Beranda / Kolom / Melawat ke Boven Digoel

Melawat ke Boven Digoel

Jum`at, 27 November 2020 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

 Nezar Patria, Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia [Foto: doc Facebook Nezar Patria]


Selama satu jam sejak terbang dari Bandara Sentani, Jayapura, mata saya tak pernah berhenti melihat jendela pesawat. Hutan lebat terhampar di bawah sana menyuguhkan panorama kehijauan yang menakjubkan. Saat ATR 42 milik Trigana Air melayang dengan ketinggian sedang di daerah Boven Digoel, Papua, hamparan hijau tadi disibak oleh aliran panjang air berliku dan cahaya keperakan matahari siang memantul dari permukaannya: Sungai Digoel.

Sungai itu menyimpan banyak cerita. Dari atas, kelak-kelok sungai itu seperti pita berkilau dan memanggil siapa saja yang hendak meloloskan diri dari kepungan rapat rimba raya. Hilirnya yang bercabang-cabang tembus ke muara-muara dekat Kota Mappi dan setelahnya laut lepas menyambut siapa saja yang ingin menuju benua Australia.

Tapi konon dulu tak mudah meloloskan diri dari Boven Digoel, begitu cerita sejarah tentang tanah tempat pembuangan para pemberontak kolonialisme Belanda. Hutan rimba begitu rapat seperti barikade alam dan sungai-sungai yang menggoda itu kabarnya adalah kerajaan para buaya yang buas. 

Tak banyak yang saya ketahui tentang kehidupan di Digoel pada masa kolonial itu kecuali dari kumpulan cerita hasil suntingan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, “Cerita dari Digoel”, berisi sejumlah cerita pendek dari masa awal abad lalu dari para pejuang anti kolonial yang dibuang di sana. Pram mengumpulkannya dari berbagai sumber. Meskipun cerita itu berbentuk fiksi namun kita bisa menangkap segi-segi kehidupan para tahanan serta jagad batin para penulisnya.

Boven Digoel dibangun sekitar 1927 oleh Belanda setelah pemberontakan kelompok kiri yang gagal pada 1926 lalu ratusan tokoh pergerakan anti kolonial, terutama dari Sarekat Islam, dibuang ke daerah itu oleh Belanda. Kita mengenal nama seperti Haji Misbach, atau sebelumnya ada tokoh seperti Ali Archam, dan lain-lain. Ada yang hidupnya berakhir di tanah buangan dan makam mereka jauh dari jangkauan keluarga, kerabat, dan kawan-kawan seperjuangan seperti Mas Marco. Bertahun-tahun kelak, para pelanjut perlawanan melawan kolonial Belanda, juga mengalami hal sama. 

Kita mencatat jejak Mohamad Hatta dan Sjahrir yang pernah dibuang setahun ke Boven Digoel pada 1935, sebelum akhirnya mereka dipindah ke Banda Neira. Ini penjara alam yang besar, para tahanan bebas berkeliaran tapi tak ada jalan untuk pulang. Jiwa mereka, kata Hatta, dihancurkan perlahan-lahan tanpa harapan untuk bebas. Setiap hari para tahanan berjudi dengan maut berupa ancaman wabah malaria tropika.

Belanda sudah angkat kaki hampir tujuh dekade silam dan Boven Digoel kini bukan lagi tempat pembuangan. Tapi di tengah pandemi seperti ini mereka yang tinggal di Boven Digoel tentu merasakan dampak yang lebih sulit. Transportasi antar kota menjadi jarang. Karena kondisi alam yang keras, belum ada jalur darat yang menembus ke Jayapura, kecuali ke Merauke. 

Seorang pramugari Trigana Air bercerita bahwa mereka membatasi terbang ke Boven Digoel karena pandemi dan memang aturan pembatasan sosial membuat pesawat sepi penumpang. “Kami sempat mengubah pesawat ini untuk mengangkut barang logistik,” kata Aula, seorang kru yang sudah bekerja lima tahun di maskapai itu. Saya menemuinya di belakang pesawat saat keluar dari toilet dan dia bercerita antusias tentang bagaimana kursi-kursi di pesawat penumpang itu dilepaskan sehingga menjadi ruang lapang untuk mengangkut barang, dari obat-obatan sampai makanan. Baru sebulan belakangan penumpang mulai ramai lagi, dan saat dia bercerita pada bagian ini, matanya yang sedikit sipit itu mengerjap-ngerjap, tapi sayang saya tak bisa melihatnya tersenyum karena sebagian wajahnya tertutup masker.

