kip lhok
Beranda / Kolom / KAMI TIDAK SEKOLAH, MEMANGNYA KENAPA?

KAMI TIDAK SEKOLAH, MEMANGNYA KENAPA?

Sabtu, 23 November 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Taufik Al Mubarak



Muzakir Manaf. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Kolom - Bustami Offside! Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut saya saat mendengar Bustami Hamzah menyebutkan “awak hana sikula” untuk pendukung Muzakir Manaf-Fadhlullah, calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Pernyataan merendahkan itu disampaikan Bustami seusai insiden ‘mic holyland’ dalam debat ketiga di The Pade Hotel, Selasa (19/11/2024) malam. Debat itu sendiri berakhir ricuh, dan KIP memutuskan debat tidak dilanjutkan.

Saya tidak mengira Bustami mengeluarkan pernyataan ‘bodoh’ itu di depan publik. Demi ambisi menjadi orang nomor satu di Aceh, ia mengabaikan fatsun politik dan etika pertemanan. Ini pun jika ia masih menganggap Mualem, sapaan akrab Muzakir Manaf, sebagai teman. Sudah bukan rahasia lagi, jika jabatan yang selama ini diperoleh Bustami tak lepas dari ‘bantuan’ dan dukungan “awak hana sikula”. 

Gara-gara menyebut pendukung Mualem sebagai ‘awak hana jak sikula’, saya kemudian teringat dengan sejumlah cerita dari mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terkait bagaimana mereka bergabung dengan gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan untuk Aceh, itu. Misalnya, Teungku Gam Tulot. Saat menjadi anggota GAM di Wilayah Pidie pada tahun 1993, usianya masih 16 tahun.

Dalam laporan Kontras edisi 9-16 Agustus 2000, TGT bercerita bagaimana ia terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Pada awal tahun 1990-an, ayahnya ditangkap pasukan Satgassus Operasi Jaring Merah dan ditahan di kamp tahanan Satgas. Beberapa tahun kemudian, ayahnya dinyatakan meninggal setelah mengalami penyiksaan berat. “Saya baru tamat SD saat ayah ditangkap,” katanya.

Cerita serupa, saya yakin, sudah banyak kita dengar di Aceh, terutama di tiga daerah hitam (Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur) pada masa Daerah Operasi Militer. Anak-anak yang orang tuanya menjadi korban pembunuhan/penculikan aparat, tidak memiliki banyak pilihan kala itu. Bersekolah, saya pikir, selalu menjadi pilihan kesekian bahkan bukan pilihan sama sekali. Amarah dan dendam justru menuntun mereka untuk tueng bila alih-alih bersekolah.

Pun begitu, bukan tidak ada anak-anak yang orang tuanya jadi korban, untuk bersekolah. Hanya saja jumlah mereka di setiap kampung dapat dihitung dengan jari. Malah, saat mereka sedang bersemangat untuk sekolah, tiba-tiba sekolahnya dibakar. Bagi yang pernah menyimak berita saat awal-awal reformasi 1998 atau ketika GAM gelombang ketiga mulai bangkit, cukup banyak sekolah yang dibakar di Aceh. Dari akhir 1998 hingga awal 2000, lebih kurang 208 unit sekolah dibakar di seluruh Aceh. Ini belum dihitung dengan jumlah sekolah yang dibakar saat Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh, tahun 2003.

Alasan pembakaran dan pelaku pembakaran, bermacam-macam dan tergantung, siapa yang mengatakan. Aparat menuding GAM-lah yang melakukan pembakaran, sementara GAM menuding aparat sebagai pelakunya. Dalam suasana konflik, kedua belah pihak bisa sama-sama benar dan juga bisa sama-sama salah. Namun, pembakaran sekolah adalah sebuah agenda yang memiliki target jelas: pembodohan Aceh secara massal.

