan kebencanaan yang tidak inklusif.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan mendasar dalam politik kebencanaan di Indonesia. Perspektif gender harus ditempatkan sebagai bagian utama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Tanpa keberanian politik untuk melakukan perubahan tersebut, banjir akan terus menjadi ruang reproduksi ketidakadilan, dan perempuan akan terus menjadi kelompok yang paling dirugikan. [**]
Penulis: Fifi Aleydha (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry)