Kakek Prabowo Subianto Membela Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bisma Yadhi Putra
Bisma Yadhi Putra. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Sudah dua tahun Raden Mas Margono Djojohadikusumo tak mengurusi pekerjaannya di DPR. Tugasnya sebagai seorang anggota DPR terbengkalai cukup lama. Djojohadikusumo waktu itu juga sibuk sebagai Direktur BNI, bank yang ia prakarsai pembentukannya tak terlalu lama setelah kemerdekaan Indonesia.
“Karena memang benar-benar disebabkan kurang waktu, berhubung dengan pekerjaan saya di lain lapangan. Mulai saat ini, tibalah kesempatan untuk saya untuk lebih memperhatikan tugas saya dalam Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Djojohadikusum dalam rapat DPR tanggal 27 Oktober 1953.
Djojokusumo hadir di DPR pada hari itu untuk mendengar langsung pernyataan resmi pemerintah tentang pemberontakan DI/TII Aceh yang dipimpin Daud Beureueh.
Setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membacakan pernyataan resmi pemerintah, setiap anggota DPR dipersilakan memberikan tanggapan secara bergiliran sesuai nomor urut. Djojohadikusumo mendapat nomor urut enam belas dan menyimak dengan baik setiap anggota DPR yang berpidato sebelum dia.
Saat gilirannya tiba, Djojohadikusumo langsung mengutarakan pokok persoalan mengapa rakyat Aceh memberontak. Kakek Prabowo Subianto ini mengatakan, untuk memadamkan pemberontakan maka kepada Aceh harus diberikan “otonomi daerah yang seluas-luasnya”.
“Hal yang demikian adalah pengharapan yang riil dan logis dan tidak dapat disangkal lagi. Meskipun kita sekarang hidup di dalam negara kesatuan, dalam sektor perekonomian sebenarnya kita sudah harus mulai memberikan otonomi yang seluas-luasnya bukan saja untuk wilayah Aceh, akan tetapi juga untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia,” usul Djojohadikusumo.
Sebelum saran itu disampaikan, para legislator dari Partai Komunis Indonesia sudah menyatakan ketidaksetujuan mereka atas pengotonomian ulang Aceh. Pemberontakan di Aceh mesti ditangani dengan cara-cara keras dan tidak boleh ada kompromi berupa pemberian otonomi daerah.
Djojohadikusumo pernah datang ke Aceh, yakni Lhokseumawe dan Kutaraja. Dia mengamati sendiri bagaimana kemerosotan ekonomi rakyat di daerah tersebut. Dia melihat, kebijakan pemerintah yang menghapus perekonomian barter di Aceh mendatangkan dampak yang tidak disenangi rakyat.
Saat sistem barter masih berlaku, para pedagang Aceh bisa membangun hubungan dagang dengan para saudagar dari luar negeri. Pedagang Aceh menukar komoditas-komoditas yang mereka hasilkan seperti kopra, karet, dan kayu damar dengan barang-barang yang dibawa dari Penang dan Singapura. Barang-barang impor itu belum bisa diproduksi di Aceh seperti baju, tas plastik, pulpen, sigaret kaleng, arloji, paku, seng, dan sebagainya.
Saat pemerintah mulai melarang perdagangan barter pada tahun 1952, orang Aceh hanya melihat keluarnya barang-barang dari pelabuhan di daerah mereka. Dari luar negeri, tidak ada barang yang masuk. Barang-barang impor yang diperlukan rakyat Aceh kemudian justru dimasukkan melalui Medan.
Alhasil, rakyat Aceh mulai menganggap pemerintah menguras Aceh demi keuntungan para importir di Medan (“Kronik Kementerian Penerangan Nomor 11: Sekitar Peristiwa Teungku Daud Beureueh”, 1954).
Biarpun Djojohadikusumo mengakui dampak buruk penghapusan barter terhadap Aceh, dia tak menyarankan sistem lama itu dihidupkan lagi hanya demi mengobati perasaan sakit hati rakyat Aceh. Namun, pemerintah harus bergerak cepat memulihkan perekonomian Aceh yang mulai merosot tajam setelah penghapusan barter serta meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh.
“Usul saya yang konkret ialah supaya untuk daerah Lhokseumawe hendaklah ditempatkan seorang wakil dari Kementerian Perekonomian yang mempunyai kedudukan tinggi dengan kekuasaan yang luas. Artinya bukanlah pegawai yang hanya memberikan ‘export licentie’ saja, akan tetapi seorang yang benar-benar dapat mewakili Menteri Perekonomian sendiri. Dengan demikian kita seolah-olah akan meletakkan batu pertama untuk memberikan otonomi perekonomian pada wilayah tersebut,” Djojohadikusumo menyarankan.
Agar segala perbaikan situasi di Aceh dapat berjalan lancar, Djojohadikusumo juga meminta semua pihak berhenti saling menyalahkan. Permusuhan antarpartai serta fraksi versus fraksi di parlemen, yang ia sebut dengan istilah “peruncingan kepartaian”, mustahil bisa menghasilkan satu pun kebaikan. Terutama peruncingan kepartaian yang terjadi di Aceh sendiri. Djojohadikusumo menutup pidatonya dengan ajakan untuk mengedepankan persaudaraan:
“Inilah yang saya sebagai seseorang yang sudah tua, 60 tahun, ingin memperingatkan baik kepada pemerintah maupun kepada organisasi-organisasi yang bertanggung jawab kepada bangsa Indonesia ini. Insafilah bahwa bukan Masyumi yang akan rugi, bukan Partai Komunis Indonesia yang akan rugi, bukan Partai Nasional Indonesia, bukan Partai Sosialis Indonesia. Akan tetapi, kita semua yang rugi jikalau negara kita ini runtuh, hanya karena percekcokan kita sendiri. Mudah-mudahan peringatan saya ini dapat dicantumkan di dalam hati-sanubari Saudara-saudara semua demi kepentingan nusa dan bangsa. Sekianlah, terima kasih”. [**]
Penulis: Bisma Yadhi Putra, penulis sejarah