Lalu, belakangan dibuat narasi, seolah-olah GAM-lah pelaku pembakaran, sampai muncul istilah ‘awak toet sikula’. Bagi yang pernah hidup di masa konflik, pasti paham, bahwa sebuah tindakan dari para pihak tidak pernah berdiri sendiri. Pelakunya pun tidak pernah tunggal. Aparat bisa menjadi pelaku, demikian juga GAM. Tapi, jangan pernah abaikan pihak ketiga! Inilah mengapa, di setiap wilayah konflik selalu muncul Orang Tidak Dikenal (OTK).

Apa motif dan siapa pelaku pembakaran sekolah? Jawabannya tidak pernah seragam. Sangat tergantung ke pihak mana opini Anda sandarkan. 

Pertama, jika yang membakar sekolah adalah aparat, maka opini yang ingin dibentuk menyudutkan pihak GAM sebagai kelompok yang anti kemajuan. Lalu, dibangunlah narasi bahwa GAM membakar sekolah karena tidak ingin anak Aceh diracuni dengan ideologi Pancasila.

Kedua, jika yang membakar sekolah adalah anggota GAM, maka opini yang ingin dibangun adalah pembakaran dilakukan karena sekolah dijadikan sebagai pos aparat. Atau sekolah dibakar agar tidak bisa digunakan sebagai pos aparat. Bagi yang hidup di masa konflik pasti tahu cukup banyak sekolah (juga meunasah) yang dijadikan pos aparat.

Ketiga, jika yang membakar sekolah adalah Orang Tak Dikenal (OTK), maka target yang ingin dicapai adalah memperkeruh suasana agar para pihak bertikai saling tuding. Biasanya mereka sedang menjalankan agenda terselubung, seperti disinggung di atas: pembodohan Aceh secara massal.

Terlepas dari apapun opini yang hendak dibentuk, jumlah anak putus sekolah saat Aceh dibalut konflik, benar-benar bikin miris. Data yang dirilis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh tahun 2000, menyebutkan: 54.000 anak usia sekolah di Aceh tidak bersekolah dan 98.000 anak Aceh terancam putus sekolah. Apa artinya? Berarti ada sekitar 152.000 anak-anak Aceh yang terpapar jadi generasi bodoh.

Bagi yang belajar ilmu statistik pasti tahu, bahwa jumlah tersebut setara dengan 3,7 persen dari total penduduk Aceh saat itu (2000), yang berjumlah 4,3 juta jiwa. Ini bukan angka kecil saudara-saudara!

Berkaca pada data di atas, saya pikir, Bustami Hamzah tidak pantas dan patut merendahkan para pendukung Mualem sebagai ‘awak hana jak sikula’, yang dimaksudkan sebagai orang bodoh. Tapi, jangan pernah lupa, orang-orang bodoh inilah yang berhasil berjuang selama 32 tahun demi mengembalikan marwah Aceh. Sebagian besar dari mereka memilih mati syahid agar yang lain tetap hidup.

Jika masih ada yang menuding anggota GAM sebagai awak toet rumoh sikula, silakan datang ke Gampong Kayee Jatoe, Cubo, Bandar Baru. Di gampong tersebut terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Bandar Baru. Kalau ada waktu datanglah ke kampung tersebut dan tanyalah kepada masyarakat tentang sejarah bagaimana sekolah yang pernah dibakar itu dibangun kembali. Mereka akan menyebut satu nama: Teungku Abdullah Syafie.

Saya yakin sebagian besar orang Aceh pernah mendengar namanya. Ya, dia adalah Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang syahid pada 22 Januari 2002. Dalam pidatonya, pada Minggu, 6 Agustus 2000, Abdullah Syafie mengatakan: Anak-anakku semua, jika kalian dengar saudara-saudara kalian sudah mati syahid, segera sambung perjuangannya sampai Aceh merdeka. Begitu juga, kalau kalian dengar saya sudah mati syahid, lanjutkan perjuangan ini!

Apa pilihan bagi anak Aceh (terutama yang orang tuanya dibunuh tentara) mendengar seruan begitu? Bersekolah atau menjadi pasukan GAM? 

Penulis: Taufik Al Mubarak sudah diterbitkan acehpungo.com

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda