Pendekatan Interseksionalitas: Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Rafiqa Rahmah
Kiri-Kanan: Bayu Satria, pendiri Youth ID; Dessy Setiawaty, Yayasan Kesejahteraan Perempuan di Indonesia; Kaprodi Rizkika Lhena Darwin, S.IP., M.A; dan Rafiqa Rahmah, Duta FISIP UIN Ar-Raniry. [Foto: for dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Isu gender dan keadilan sosial di Aceh merupakan persoalan yang kompleks dan tidak bisa dipandang secara terpisah. Untuk memahaminya secara menyeluruh, kita perlu menggunakan pendekatan interseksionalitas, yang dapat mengidentifikasi bagaimana berbagai faktor sosial, seperti gender, agama, kelas sosial, dan etnisitas, berinteraksi membentuk pengalaman hidup yang berbeda bagi individu, terutama perempuan.
Hal ini menuntut adanya analisis yang mendalam untuk menggali akar permasalahan dan mencari solusi yang tepat.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh di bawah Bimbingan Kaprodi Rizkika Lhena Darwin, S.IP., M.A. mengadakan kegiatan Stadium General dan diskusi publik yang membahas kompleksitas masalah gender dan keadilan sosial di Aceh melalui pendekatan interseksionalitas. Kegiatan ini dihadiri oleh Duta FISIP UIN Ar-Raniry dan mengundang dua pemateri terkemuka, antara lain Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan di Indonesia (YKPI) dan Bayu Satria, pendiri Youth ID dan pejuang hak anak.
Tantangan dalam Melibatkan Kaum Muda Lintas Keberagaman
Dessy Setiawaty dalam pemaparannya menekankan pentingnya keberagaman dalam melibatkan kaum muda. Ia mengingatkan bahwa keberagaman tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga mencakup gender, disabilitas, dan latar belakang sosial ekonomi.
Dalam merancang kegiatan yang inklusif, penting untuk memahami kebutuhan khusus peserta, termasuk yang berhubungan dengan gender dan disabilitas. Dessy menambahkan bahwa kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, memerlukan pendekatan afirmatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka agar dapat mengakses kesempatan secara setara.
Perspektif Bayu Satria tentang Disabilitas
Dalam sesi diskusi, Bayu Satria mengajukan pertanyaan yang membuka wawasan peserta: "Apakah disabilitas itu sebuah privilege atau kerentanan?" Ia mengajak peserta untuk melihat disabilitas tidak hanya dari sudut pandang kekurangan, tetapi juga sebagai potensi dan tantangan yang harus dihadapi. Menurutnya, kerentanan atau privilege tidak bisa dilihat hanya dari luar, melainkan harus dieksplorasi lebih dalam untuk memahami kekuatan dan hambatan yang dimiliki individu. Pendekatan ini mendorong peserta untuk berpikir lebih holistik tentang isu disabilitas dan keadilan sosial.
Peran Kaum Muda dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial
Rafiqa Rahmah, sebagai Duta FISIP UIN Ar-Raniry dan peserta dalam kegiatan tersebut, turut berpartisipasi dalam diskusi. Ia mengajak kaum muda untuk aktif terlibat dalam mengatasi kerentanan yang dihadapi perempuan dan anak, terutama terkait dengan kekerasan. Rafiqa menekankan pentingnya kolaborasi dan partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Tanggapannya yang positif terhadap ajakan Dessy Setiawaty untuk bergabung dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember menunjukkan komitmen dan kesiapan kaum muda dalam mendukung perubahan.
Norma Sosial dan Diskriminasi Gender di Aceh
Di Aceh, norma sosial yang sangat kuat masih mengatur peran gender, yang sering kali berujung pada ketidaksetaraan, terutama terhadap perempuan. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa bidang, kesetaraan gender tetap terabaikan, dan perempuan sering terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk partisipasi politik dan pengambilan keputusan.
Tidak hanya perempuan mayoritas, perempuan dari kelompok minoritas dan penyandang disabilitas juga menghadapi diskriminasi yang berat. Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikologis, maupun seksual, masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih.
Langkah Menuju Keadilan Sosial yang Inklusif di Aceh
Untuk mencapai keadilan sosial yang lebih inklusif, diperlukan berbagai langkah strategis, dengan pendekatan interseksionalitas sebagai kunci utama. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
• Membangun Dialog dan Kerjasama
Membangun dialog lintas sektoral, termasuk dengan tokoh agama, untuk mengubah pandangan dan praktik diskriminatif. Kerjasama ini penting untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih luas.
• Penguatan Kapasitas Perempuan
Memberikan pelatihan dan dukungan untuk perempuan, agar mereka memiliki kepercayaan diri dan keterampilan yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.
• Advokasi Kebijakan
Mendorong pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang lebih inklusif dan adil, dengan memperhatikan kebutuhan dan keragaman sosial masyarakat.
• Pergerakan dari Bawah
Menginisiasi perubahan dari tingkat komunitas melalui organisasi masyarakat. Perubahan sosial yang berkelanjutan sering dimulai dari akar rumput, dengan komunitas yang memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan tersebut.
Membangun Perubahan Sosial yang Berkelanjutan
Perubahan sosial yang signifikan dimulai dari perubahan pandangan individu. Untuk mencapai keadilan sosial yang lebih adil dan setara, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesetaraan gender perlu ditingkatkan, serta pemberdayaan perempuan harus diberikan melalui akses yang setara terhadap sumber daya. Kolaborasi lintas sektor, antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat sipil, akan memperkuat upaya menuju keadilan sosial yang inklusif.
Diskusi dan kegiatan seperti Stadium General ini menjadi salah satu cara penting untuk mendorong perubahan, dan sangat dibutuhkan agar masyarakat, terutama di Aceh, mulai melihat isu gender dan keadilan sosial sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan secara holistik. Oleh karena itu, perubahan ini harus dilakukan secara inklusif dan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa memandang gender, agama, atau status sosial. [**]
Penulis: Rafiqa Rahmah (mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry Banda Aceh)