DIALEKSIS.COM | Kolom- Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh setiap 5 Juni semestinya menjadi ruang refleksi atas kepedulian kita terhadap bumi. Namun di Aceh, peringatan tahun ini justru diiringi kabar yang menyayat: empat pulau kecil kita Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil dikukuhkan bukan lagi sebagai bagian dari Tanah Rencong. Ironis, ketika dunia sibuk menanam pohon, Aceh justru kehilangan bentang alamnya.
Kehilangan ini bukan sekadar geografis. Ini adalah kehilangan jati diri. Pulau-pulau itu bukan benda mati yang bisa ditukar guling. Ia adalah entitas ekologis dan geopolitik yang menyimpan kekayaan hayati, sejarah, dan kedaulatan. Ketika pulau-pulau itu hilang dari daftar wilayah Aceh, kita tak hanya kehilangan tanah, kita kehilangan kendali.
Siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah pusat yang gegabah, atau Pemerintah Aceh yang alpa? Sudah lama kita tahu, koordinasi antara pusat dan daerah seperti orkestra tanpa konduktor. Tapi dalam soal ini, kebisuan Pemerintah Aceh sungguh memalukan. Bukankah menjaga wilayah adalah amanat konstitusi, dan lebih-lebih amanah rakyat?
Empat pulau hilang bukan karena tsunami atau abrasi. Mereka hilang karena kelalaian administratif dan defisit keberpihakan pada lingkungan. Di tengah riuhnya proyek-proyek mercusuar dan geliat tambang yang menggerus tanah dan meracuni air, pulau-pulau itu seperti anak tiri yang dilupakan dalam daftar hadir negara.
Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 mengangkat tema “Our Land. Our Future.” Namun di Aceh, masa depan tanah kita justru direduksi menjadi lembaran surat keputusan dan peta birokrasi. Sementara masyarakat adat yang hidup turun - temurun di wilayah pesisir dan pulau kecil, tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Apakah kita masih bisa bicara tentang pembangunan berkelanjutan ketika peta wilayah saja tidak bisa kita jaga? Bagaimana kita bisa berbicara restorasi ekosistem jika tapal batas pun tak lagi bisa kita pertahankan?
Inilah wajah muram Aceh di Hari Lingkungan Hidup. Ketika pulau - pulau pergi tanpa pamit dan kita sibuk membuat seremoni tanam pohon di halaman kantor.
Waktunya kita menyadari bahwa krisis lingkungan di Aceh bukan hanya soal illegal logging atau banjir bandang. Ini juga soal ketidakmampuan politik untuk menjaga rumah kita sendiri. Pulau boleh saja pergi di atas peta, tapi jangan sampai nurani kita ikut tenggelam bersama diamnya para pemangku kebijakan.
Penulis: TM Zulfikar, Dosen Konservasi Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM) Aceh