Beranda / Kolom / Hijrah dan Hijriyah: Momentum Titik Balik Peradaban Islam yang Terabaikan

Hijrah dan Hijriyah: Momentum Titik Balik Peradaban Islam yang Terabaikan

Senin, 08 Juli 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Teuku Alfin Aulia

Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa dan Mahasiswa Prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Setiap tahun umat Muslim di seluruh dunia menyambut datangnya tahun baru Islam yang dikenal sebagai tahun Hijriyah. Tahun baru Hijriyah merupakan momen bersejarah yang mengandung nilai-nilai luhur dan memiliki pengaruh signifikan bagi peradaban Islam bahkan dunia. 

Bukan hanya itu, hijriyah juga tak dapat dipisahkan dari berbagai rangkaian ibadah kaum muslimin di seluruh dunia, tiga dari lima rangkaian rukun Islam tak dapat dilaksanakan bila tak mengacu kepada penanggalan Hijriyah.

Kalender Hijriyah merupakan kalender sistemik Islam yang dimulai sejak periode kekhalifahan Umar bin Khattab dengan menempatkan titik awal perhitungannya mulai dari tahun hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang saat itu bertepatan dengan tahun 622 Masehi.

Jauh sebelumnya, masyarakat Arab pra-Islam memang telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriah seperti yang dikenal saat ini, layaknya Muharram, Safar, Dzulhijjah, Dzulqa’dah dan nama bulan lainnya. Masyarakat Arab pra Islam juga mengenal sistem kalender berbasis campuran, antara Bulan (qomariyah) maupun Matahari (syamsiyah). 

Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi), namun praktik ini kemudian dilarang setelah datangnya Islam tepat pada tahun 9 Hijrah, setelah Allah SWT menurunkan Q.S. At Taubah ayat 36 & 37 yang melarang praktik seperti itu, Allah Berfirman,

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…”(Q.S. At Taubah: 36)

“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekufuran. Orang-orang yang kufur disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.” (Q.S At Taubah: 37)

Masyarakat Arab pra Islam juga tidak menetapkan bilangan tahun dengan angka, melainkan hanya dengan nama yang bervariasi sesuai dengan kejadian yang saat itu sedang terjadi. Misalnya, kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Ammar bin Yasir yang terjadi pada Tahun Gajah saat Abrahah beserta tentaranya datang menuju Mekkah dengan tujuan meruntuhkan Ka'bah.

 Ide perhitungan kalender secara sistematis dalam kalender dunia muslim awalnya muncul setelah Abu Musa al-Asy'ari sebagai salah satu gubernur Umar ibn Khattab, pernah menulis surat kepada Umar di Madinah yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior, diantaranya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, dan mengadakan rapat syura.

Diantara mereka, ada yang mengusulkan berdasarkan kelahiran Nabi Muhammad SAW, ada pula yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul. Dari keseluruhan usulan, Usulan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib yang mengusulkan untuk mengawali hitungan momentum Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan telah berlaku sejak lama di Jazirah Arab.

Hijriyah dan hijrah merupakan dua kata yang memiliki keterkaitan dan akar hubungan yang sangat erat antara satu sama lainnya, sehingga dua makna ini tak dapat dipisahkan. Meski Hijrah Nabi Muhammad SAW disepakati oleh jumhur ulama tak terjadi di bulan Muharram, melainkan dibulan Rabi’ul Awwal, nyatanya momentum tahun hijrah nabi menuju Yastrib ini begitu berpengaruh terhadap eksistensi dakwah Islam selama berabad-abad kedepannya bahkan bagi dunia timur dan barat yang turut banyak berhutang budi dengan Peradaban Islam.

Peristiwa Hijrah merupakan momen bersejarah yang mengubah nasib umat Islam. Pada saat itu, Mekah merupakan tempat yang penuh dengan penindasan, dan kezaliman bagi dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW dan dianut oleh para pengikutnya yang kebanyakan berasal dari penduduk kelas bawah di mekkah. 

