Gambaran Arah Kebijakan Penurunan Harga BBM
Font: Ukuran: - +
[Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute. Foto: cnnindonesia.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Penurunan harga bahan bakar minyak nonsubsidi oleh seluruh badan usaha niaga BBM pada awal Oktober 2022 merupakan keputusan positif dan dapat menjadi momentum tepat untuk mengedukasi publik. Keputusan pemerintah yang memberikan izin tersebut merupakan sinyal positif sekaligus menjawab kekhawatiran mengenai persepsi bahwa ketika harga BBM yang sudah naik akan sulit diturunkan.
Fenomena naik dan turun harga BBM merupakan sesuatu yang wajar seperti harga jual barang dan jasa pada umumnya. Ketika harga bahan baku atau komponen biaya yang lain meningkat, harga akhir dari barang dan jasa umumnya akan naik, dan sebaliknya.
Penurunan harga BBM nonsubsidi pada awal Oktober 2022 tampaknya juga mengikuti prinsip tersebut. Harga minyak mentah yang menjadi komponen biaya utama dalam penyediaan BBM memang sedang turun.
Untuk mengkalkulasikan harganya, ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Di dalamnya, harga dasar BBM untuk setiap bulan dihitung dengan menggunakan rata-rata harga minyak (indeks pasar) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya sampai 24 satu bulan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, harga dasar BBM pada Oktober 2022 menggunakan rata-rata harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode 25 Agustus 2022 sampai 24 September 2022. Sementara harga minyak pada periode Agustus dan September tercatat menurun dibandingkan periode sebelumnya.
Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada periode Juni-Juli 2022 lebih tinggi dibandingkan periode Agustus-September 2022. Rata-rata ICP untuk periode Juni, Juli, Agustus, dan September 2022 masing-masing US$ 117,62, US$ 106,73, US$ 94,17, dan US$ 86,07 per barel. Karena itu menjadi wajar jika harga jual BBM nonsubsidi pada Oktober 2022 lebih rendah dibandingkan dengan harga jual periode September 2022.
Bagaimana dengan Harga Pertalite dan Solar Subsidi?
Pertanyaan yang kemudain menyertai penurunan harga BBM non-subsidi yakni mengenai harga Pertalite dan Solar subsidi, apakah dapat ikut diturunkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah relatif. Probabilitas untuk menurunkan atau tetap mempertahankan masih sama-sama terbuka, akan ditentukan oleh objective pemerintah.
Jika objective pemerintah adalah memperbaiki daya beli dan mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi pascapandemi, terdapat peluang harga Pertalite dan Solar subsidi ikut diturunkan. Akan tetapi, jika objective pemerintah adalah menjaga kesehatan dan produktivitas fiskal, peluang penurunan harga untuk kedua jenis BBM tersebut akan semakin kecil.
Saat ini, harga jual kedua jenis BBM tersebut relatif masih di bawah harga wajar. Untuk BBM RON 90 misalnya, saat ini badan usaha niaga BBM selain Pertamina menjual di kisaran Rp 14.000 per liter. Sementara untuk BBM jenis Solar dengan CN 51 dan CN 53 dijual Rp 17.000-Rp 18.450 untuk setiap liternya.
Jika mencermati postur APBN/APBN-P 2022, kondisi fiskal pada tahun ini relatif berat. Penurunan defisit anggaran dari Rp 868 triliun pada APBN 2022 menjadi Rp 840 triliun pada APBNP 2022, secara nominal, tetap tercatat sebagai defisit anggaran terbesar sepanjang sejarah APBN Indonesia. Sementara penurunan harga Pertalite dan Solar subsidi tentu akan berdampak langsung terhadap bertambahnya defisit anggaran.
Meskipun sejak 1 September 2022 pemerintah telah menyesuaikan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 dan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800, secara kalkulasi kebijakan tersebut belum akan cukup untuk membantu memperbaiki kondisi defisit anggaran 2022.
Meskipun sejak 1 September 2022 pemerintah telah menyesuaikan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 dan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800, secara kalkulasi kebijakan tersebut belum akan cukup untuk membantu memperbaiki kondisi defisit anggaran 2022.
Dengan volume Pertalite (JBKP) 2022 ditambah menjadi 29,91 juta KL, melalui penyesuian harga tersebut pemerintah berpotensi menghemat anggaran kompensasi Pertalite sebesar Rp 70,28 triliun dalam satu tahun anggaran. Namun, karena penyesuaian harga baru efektif dilakukan per 1 September 2022, penghematan anggaran kompensasi Pertalite yang akan diperoleh pemerintah sampai berakhirnya tahun anggaran 2022 adalah sebesar Rp 23,43 triliun.
Untuk Solar subsidi, dengan penambahan volume kuota di 2022 menjadi 17,83 juta KL, melalui penyesuian harga, penghematan anggaran subsidi/kompensasi Solar yang diperoleh sebesar Rp 29,41 triliun dalam satu tahun anggaran. Kondisinya sama, karena penyesuaian harga baru efektif per 1 September 2022.
Dengan demikian, penghematan anggaran subsidi/kompensasi Solar yang akan diperoleh sampai berakhirnya tahun anggaran 2022 adalah sebesar Rp 9,80 triliun. Total penghematan anggaran subsidi/kompensasi untuk dua jenis BBM tersebut sampai akhir tahun sebesar Rp 33,23 triliun.
Dengan meperhatikan selisih harga penetapan dan harga wajar saat ini, kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM sampai akhir tahun masih cukup besar. Jika harga wajar Pertalite diasumsikan Rp 12.000 per liter, kebutuhan anggaran kompensasi Pertalite selama September – Desember 2022 sekitar Rp 19,94 triliun. Sedangkan jika harga wajar Solar subsidi sekitar Rp 14.000 per liter, kebutuhan anggaran subsidi/kompensasi Solar selama September – Desember 2022 sekitar Rp 42,72 triliun.
Dengan asumsi harga wajar Pertalite dan Solar subsidi masing-masing dikisaran Rp 12.000 dan Rp 14.000 untuk setiap liternya, kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi untuk kedua jenis BBM tersebut selama kurun empat bulan usai penyesuaian harga BBM sekitar Rp 62,73 triliun. Artinya, untuk kebutuhan anggaran kompensasi BBM masih terdapat defisit Rp 29,49 triliun meskipun telah dilakukan penyesuaian harga.
Jika mencermati postur APBN 2023, gambaran arah kebijakan harga BBM di tahun depan kemungkinan relatif tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini. Upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat melalui intervensi harga BBM kemungkinan semakin meningkat.
Akan tetapi mengenai seberapa besar kadar intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah akan ditentukan oleh perkembangan harga minyak mentah, nilai tukar rupiah, dan keseimbangan APBN 2023 secara keseluruhan.
Penulis: Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, telah dipublikasi di Katadata berjudul"Penurunan Harga BBM dan Gambaran Arah Kebijakan Pertalite serta Solar".