DIALEKSIS.COM | Kolom - Selama 19 Tahun saya hidup dan bertumbuh, Saya mungkin pernah mencoba-coba untuk merokok, itupun hanya 4 kali dengan rokok yang berbeda, termasuk kertas yang saya gulung lalu saya bakar. Tetapi saya tidak pernah sekalipun merasakan dimana nikmat dan lezatnya dari setiap gempulan asap yang kita hisap.
Alhamdulillah sejak itu saya tidak mau lagi menghisap rokok. Saya juga tidak pernah lagi menyalakan sebatang rokok. Tidak pernah menggenggamnya, apalagi menikmati kepulan asapnya. Tapi tubuh saya mengenal betul aroma tajam tembakau terbakar.
Setiap hari, paru-paru ini dimasuki oleh asap yang tak pernah saya minta. Saya hidup di tengah masyarakat yang menjadikan rokok bukan hanya kebiasaan, tetapi menjadi budaya. Sebuah kegiatan yang telah berlangsung sejak dulu, diwariskan dari satu generasi ke generasi, dan dibiarkan tanpa kritik berarti.
Budaya merokok di Indonesia sudah sedemikian dalam mengakar, terkhusus sekali di Aceh. Di warung kopi, pesta pernikahan, ruang tamu, hingga di dalam rumah, rokok kerap hadir bahkan lebih duluan daripada sapaan. Yang tidak merokok pun seakan dipaksa untuk menerima kalau bukan oleh asapnya, ya oleh diamnya masyarakat terhadap bahaya yang mengancam. Saya adalah salah satu dari jutaan perokok pasif yang tidak pernah punya pilihan.
Dua tahun lepas, saya ada membaca sebuah kisah yang membuat hati teriris di Kompas TV. Seorang ibu kehilangan bayinya karena rokok. Bukan karena bayinya merokok, ya tidak mungkin karna tidak masuk akal, tapi karena asap yang mengepung udara di sekitarnya di dalam rumahnya sendiri. “Anakku mati karena asap rokok,” begitu pengakuan sang ibu, yang mencoba tegar menghadapi kenyataan pahit. Betapa tragisnya udara yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi racun yang menghilangkan nyawa seorang malaikat kecil yang bahkan belum genap satu tahun.
Dari Kasus ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Rokok bukan hanya membunuh perokoknya, tetapi siapa saja yang terjebak di sekitarnya. Menurut data Kementerian Kesehatan saja, paparan asap rokok pada bayi dan anak-anak meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan, asma, bahkan kematian mendadak. Namun sayangnya, banyak keluarga yang masih menyepelekan hal ini merokok dekat anak-anak sambil berujar, “Cuma sebentar, kok.” Padahal, satu kepulan bisa jadi sisa napas terakhir bagi mereka yang paru-parunya belum kuat menahan racun.
Kita hidup di negara yang begitu permisif (membolehkan) terhadap rokok. Iklan rokok masih bertebaran, rokok dijual bebas bahkan didekat sekolah, dan pembahasan soal regulasi pengendalian tembakau kerap menghadapi resistensi politik dan ekonomi.
Bahkan saya pernah melihat komentar netizen di sosial media seperti ini: "Ingat bro, Pendapatan Pajak di APBN kita lebih besar dari Pajak Rokok." Iya, betul, sebenarnya pendapatan pajak rokok itu memang besar yaitu menurut saya baca dari Data sebesar Rp. 55 Triliun per Kuartal I tahun 2025, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi penyakit terkait rokok jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh dari pajak rokok.
Mereka yang merokok mungkin merasa itu hak mereka. Tapi bagaimana dengan hak orang lain untuk menghirup udara bersih? Bagaimana dengan hak seorang bayi, anak-anak untuk tumbuh tanpa diracuni setiap hari? Kesegaran udara kini menjadi kemewahan yang semakin langka, apalagi di rumah-rumah yang dikepung budaya merokok.
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi, tetapi hanya membicarakan realitas, Karena di tengah gumpalan asap, selalu ada yang diam-diam mencari kesegaran. Kadang seorang bayi, anak-anak, Kadang juga seseorang seperti saya.
Referensi:
https://www.google.com/amp/s/www.kompas.tv/amp/lifestyle/423211/kisah-pilu-ibu-yang-kehilangan-bayi-akibat-perokok-dalam-keluarga-anakku-mati-karena-asap-rokok
https://www.tempo.co/ekonomi/penerimaan-pajak-tembakau-capai-rp-55-7-triliun-pada-kuartal-i-2025-1374369#:~:text=Direktorat%20Jenderal%20Bea%20dan%20Cukai,Tumbuh%205%2C6%20persen.
https://www.antaranews.com/berita/4135773/menkes-beban-kesehatan-negara-akibat-rokok-lebih-gede-dari-pendapatan
Penulis: Muhammad Fawazul Alwi (Ketua PD-Gerakan Pemuda Al-Washliyah Aceh Barat dan Mahasiswa Universitas Teuku Umar)