Hijrah menjadi titik balik yang membawa perubahan yang begitu berpengaruh bagi dakwah islam. Hijrah bukan hanya sekedar perpindahan fisik, melainkan juga perpindahan nilai-nilai, prinsip, sistem serta basis dakwah yang menjunjung tinggi kebebasan bagi umat manusia serta membawa perubahan mendasar dalam kehidupan umat Islam.

Peristiwa Hijrah memicu lahirnya sebuah peradaban Islam yang berkembang pesat di Madinah saat itu. Dalam waktu yang relatif singkat, Madinah yang tadinya bernama Yastrib berhasil menjadi pusat dari negara Madinah yang dipimpin oleh Muhammad Rasulullah SAW, tempat sang rasul meletakkan fondasi negara dan peradaban Islam yang nyaris ditolak begitu keras di Makkah selama 13 tahun lamanya. 

Hijrah merupakan momentum yang menjadi tonggak tersebarnya dan diterimanya ajaran dakwah Islam secara luas, terbentuknya sistem dan kelembagaan keagamaan dan sosial, serta pembentukan tatanan masyarakat yang adil dan berkeadilan.

Selain itu, penanggalan Hijriyah juga menjadi sistem penanggalan, yang memberikan identitas dan mengingatkan umat Islam akan pentingnya peristiwa Hijrah dalam sejarah agama ini. Setiap tahun, umat Islam merayakan Hijriyah sebagai momen untuk merefleksikan kembali nilai-nilai Hijrah, mengenang perjuangan yang dilakukan di masa awal datangnya islam serta memperkuat ikatan persaudaraan umat Islam.

Hijriyah merupakan sebuah momentum yang telah terbukti bukan hanya telah mampu merubah wujud bangsa Arab dan mereka yang beriman kepada risalah Muhammad. Tanpa momentum ini wujud dunia akan jauh berbeda.

Sebagai titik balik dimulainya kemenangan agung bagi ajaran yang dibawa oleh Muhammad Abdullah SAW, yang mendapatkan perlawanan keras dari negeri tempat kelahirannya, hijriah bukanlah sekedar awal dari kemenangan agung yang hanya berdampak dan berbekas bagi mereka yang beriman dan mengikuti risalah Muhammad yang agung.

Diera tersebut peradaban Barat sedang berada didalam titik terendahnya. sedang kemudian peradaban Islam perlahan muncul menjadi tonggak baru yang menyelamatkan peradaban manusia selama berabad-abad lamanya, Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14), membuat kemajuan signifikan dalam ilmu pengetahuan, matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat. 

Karya-karya klasik Yunani dan Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dunia barat mungkin tak akan dapat membayar hutang budi mereka terhadap dunia muslim, yang kala itu mampu menyelamatkan dan mengembangkan produk keilmuan milik Yunani dan Romawi klasik.

Hijriyah bukan hanya sekedar momentum biasa, namun nyatanya Hijriyah turut memberikan sebuah tonggak yang mempelopori persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan satu sama lain, melalui risalah dan ajaran yang dibawa oleh Sang Nabi. hijriyah juga telah mempelopori sebuah kemenangan besar bagi emansipasi wanita yang tak pernah dikenal oleh dunia sebelumnya. Selain itu Hijriyah juga merupakan tonggak awal yang saat itu mampu membebaskan bangsa-bangsa dari penjajahan tirani yang memonopoli dunia ketika itu, yakni Romawi Timur dan Persia.

Pengaruh momentum hijriyah telah membuktikan sebuah titik balik yang begitu berpengaruh bagi dunia, Muhammad bin Abdullah yang dikenal sebagai tokoh utama dibalik terwujudnya momentum ini didaulatkan menempati kedudukan nomor satu daftar manusia yang paling berpengaruh dalam panggung sejarah dunia, versi Michel Hart. 

Bahkan kebangkitan Barat yang beberapa dekade ini yang dianggap sebagai tonggak bagi lahirnya dunia modern, tidak mungkin terwujud jika momentum kemenangan ini tidak pernah terjadi, diungkapkan oleh Montgomery Watt. Ketika ia menyatakan, "Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi 'dinamonya. Barat bukanlah apa-apa." Menguatkan hal tersebut, W.E. Hocking berkomentar, "Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tiga belas, Islam lah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics).

 Jika dikaji melalui latar belakang keilmuan dan historis, maka momentum Hijriyah lebih layak menjadi acuan penanggalan tahun dunia dibanding Kalender Masehi yang pada abad ini telah diadopsi sebagai kalender global akibat Penjajahan. Kalender Masehi yang menjadikan tahun kelahiran Isa Al masih sebagai acuan awal perhitungannya sendiri memiliki kontroversi yang begitu beragam, meskipun tahun 1 M dianggap sebagai tahun kelahiran Isa Al-Masih, nyatanya bukti-bukti historis yang ada terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. 

Bahkan para ahli menanggali kelahiran Isa Al-Masih secara bermacam-macam, darii 18 SM hingga 7 M. Selain itu, penanggalan ini juga baru dibenarkan secara ilmiah melalui metodologi keilmuan yang benar setelah 1500 tahun digunakan oleh umat Nasrani Eropa, tepatnya pada masa Paus Gregorius XIII, sistem penanggalan yang saat ini dikenal dengan Gregorian, beliau juga turut memindahkan awal tahun 1582, dari 25 Maret menjadi 1 Januari. Sistem ini pun sempat ditolak oleh Eropa hingga akhirnya diterima oleh beberapa negara-negara penganut Kristen Katolik, malahan Inggris dan Amerika baru menggunakan sistem kalender ini pada tahun 1752.

Hal ini jauh berbeda dengan perhitungan tahun Hijriyah yang telah sesuai dengan metodologi ilmiah sejak awal diresmikan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Bukan hanya itu, Kalender Hijriyah juga telah digunakan selama berabad-abad oleh negeri-negeri muslim diseluruh penjuru dunia, Hijriyah menjadi simbol identitas guna melawan pengaruh dan eksistensi penjajah Eropa yang menjajah bangsa-bangsa timur. 

Kesultanan-kesultanan Islam di seluruh Nusantara turut berperan penting dalam mempopulerkan penggunaan kalender Hijriyah diseluruh penjuru Nusantara ini. Di Indonesia sendiri, kalender Masehi baru resmi digunakan pada tahun 1910. Pemakaian sistem kalender di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap. Sebelum menggunakan kalender Masehi, kepulauan Indonesia menggunakan sistem penanggalan Hijriah hingga awal abad ke-20.

Oleh karena itu, momentum hijriyah seharusnya menjadi sebuah momentum yang mendapatkan tempat khusus di mata dunia internasional dan tak selayaknya dipandang sebelah mata. Mirisnya saat ini, kalender Hijriyah hanya diperhatikan bahkan oleh masyarakat muslim sendiri hanya pada momentum-momentum tertentu saja. 

Seharusnya Kalender Hijriyah sangat layak dijadikan momentum dasar yang mengawali penanggalan tahun baru dunia dan internal dunia muslim sendiri, hal ini bukan tanpa alasan terutama jika kita melihat pengaruh dan eksistensi Hijriyah selama ini. Realita yang terjadi, euforia masyarakat Muslim terhadap tahun baru Masehi lebih besar ketimbang menghadapi tahun baru hijriyah. Mirisnya, perayaan yang dilakukan pun terkadang terlalu diluar kewajaran dan melenceng dari norma sosial yang ada.

Peran dalam menjaga dan melestarikan kalender Hijriyah sebagai acuan penanggalan harusnya benar-benar diambil oleh seluruh komunitas muslim dimanapun mereka berada, hal ini menurut kami, dapat diwujudkan dengan mengupayakan terwujudnya Kalender Hijriyah Global Tunggal yang dapat dijadikan acuan penanggalan secara lebih menyeluruh dan global. [**]

Penulis: Teuku Alfin Aulia 

(Teuku Alfin merupakan mahasiswa prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh, juga founder Halaqah Aneuk Bangsa sebuah forum yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan)

Keyword:


Editor :
Indri

kip
riset-JSI
Komentar Anda