Memaknai Dukungan Megawati terhadap Mualem
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Penulis: Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiiri Lingkar Sindikasi Grub. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Opini - Jelang HUT Kemerdekaan 17 Agustus 2024, Megawati Soekarno Putri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) menyerahkan surat rekomendasi secara langsung kepada eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf untuk menjadi calon gubernur Aceh di Pemilihan Gubernur Aceh 2024.
Dukungan Megawati itu perlu dimaknai sebagai dukungan agar perdamaian Aceh terus berlanjut. Dukungan yang sama juga pernah diberikan kepada eks GAM lainnya yaitu Irwandi Yusuf dalam Pilkada 2017. Pada Pilkada 2012, Megawati dengan PDIPnya juga memberi dukungan kepada pasangan Zaini Abdullah - Muzakir Manaf.
Bagaimanapun, Megawati dapat dibilang salah seorang “pemegang saham” perdamaian Aceh. Pada masa Megawati kebijakan merintis jalan damai bersama Gus Dur dilanjutkan. Hasilnya pada 9 Desember 2002 Pemerintah Indonesia dan pihak GAM menandatangani kesepakatan penghentian permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement/COHA) di Geneva, Swiss, 9 Desember 2002.
Sayangnya, paska perundingan lanjutan yang berlangsung di Tokyo pada Maret 2003, jalan damai rusak dan Aceh masuk dalam rentetan kekerasan hingga datangnya gempa yang menimbulkan tsunami pada Desember 2004.
Jejak Aceh mengurus pemerintahan sendiri juga terjadi awalnya pada masa Megawati menjadi Presiden. Pada tanggal 19 Juli 2001, Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD) disahkan oleh Megawati. UU inilah yang kemudian disempurnakan menjadi UUPA usai terwujudnya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 jelang peringatan HUT RI tahun 2005.
Paska Megawati, SBY (Demokrat) dan Jusuf Kalla (Golkar) menyempurnakan rintisan damai Aceh dalam ikhtiar panjang mengakhiri konflik Aceh yang sudah terjadi sejak era Soekarno.
Sebelum Megawati memberi dukungan kepada Mualem, dukungan yang sama telah diberikan SBY melalui Partai Demokrat. Jika dilihat dalam konteks “pemegang saham” perdamaian Aceh di nasional maka tinggal Golkar yang belum menentukan kepada siapa dukungan akan diberikan.
Jika diberikan kepada Mualem maka seluruh “pemegang saham” perdamaian Aceh di nasional satu kata terhadap Aceh, yaitu dukungan kepada keberlanjutan perdamaian Aceh dan penghormatan mereka kepada kesediaan eks kombatan terjun ke dunia politik.
Mereka tentu sangat paham tidak mudah bagi eks kombatan GAM untuk melakukan transformasi dari perlawanan dengan senjata ke perjuangan dengan politik dalam usaha mewujudkan kesejahteraan Aceh.
Jadi, dukungan dari “pemegang saham” perdamaian Aceh kepada eks kombatan untuk memimpin Aceh ibarat kebijakan affirmatif action untuk maksud mendukung eks GAM semakin terlatif dalam memimpin Aceh.
Bahwa masih ada kelemahan tentu dipahami. Namun, bila dukungan politik dihentikan akan sangat riskan karena berpotensi terjadi arus balik perlawanan. Bahkan, jika dahulu terjadi konflik vertikal, dapat berubah ke konflik horizontal dan ini jauh lebih berbahaya.
Penulis: Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiiri Lingkar Sindikasi Grub