Politik Identitas Antara Nasionalisme dan Agama
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ikhlasul Amal
Ikhlasul Amal, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Politik identitas memberikan ruang yang besar untuk menciptakan keseimbangan dan konflik dalam proses demokratisasi suatu negara. Politik identitas yang berkembang dapat berdampak pada rusaknya stabilitas negara jika tidak disikapi dengan baik dan bijaksana. Mengabaikan konflik yang didasarkan atas politik identitas yang berbeda menciptakan ketidakstabilan negara.
Terkait perbedaan identitas politik antara nasionalis dan Agama turut menimbulkan permasalahan yang berbeda bagi masyarakat luas, baik akibat propaganda maupun klaim kebenaran antar kelompok. Penyimpangan dalam penerapan politik identitas disebabkan oleh adanya sebagian elit politik kelompok yang terpengaruh oleh nilai-nilai dan berpegang teguh pada gagasan-gagasan yang datang dari luar, demi keuntungan jangka pendek sekaligus mewujudkan angan-angan politik yang telah lama terkubur
Perdebatan mengenai politik identitas semakin intensif sehingga klaim kebenaran muncul dari dalam kelompok, kemudian kepentingan mulai menyebar ke populasi yang sebelumnya terisolasi. Inilah kelemahan politik identitas, upaya yang sangat besar dalam membentuk kelompok khusus. Walaupun demikian politik identitas dapat berupaya melestarikan nilai-nilai agama yang menjadi ciri khas masing-masing kelompok agar agama tidak hilang.
Salah satunya Aceh. Bumi Serambi Mekkah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang pernah terlibat dalam penggunaan identitas politik. Aceh pernah mempunyai wilayahnya sendiri yaitu Kesultanan Aceh, namun Kesultanan Aceh goyah dan menyerah kepada Hindia Belanda pada tahun 1903. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1976 Aceh membentuk Gerakan Aceh Merdeka untuk melancarkan Gerakan separatis melawan negara Indonesia.
Kepentingan kelompok elit untuk menggunakan politik identitas untuk meninjau kembali persoalan primitivisme dengan membingkai fanatisme individu atau kelompok dalam istilah agama menimbulkan perpecahan yang mendalam dan menjadi ancaman bagi nasionalisme negara. Oleh karena itu, segala bentuk perpecahan yang mungkin timbul antara kedua kelompok identitas politik ini, harus diminimalisir melalui peran pemerintah dan masyarakat.
Krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah yang gagal menyelesaikan permasalahan masyarakat yang lebih luas menyebabkan munculnya kepentingan politik yang bertujuan untuk menjaga kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.
Penyelenggaraan pemilu juga seringkali menjadi ajang perebutan kekuasaan, menghalalkan segala tindakan yang merugikan agama. Proses pemilu inilah yang menjadi titik utama berkembangnya perpecahan antara semangat nasionalisme dan agama di Indonesia.Kegagalan pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang adil dan masuk akal serta keserakahannya untuk tetap berkuasa telah menjadikan politik identitas sebagai cara yang paling efektif untuk memenangkan suara rakyat.
Pembentukan opini masyarakat mengenai keberagaman dan semangat nasionalisme yang dilakukan media massa telah memecah belah kehidupan berbangsa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa agama mayoritas di Indonesia telah lama menganut prinsip-prinsip nasionalis dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia, seperti mengakui Pancasila sebagai dasar nasional toleransi beragama dengan mengakui keberadaan agama minoritas.
Meningkatnya pemberitaan, meski hanya beberapa menit, menimbulkan pertanyaan liar mengenai politik identitas dan menimbulkan permasalahan baru dalam penyebaran berita yang tidak pasti dan sebagian besar bersifat palsu (hoaks).
Gagasan toleransi dan politik identitas turut pula memberikan solusi terhadap konflik antar kelompok kepentingan yang berbeda. Hal tersebut menjadikan negara Indonesia sebagai role model dalam memimpin sistem pemerintahan dengan latar belakang yang beragam dan dinamis.
Politik identitas sendiri tidak lepas dari indikator-indikator yang muncul, antara lain, Pertama, Politik identitas dipahami sebagai suatu struktur untuk menentukan kepentingan kelompok tertentu, dengan mekanisme untuk mengatur identitas politik, sosial, budaya dan agama. Ini merupakan sarana untuk mencapai kekuasaan politik.
Kedua, Keikutsertaan tokoh politik, sosial, budaya dan agama dalam konflik nasional semakin menunjukkan dinamisme politik nasional yang semakin progresif dan terbuka diberbagai bidang. Hal ini dibuktikan dengan munculnya tokoh-tokoh nasional yang mengalami kriminalisasi dalam sistem hokum Indonesia. Isu yang paling menarik adalah kriminalisasi ulama dalam konteks sosial keagamaan, dimana terdapat Gerakan politik yang belakangan berkembang menjadi perdebatan politik nasional.
Ketiga, Diskriminasi politik menjadi indikator utama munculnya poros baru politik identitas. Tentu saja, menciptakan politik yang dinamis memerlukan kontrol politik yang seimbang antara koalisi dan partai oposisi. Dengan mengedepankan kepentingan bersama, koalisi harus mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi politik dalam negeri. Disisi lain, partai oposisi harus menjadi penyeimbang pemerintahan.
Keempat, Munculnya organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yaitu Pancasila yang berkampanye melawan negara dan dianggap menyimpang dari nilai-nilai inti negara dan akhirnya dicabut pengakuannya serta dianggap sebagai bagian dari amanat negara untuk stabilitas.
Ketidakselarasan politik dalam menangani konflik politik identitas dapat berujung pada berakhirnya demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, segala bentuk perpecahan yang mungkin timbul antara kedua kelompok identitas politik ini harus diminimalisir melalui peran pemerintah dan masyarakat. [**]
Penulis: Ikhlasul Amal (Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh)
- Rektor UIN Ar Raniry: Salam Lintas Agama Representasi Semangat Keragaman dan Persaudaraan
- Mantan Dirjen Minerba Sentil Nasionalisme Pejabat Negara, CERI Siapkan Gugatan ke Mahkamah Agung
- MUI Putuskan Salam Lintas Agama Bukan Bentuk Toleransi
- Soal UKT, Menteri Agama: Prinsipnya Jangan Beratkan Mahasiswa