Begitu pesawat mendarat di Bandara Tanah Merah, Boven Digoel, saya mencoba memutar ulang Cerita dari Digoel di dalam kepala. Tempat ini tentu sudah berubah, meski tidak banyak, dan dari kesederhanaan bangunan dan jalan-jalan di kota Boven Digoel kita tahu daerah ini sedang berjuang dari ketertinggalan. Sebagian jalan beraspal, sebagian lagi adalah tanah telanjang. Bangunan-bangunan sederhana terpacak di tepi jalan utama. Ada perkembangan baru bahwa ia kini adalah sebuah administrasi bernama Kabupaten Boven Digoel, dengan ibukota Tanah Merah, terdiri dari 20 distrik dan berpenduduk sekitar 67 ribu jiwa. 

Para penduduknya bertanam sayuran sebagai sumber kehidupan. Sebagian juga menjadi nelayan. Mereka menyusuri Sungai Digoel sampai ke muara laut untuk menangkap ikan. Saat ini sedang laris “Gelembung Kakap Cina”. Saya tak tahu seperti apa jenis ikan itu, tapi menurut cerita warga, nelayan mereka menangkap ikan itu dan selain menjual dagingnya juga mengambil “gelembung” di perut ikan untuk dikeringkan. “Hasilnya dibeli oleh para penadah, katanya dijual ke Cina buat bahan sop dan buat bahan membuat benang jahit medis,” ujar seorang warga. Para nelayan itu memakai kapal tongkang dan dalam masa pencarian ikan itu mereka bisa pergi berpekan-pekan sampai bulanan.

Daerah ini juga belum lama kehilangan bupatinya, Benediktus Tambonop yang meninggal di Jakarta, Januari lalu. Dari sebuah video yang diunggah di situs Pemda Boven Digoel, kita mendapat kesan Benediktus adalah seorang bupati yang gigih. Dia berjalan kaki sehari semalam untuk berkunjung ke Kampung Kuken, sebuah kampung di distrik Ambatkui yang baru tertembus jalan darat sejauh enam kilometer saja, tapi untuk masuk ke perkampungan, orang harus mengitari gunung. 

Benediktus berjalan menembus hutan. Dia dicegat oleh rapatnya pepohonan yang basah oleh hujan, jalan yang terjal dan licin sehingga sang bupati harus merayap perlahan menuruni medan bertebing dengan bantuan sulur-sulur vegetasi di hutan itu. Jalan setapak itu bahkan sulit dikenali jalurnya, lintasan bisa tertutup tanaman dalam beberapa hari. Dia bermalam di tengah rimba dan besoknya berjalan lagi dengan kaki telanjang. Benekditus tiba dengan langkah gontai, dua orang tampak memapahnya berjalan karena dia keletihan. Penduduk setempat menyambutnya dengan tarian sebagai ucapan terimakasih karena dia bupati pertama tiba di tempat itu dalam sejarah desa mereka dan mama-mama Papua yang bertelanjang dada lalu menari sambil membacakan doa-doa baginya. 

Di Boven Digoel saya tak datang sendirian tapi bersama satu tim kecil Pos Indonesia yang ikut mengantarkan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkunjung ke pedalaman Papua. Menteri Muhadjir ingin memastikan apakah bantuan sosial pemerintah sampai pada alamat yang tepat, apakah rumah sakit berfungsi selama pandemi, dan bagaimana pendidikan berjalan di sana. Saya kagum dengan tekad Menteri Muhadjir yang berani memasuki kawasan pedalaman di tengah pandemi, dengan penerbangan yang berisiko dihadang cuaca buruk. 

Tempat pertama dikunjungi Menteri Muhadjir adalah SMP Negeri 1 Tanah Merah. Mungkin ini sekolah menengah pertama terbaik di Boven Digoel. Anak-anak beseragam putih biru berbaris di lapangan, dan sebuah drum band bersiap dengan dipimpin dua mayoret remaja putri. Mereka memainkan sebuah lagu yang tiba-tiba nadanya akrab bagi telinga para aktivis mahasiswa 1998, sebuah lagu perjuangan revolusioner yang saya sendiri tak tahu siapa penciptanya. Tampaknya lagu itu dulu diajarkan dari generasi aktivis lama ke yang baru. Lalu berkembang menjadi semacam folk song di tengah gerakan pro demokrasi, lagu-lagu yang penciptanya menjadi anomim. Tapi seorang pelajar SMP 1 Boven Digul mengatakan lagu itu adalah mars bagi grup drum band sekolah mereka. Saya yakin syairnya sudah berubah total sesuai tema sekolah dan bukan lagi lagu para demonstran anti kediktatoran.

