Kamis, 30 Oktober 2025
Beranda / Kolom / Déjà vu Investasi Aceh

Déjà vu Investasi Aceh

Rabu, 29 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

Nurdin Hasan, Freelance Journalist. [Foto: Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Jika investasi sebuah tontonan, maka opera sabun ala drama Korea (draKor) berjudul "Menggaet Investor ke Aceh" sudah masuk musim ke-20, tanpa episode ending yang jelas. Pasalnya, setiap pergantian gubernur, skripnya selalu sama. Kunjungan luar negeri begitu spektakuler. Janji-janji manis tentang triliunan rupiah investasi.

Dan, yang tentu saja tidak boleh lupa, penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) meriah -- seolah-lah tekenan itu sudah sama dengan realisasi keuntungan. Ini adalah kisah déjà vu melelahkan. Ia laksana sebuah komedi situasi politik, yang sayangnya, kita semua harus bayar tiket dengan duit APBA.

Mari kita jujur. Dalam dua dekade terakhir, peta investasi Aceh mirip grafik detak jantung pasien sedang koma. Kadang melonjak dikit, tapi didominasi garis datar dengan flashback janji-janji.

Para pemimpin Aceh berlomba-lomba terbang ke berbagai belahan dunia, dari Timur Tengah yang kaya minyak hingga China, negeri Tirai Bambu super-industri. Mereka membawa goodie bag berisi brosur potensi alam Aceh memesona. Kita dengar mereka memaparkan potensi migas, pariwisata halal, agroindustri, hingga rencana penuh ambisius seperti mendirikan maskapai Aceh Airlines.

Contoh teranyar, dalam bulan ini, Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) terbang ke Makkah dan Tiongkok. Di Makkah, dia memaparkan potensi kepada investor Timur Tengah, dengan kabar gembira salah satu perusahaan siap berinvestasi di Aceh Airlines dengan delapan pesawat.

Pertanyaannya, ini drama serius atau trailer yang diputar berulang-ulang? Pasalnya, perusahaan maskapai penerbangan lokal pernah ada di era Gubernur Abdullah Puteh. Setelah beberapa kali mengudara, eee... tak jelas rimbanya.

Narasi indah akan potensi Aceh memang benar adanya. Tapi, realisasinya sungguh... anti-klimaks. Mari kita lihat data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh.

Pada 2021, realisasi investasi Aceh sempat menyentuh Rp10,8 triliun. Angka ini melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) sebesar Rp6,6 triliun. Sebuah prestasi yang tentu membuat kita semua bertepuk tangan, sambil berharap ini bukan anomali.

Namun, coba perhatikan pola selanjutnya. Realisasi menurun. Tahun 2022, Menteri Investasi dan Kepala BKPM ketika itu, Bahlil Lahadalia secara terbuka menyoroti tantangan di Aceh dengan menyebut realisasi investasi turun menjadi Rp6,2 triliun. Penurunan signifikan ini jelas tamparan keras bagi narasi "iklim investasi kondusif".

Mari kita selami lebih dalam. Fakta bahwa sepanjang sejarah investasi Aceh, realisasi didominasi oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA), yang dielu-elukan dari hasil kunjungan luar negeri, seringkali hanya berupa tetesan.

Ambil contoh terbaru, Triwulan III 2025. Dari realisasi total yang disebut Rp4,16 triliun, PMDN menyumbang Rp 3,98 triliun, sementara PMA hanya Rp 185,7 miliar. Jadi, investor asing yang datang berdasi hanya menyumbang sekitar 4,5% dari total realisasi. Itu pun bukan industri padat karya yang diimpikan, untuk bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Seperti sudah lazim berlaku, tiap kali ada kunjungan very important person(s) atau VIP investor, sering dibarengi dengan penandatanganan MOU. Ini ibarat surat cinta yang ditulis ketika mabuk janji-janji. Tapi sayangnya, seringkali hilang setelah pesta usai.

Para gubernur kita dalam 20 tahun terakhir serta mungkin juga orang dalam (pipel in) lingkaran kekuasaan sepertinya masih menganggap roadshow investasi ke luar negeri merupakan semacam fashion show politik. Ajang pamer seolah mereka telah 'bekerja keras' dan 'bergaul secara global’ untuk menarik investor.

Padahal, investor sejati tak butuh selfie dengan gubernur di luar negeri. Mereka butuh kepastian hukum dan birokrasi yang lincah. Mereka tak mau berurusan dengan perizinan berbelit, regulasi daerah tumpang tindih dengan pusat, dan inkonsistensi kebijakan. Sejauh ini, di mata investor, Aceh masih dianggap memiliki risiko regulasi yang lebih tinggi dibanding daerah lain.

Selain itu, infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, jalan, dan energi yang andal (listrik tak byar pet) adalah syarat mutlak. Pelabuhan dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sering diiklankan tampaknya masih jauh dari kata prime time.

Isu-isu non-ekonomi seperti implementasi syariat Islam yang sering disalahartikan dan stabilitas keamanan, yang rawan isu politik lokal membuat investor long-term berpikir dua kali. Apa pun cerita, daerah bekas konflik masih tetap melekat meski Aceh sudah 20 tahun damai.

Kesimpulan sementara ini bahwa "Déjà vu Investasi" bagai tontonan draKor, yang menampilkan adegan sama. Pejabat bepergian ke luar negeri, tanda tangan MOU, buat press release tayang di media lokal, lalu pulang kembali ke kantor, sambil menunggu mukjizat.

Mungkin sudah saatnya mereka tidak lagi fokus pada marketing berupa lawatan luar negeri dan tanda tangan MOU. Coba pikirkan pada masalah utamanya yaitu mempersiapkan product antara lain birokrasi tak berbelit, regulasi jelas, dan kesiapan infrastruktur lokal.

Sudah saatnya skrip opera sabun diubah. Daripada menghabiskan anggaran untuk tiket pesawat dan gala dinner di luar negeri, lebih baik dananya dipakai buat menyewa konsultan terbaik untuk membuat kajian merampingkan birokrasi, menjamin kepastian hukum, serta menyiapkan lahan industri ready-to-build.

Jika iklim investasinya sejuk dan tentu saja menguntungkan, investor akan datang sendiri. Jadi, tak perlu dijemput dengan arak-arakan. Jika tidak, drama déjà vu ini akan terus berlanjut. Dan, kita hanya akan bisa tersenyum getir, sambil menanti triliunan janji tak kunjung tiba. Akhirnya, ayo kita seruput kopi luwak. PEACE…![**]

Penulis: Nurdin Hasan (Freelance Journalist)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI