Maukah Anda Demi Menyelamatkan Orang Lain Harus Masuk Penjara?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Apakah Anda mau menyelamatkan orang lain dari ancaman maut yang terombang ambing di tengah lautan? Namun resikonya Anda harus masuk penjara selama lima tahun karena perbuatan Anda.
Anda dijerat dengan dengan dakwaan mencari keuntungan, memasukan warga negara lain ke tanah pertiwi tanpa dokumen yang sah. Anda dikenakan pasal penyeludupan manusia. Namun tiga nelayan Aceh telah melakukanya. Tuluskah mereka melakukanya berdasarkan nurani?
Tiga nelayan ini ahirnya harus menerima putusan masuk jeruji besi selama 5 tahun penjara atau denda senilai Rp 500 juta. Ketukan palu hakim di PN Lhoksukon Aceh Utara telah menggugah rasa hati saya yang paling dalam.
Ketika ada ancaman musibah di depan mata Anda, namun Anda mampu dan berupaya menyelamatkanya hingga terhindar dari maut, apakah Anda akan membiarkanya? Sebagai manusia Anda harus berupaya memberi pertolongan, apalagi manusia yang Anda tolong satu ikatan batin kepercayaan dengan Anda.
Namun yang menjadi pertanyaan, ihlaskah para nelayan Aceh ini memberikan pertolongan atau karena ada imbalan? Kalau saya secara pribadi, saya akan melakukan dengan ihklas. Walau harus masuk penjara karena menolong orang lain yang terombang ambing di tengah lautan, antara hidup dan mati.
Ketika ada manusia yang membutuhkan pertolongan dimana kehidupanya terancam, sementara Anda punya kesempatan dan kemampuan untuk menolongnya namun justru Anda biarkan. Apakah sisa umur hidup Anda akan nyaman, tidakkah setiap saat Anda akan dibayangi pemandangan ini karena Anda membiarkan orang yang membutuhkan pertolongan.
Vonis Majelis hakim PN Lhoksukon Senin (14/6/2021) yang menjatuhi hukuman 5 tahun penjara untuk tiga nelayan Aceh yang menolong manusia dari Rohingnya, telah membuat mata saya basah, batin saya tersayat.
Ketika panggilan jiwa untuk menolong sesama namun harus berujung ke penjara. Apakah ini rasa keadilan itu? Kalau sekiranya ini keadilan itu dan harus masuk penjara, demi menolong manusia yang membutuhkan pertolongan karena berpeluang maut, saya akan melakukanya.
Pasal 120 ayat (1) UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian telah menjerat tiga nelayan Aceh yang memberikan pertolongan kepada pengungsi Rohingnya.
Undang-undang ini tegas menjelaskan, setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi.
Atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia.
Dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
Dipidana karena penyelundupan manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Apakah benar tiga nelayan Aceh melakukan penyeludupan manusia, melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan? Apakah mereka melakukan semua ini karena panggilan nurani, tidak tega membiarkan saudaranya terombang-ambing di tengah lautan yang berpeluang dengan ancaman maut?
Ihlaskah tiga nelayan Aceh ini dalam membantu? Bila mereka ihklas Allah akan memberikan pahala, namun bila mereka tidak ihklas dan mengharapkan imbalan, ada konsekwensi lainya yang harus diterima.
Sayangnya, tiga nelayan yang memberikan pertolongan ini menerima upah atas jerih payah mereka. Mereka didakwa dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau people smuggling. Ahirnya majlis hakim menjatuhkan vonis kepada mereka.
Kalau memberikan pertolongan karena rasa kemanusian, karena ketika dibiarkan akan ada bahaya maut yang mengancamnya, apakah yang dilakukan nelayan Aceh ini salah? Salahkah mereka ketika melihat saudaranya membutuhkan pertolongan, lalu mereka memberikan pertolongan?
Saya tertarik dengan tulisan Dr.Yusrizal S.H,M.H./Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Malikussaleh, tentang rasa keadilan untuk nelayan ini. Yusrizal mengungkapkan, hakim juga harus mempertimbangkan faktor kemanusiaan yang telah dilakukan oleh nelayan tersebut.
“Apa yang telah mereka lakukan sudah sesuai dengan ajaran Islam yang berkembang dalam masyarakat Aceh dan juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab,” tulis Yusrizal, walau ianya mengakui belum membaca putusan majlis hakim.
Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya melihat kepada UU sebagai sumber hukum, tetapi juga harus melihat sumber hukum yang lain.
Jika pun Pasal 120 ayat (1) UU Keimigrasian menentukan menentukan demikian, sebiut Yusrizal, maka harus dilihat niat dan maksud dari perbuatan tersebut. apakah ada niat mencari keuntungan?
Jika tidak terbukti adanya unsur mencari keuntungan disitu, maka seharusnya ketiga nelayan tersebut harus dibebaskan.
Hal ini akan sangat berdampak bagi kehidupan sosial masyarakat, khawatir nilai-nilai kemanusiaan seperti yang tertuang dalam Pancasila akan hilang dan masyarakat tidak lagi percaya kepada lembaga pengadilan karena tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, sebut Yusrizal.
Kalau saya secara pribadi juga akan memberikan pertolongan dengan ihlas, tanpa mengarap imbalan, karena rasa kemanusia dan panggilan jiwa.Tidak ada niat mencari keuntungan, tidak ada niat menyeludupkan manusia, karena mereka saya temukan terombang-ambing di tengah lautan.
Saya akan menolong mereka semampu saya. Sesampainya di daratan saya akan serahkan mereka kepada pihak yang berwenang mengurusnya.
Saya tidak akan membiarkan mereka terombang-ambing di lautan yang kalau dibiarkan ada ancaman maut buat mereka. Saya melakukanya dengan ihlas tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Kalau saya membiarkan mereka yang berujung dalam bayang bayang maut, tidak menolongnya, maka seumur hidup saya akan tersiksa. Bathin ini akan gelisah sampai menutup mata, berpisah nyawa dengan raga, karena saya membiarkan di depan mata manusia yang membutuhkan pertolongan.
Kalau perbuatan saya ini dalam menolong sesama tanpa mengharapkan apapun, namun ada resiko konsekwensi hukum, sebagai manusia yang diberi Tuhan dengan cobaan, harus dihadapi karena ini bagian dari hidup. Itu lebih baik daripada tersiksa bathin seumur hidup. *** Bahtiar Gayo/ Penanggungjawab- Pimred Dialeksis.com.
Catatan; Tulisan ini sudah ada sedikit perubahan redaksional.