Setelah sekolah itu, Menteri Muhadjir berkunjung ke rumah sakit, dan baru kemudian melihat proses pembagian bantuan sosial di halaman kantor bupati. Saya melihat dia tersenyum ketika membuktikan nama dan alamat para penerima bantuan melalui Pos Indonesia persis seperti yang tercantum dalam daftar. Saya juga kagum melihat pegawai Pos Indonesia di Tanah Merah bekerja keras mengantarkan bantuan uang tunai dengan disiplin yang tinggi dan masuk ke wilayah yang sulit dijangkau. “Selain melalui bank, ke tempat yang sulit dijangkau kita memakai jasa dan jaringan PT Pos Indonesia,” kata Menteri Muhadjir.

Denny Toruan, seorang anak muda yang menjadi kepala cabang Pos Indonesia di Merauke bercerita kepada saya bahwa dia menempuh jalan darat dengan mobil selama delapan jam ke Boven Digoel. “Saya lebih nyaman naik mobil,” kata Denny. Saya tahu dia agak cemas naik pesawat kecil berbaling-baling di tengah cuaca yang tak ramah. Pada 2015, empat orang pekerja Pos Indonesia gugur dalam tugas mengantarkan bantuan sosial ketika pesawat yang mereka tumpangi jatuh saat menuju Oksibil, kabupaten tetangga Boven Digul, karena menabrak gunung di Okbape. Bentangan alam di Papua memang banyak pegunungan dan terkenal sulit bagi para penerbang. Banyak pilot mengatakan jika bisa menerbangkan pesawat di Papua maka pasti bisa terbang di mana pun di dunia.

Kantor Pos Tanah Merah berada di bawah supervisi kantor Merauke. Sebelum pemekaran wilayah, Boven Digoel adalah bagian dari Kabupaten Merauke. Denny mengatakan proses pembagian bantuan akan berlangsung sangat transparan karena Pos Indonesia melakukan pemantauan real time melalui aplikasi khusus yang dapat digunakan secara online dan offline. “Kami mengirimkan surat voucher dengan tanda barcode ke para penerima bantuan, dan para penerima harus menunjukkan surat itu untuk mengambil jatahnya,” kata Denny. 

Di tempat pembagian bantuan yang dikunjungi menteri itu, saya melihat dia memindai sejumlah surat yang dibawa oleh mama-mama dan papa-papa Papua. Surat dicocokkan dalam daftar dan KTP, barcode dipindai, lalu di layar aplikasi keluar data penerima. Jika sesuai dengan KTP maka penerima akan meneken berkas dan menerima uang. Dengan demikian dipastikan tak ada penerima fiktif dan semua rekaman data bisa diverifikasi ulang. 

Sayangnya kami tak sempat berkunjung lebih lama di Boven Digoel. Langit sudah di ambang petang. Pesawat ATR 42 Trigana Air menunggu di bandara dan kami mengikuti jadwal terbang reguler ke Jayapura meskipun ada seorang menteri senior menjadi penumpang, tapi sikapnya yang sederhana saya kira tak membuatnya berniat khusus menyewa pesawat itu.

Saya melihat sebuah tugu beberapa ratus meter sebelum tiba di gerbang Bandara Tanah Merah. Ada patung Mohamad Hatta berdiri di dekat sebuah rumah yang dulu menjadi sel para tahanan Boven Digoel. Hatta adalah seorang Digoelis, sebutan bagi para tahanan di tempat itu dulu. Patung itu terpacak dikelilingi pagar hijau dan rerimbunan pohon. Hatta berdiri menatap ke depan, tangan kanannya setengah terangkat dan jari telunjuknya menunjuk ke bawah seakan mengatakan dia dulu berada di sini, di Tanah Merah, Boven Digoel. 

Sebelum naik tangga pesawat untuk kembali ke Jayapura, saya dengan rasa syukur juga menunjuk ke tanah: Saya pernah ke Boven Digoel.

Penulis: Nezar Patria, Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia

Keterangan: Dikutip  laman Facebook pribadi (26/11/2020)

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda