Beranda / Kolom / Negara Topeng Monyet

Negara Topeng Monyet

Minggu, 25 Juli 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Geertz (1926-2006), adalah antropolog favorit saya. Ada banyak alasan untuk itu. Hal yang utama adalah daya abstraksi Geertz yang luar biasa dari kondisi empiris yang beragam (dinamika konteks) di Indonesia.

Lalu, kita mengenal, diantaranya dari pola bercocok tanam padi sawah, muncul teori involusi. Dari pola beragama Islam masyarakat di Jawa, muncul 3 varian (trikhotomi) dalam agama Jawa. Dari pola bernegara di Bali, kita jadi mengenal Negara Teater.

Hal lain, Geertz itu, saya kenal, sebagai antropolog yang dengan leluasa keluar-masuk ke dan dari teori-teori sosiologi. Mungkin, selain kapasitas intelektualnya yang tinggi, Geertz juga mahasiswa bimbingan sosiolog, Talcott Parson (1902-1979).

Apalagi Geertz sebagai antropolog, juga orang yang memperkenalkan pemikiran sosiologi dari Weber (1864-1920). Meskipun Geertz disebut sebagai teoritisi simbolik, jika dilihat dari perspektif Weber, hasil abstraksinya adalah tipe-tipe ideal.

Geertz adalah antropolog yang sangat dekat dengan sosiologi. Untuk contoh lain, kita bisa membandingkan teori Dramaturgi (1959) karya Goffman (The Presentation of Self in Everyday Life) dengan teori Negara Teater (1979) karya Geertz, yang merupakan abstraksi Geertz dari dinamika bernegara dalam konteks Bali.

Jika Goffman menjelaskan fenomena dengan membagi ke dalam panggung depan (kehidupan yang dicitrakan) dan belakang (kehidupan yang sesungguhnya). Goffman juga, menurut Collins, banyak mempertimbangkan pemikiran-pemikiran di dalam antropologi social.

Geertz mengabstraksikan upacara kremasi, karena merupakan ritual yang agung dalam kehidupan bernegara di Bali. Semua symbol-simbol, misalnya menara kremasi (bade) sangat sarat dengan makna simbolik. Lalu, teori Negara Teater tersebut dikatakan bahwa "Kekuasaan itu untuk melayani kemegahan, bukan untuk menunjukkan kemahiran kekuatan”.

Mungkin fenomena sosial maupun budaya, sebetulnya mengabstraksikan bagaimana pola perilaku elite dalam mengelola kehidupan bernegara, bagaimana elite berinteraksi dengan elite khususnya dan elite dengan warga negara pada umumnya.

Apalagi, pengelolaan bernegara, juga dapat dilihat sebagai upaya elite mengorientasikan perilaku warga negara di dalam berinteraksi politik. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sebuah rezim (yang lalim), baik secara individual maupun oligarki, di dalam merekayasa kehidupan warganegaranya dengan kekuatan politik yang absolut.

Unik juga, Geertz tidak memakai istilah yang dikembangkan oleh Wittfogel, yakni Oriental Despotism. Barangkali, materi budaya sangat banyak menyediakan bahan baku, yang dapat dipakai untuk menyebut tipe ideal yang ditemukan sehingga Geertz cenderung menggali keunikannya, dan menyebut dengan istilah yang sesuai dengan konteks empirisnya.

Mungkin, dalam situasi politik tertentu, istilah budaya itu tersingkap. Misalnya, kala Aceh dalam situasi konflik bersenjata, kita sering mendengar sebutan negara wayang. Situasi kehidupan bernegara seumpama panggung pewayangan, di mana dalang sangat dominan dalam menggerakkan wayang.

Peristiwa budaya lain, yang dapat mewakili situasi kehidupan bernegara, mungkin topeng monyet. Di sana dapat kita temukan seorang pawang dan seekor monyet (spesies Macaca Fascicularis) yang diikat tali pada lehernya, dan ujung yang lain dipegang oleh pawang untuk mengendalikan gerak-gerik sang monyet. Pawang sudah melatih monyet tersebut untuk meniru gerak-gerik manusia, seraya diiringi musik.

Topeng monyet boleh dibilang grup sirkus kecil yang bergerak dari kampung ke kampung, dan menjadi tontonan yang menggembirakan bagi anak-anak.

Monyet itu menggambarkan sosok yang dipasung. Ia bergerak dari kampung ke kampung, dan mendapat simpati karena menghibur “anak-anak” (politik). Sementara, pawang terus mengendalikan gerak kera, sambil memerintah, memukul atau membunyikan alat musik, dan sekaligus mengumpulkan saweran.

Jadi, ada abstraksi terhadap fenomena budaya (tradisional) itu untuk menjadi tipe ideal bernegara. Tapi, kita harus hati hati ketika menontonya, karena monyet bisa mengejar, mencakar, dan menggigit.

Peneliti dari Pusat studi primata pada University of Washington, Lisa Jones Engel menemukan hasil penelitiannya di Jakarta, bahwa monyet-monyet itu menyebarkan berbagai virus, termasuk yang bisa menimbulkan penyakit leukemia (virus HTLV), dan menularkan TBC.

Pada 2013, terkait dengan bahaya itu, maka Gubernur DKI Joko Widodo memerintahkan untuk membeli monyet-monyet dari miniatur sirkus itu, lalu menempatkannya di Ragunan.*

*Penulis adalah sosiolog yang tinggal di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda