Pilkada Aceh 2024: Babak Baru Narasi Keberlanjutan Perdamaian
Font: Ukuran: - +
Reporter : Firdaus Mirza
Firdaus Mirza Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Kolom - Memasuki tahun 2024, Aceh kembali menghadapi momentum politik yang krusial. Di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden, provinsi yang dijuluki Serambi Mekah ini tengah bersiap menggelar pesta demokrasi lokalnya sendiri: Pemilihan Kepala Daerah. Bagi Aceh, ini bukan sekadar rutinitas lima tahunan. Ini adalah ujian kesekian kali bagi daerah yang pernah dilanda konflik selama tiga dekade.
Saya teringat suasana Aceh pada 2005, ketika Memorandum of Understanding Helsinki ditandatangani. Kala itu, perdamaian terasa begitu rapuh. Namun, siapa sangka, perjanjian itu menjadi titik balik yang mengubah wajah politik Aceh. Kini, setelah hampir dua dekade, dinamika politik lokal telah bermetamorfosis. Para mantan kombatan telah bertransformasi menjadi politisi, dan generasi muda Aceh mulai mengambil peran dalam panggung politik.
Tetapi, benarkah transformasi ini telah mengakar? Pilkada 2024 akan menjawabnya. Politik identitas masih menjadi kartu andalan para kandidat. Syariat Islam, otonomi khusus, dan pengelolaan sumber daya alam—tiga isu klasik yang tak pernah usang—kembali menjadi komoditas kampanye. Namun, ada yang berbeda kali ini. Masyarakat Aceh tidak lagi mudah terpesona dengan retorika kosong.
Di warung kopi—tempat di mana politik Aceh seringkali dirajut—saya mendengar diskusi-diskusi yang lebih substantif. Mereka tidak hanya membicarakan siapa yang akan memimpin, tetapi juga bagaimana Aceh bisa bergerak maju tanpa meninggalkan jati dirinya. Ini pertanda bahwa demokrasi lokal telah memasuki fase yang lebih matang.
Namun, ada paradoks yang menarik. Di satu sisi, semangat partisipasi politik terlihat menggeliat. Di sisi lain, ketegangan dengan pemerintah pusat masih sesekali muncul ke permukaan, terutama dalam hal pembagian kekuasaan dan sumber daya. Pilkada kali ini harus bisa menjembatani jurang ini—mencari sosok pemimpin yang mampu berdialog dengan Jakarta tanpa kehilangan marwah Aceh.
Yang menarik, politik identitas di Aceh telah mengalami pergeseran makna. Ia tidak lagi sekadar tentang Islam atau ke-Acehan, tetapi lebih pada bagaimana identitas itu bisa menjadi modal sosial untuk pembangunan. Para kandidat yang cerdas sudah mulai menangkap sinyal ini. Mereka tidak lagi sekadar mengumbar janji tentang penerapan syariat Islam yang lebih ketat, tetapi mulai berbicara tentang bagaimana nilai-nilai Islam bisa menjadi fondasi untuk kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.
Pilkada Aceh 2024 adalah cermin dari perjalanan panjang sebuah daerah yang pernah terluka. Ia bukan sekadar kontestasi politik, melainkan refleksi dari kedewasaan demokrasi lokal. Mungkin inilah saatnya Aceh membuktikan bahwa daerah ini bisa melahirkan pemimpin yang tidak hanya paham tentang politik identitas, tetapi juga mampu menerjemahkannya menjadi kebijakan yang membumi.
Bagi saya, ini bukan sekadar optimisme hampa. Aceh telah membuktikan bahwa ia bisa bangkit dari konflik panjang. Kini, tantangannya adalah memastikan bahwa perdamaian itu tidak hanya bertahan, tetapi juga berbuah manis bagi kesejahteraan rakyatnya. Pilkada 2024 adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa Serambi Mekah ini telah benar-benar dewasa dalam berdemokrasi.
Penulis: Firdaus Mirza Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Dialeksis.com