Kopelma Darussalam
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Duduk di teras rumah, menikmati cerah dan sejuknya udara di pagi hari. Sambil membaca, menyaksikan aktivitas olah raga warga, yang merupakan insan akademik dan warga sekitar. Sesekali memandang Tugu Darussalam, yang merupakan saksi tertua berdirinya Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam.
Sungguh luar biasa visi ke depan yang muncul dari benak para pendahulu. Coba bayangkan: jangankan profesornya, himpunan bangunan yang ada juga bisa mengajarkan sesuatu pada semua individu yang berinteraksi di kampus jantung hati rakyat Aceh.
Pertama sekali adalah para pendahulu bukan saja membangun gedung-gedung untuk pusat administrasi dan tempat proses belajar-mengajar dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tetapi, paradigma berpikirnya sesuai dengan zamannya, adalah membangun sebuah perkotaan, yang pemukimannya menjadi arena interaksi warga, pelajar, mahasiswa dan akademisi di bidang ilmu pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
Kedua, setiap kelompok perumahan menjelaskan gaya arsitektur pada zamannya. Setiap kelompok perumahan menerangkan pengintegrasian antara akademisi di bidang keagamaan dan pengetahuan umum.
Kalaulah kita merujuk pada sejarawan Taufik Abdullah maka para pendiri Kopelma Darussalam memiliki sejarah sebagai pengalaman empiris, setidak-tidaknya, terkait dengan peristiwa DI/TII 1953-1963.
Karena itu, di satu pihak berdampak ketertinggalan dunia pendidikan di Aceh sehingga perlu dibangun instrumen pendidikan di seluruh Aceh (Kopelma dan kota pelajar); di lain pihak, diharapkan adanya transformasi generasi yang berasal dari kalangan tengku untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum, sehingga dapat menjadi elite di dalam mengelola Negara; dan generasi dari kalangan masyarakat awam dapat belajar ilmu agama sehingga terjadi modernisasi dalam pemikiran keagamaan.
Karena itu, Taufik Abdullah mendapatkan kesan bahwa adanya “keterikatan Aceh dengan sejarahnya. Pertanyaannya, apakah tesis Taufik Abdullah itu masih valid?
Saya berpaling ke kanan, ada gedung yang sudah dipunahkan (SMA Darussalam) di arena Gedung Dayan Daud. Ada gedung SMEA atau APDN (di arena gedung perpustakaan saat ini) yang sudah dihancurkan. Saya berpaling ke kiri, gedung rektorat lama yang juga sudah dihancurkan dan sudah terbangun cangkan gedung baru.
Padahal, ketika saya mampir ke Universitas Ohio untuk bertemu dengan Bill Liddle (1993), beliau meminta maaf tidak bisa menerima di kamar kerjanya karena sedang direhab (bukan dihancurkan).
Lalu, ketika saya pelatihan security di Hawaii (2015), sempat berkunjung ke musium yang berada di lautan Pasifik. Mereka membangun gedung-gedung itu di atas bangkai-bangkai kapal perang.
Lalu, saya melirik lagi ke kiri, bukankah bisa dibangun gedung untuk proses perkuliahan di atas gedung rektorat lama?
Kalau kita merujuk pada Taufik Abdullah: Apakah para penggagas gedung baru, para pembongkar gedung lama, para pembangun gedung baru (pemodal dan kontraktor) tidak memiliki kesadaran sejarah?
Atau, tesis Taufik Abdullah itu tidak valid lagi? Bahkan, kalau rektor mengambil kebijakan untuk membongkar perumahan berdasarkan asumsi itu rumah dinas (bukan sebuah pemukiman, tentu saja kesadaran sejarahnya nol besar).
Bahkan, bila Walikota mendiamkan aksi rektor itu, bukankah itu sebuah fenomena yang mana Walikota itu sendiri membiarkan warganya yang sedang berkuasa untuk melanggar qanun situs budaya yang ia gagas dan teken?
Artinya, kedua elite tersebut telah kehilangan historisitas keacehannya, sekaligus membuat qanun yang untuk dilanggarnya sendiri?
Begitulah, kita sekarang hidup di zaman elite penguasa yang - meminjam tesis Taufik Abdullah-tidak mengakui “sejarah sebagai pengalaman empiris”; dan “sejarah sebagai bagian dari kesadaran”.
Bahkan, dalam konteks Kopelma Darussalam, elite juga tidak mengakui bahwa Darussalam sebagai asset Aceh. Celakanya lagi, elite pun memusnahkan amal jariyah (hibah tenaga, pemikiran, material) generasi yang terdahulu. Naudzubillah!*
*Penulis adalah sosiolog yang bermukim di Banda Aceh.