Demokrasi Seremonial
Font: Ukuran: - +
Dosen FISIP USK dan Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grub. Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Kolom - Demokrasi telah hidup dan tersistem dalam negara Indonesia, namun itu hanya sebuah ekspresi perilaku kegiatan seremonial semata dari suatu kegiatan meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun bergeser esensinya dari tujuan berdemokrasi itu sendiri.
Tidak heran Indonesia terjebak dari rutinitas seremonial pelaksanan pesta demokrasi melalui instrument Pemilu. Tetapi melupakan bagaimana memperjuangkan demokrasi subtantif, dimana intinya memberikan dan mendistribusikan kebutuhan maupun menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas agenda politik resmi dari negara itu sendiri.
Diakui atau tidak, kita berdemokrasi lari dari hakikat nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pengelola negara luput memperjuangkan demokrasi subtantif, lebih cenderung nyaman melaksanakan kepemiluan. Itu pun orientasinya tertuju pada voter election, tidak melakukan pendidikan politik (voter education) bagi warganya.
Disinilah kegagalan negara hadir memberikan pencerdasan akan hak-hak ekosob dan sipol, serta memenuhi hak hak dasar kebutuhan publik warganya.
Jika itu semua terpenuhi maka bisa dipastikan Indonesia telah berhasil sampai esensi demokrasi subtantif. Sejalan dengan pemikiran Anthony Giddens, ia mengatakan demokrasi dapat tercipta apabila kesejahteraan masyarakat terwujud.
Hasil pencermatan dari berbagai referensi literatur dapat disimpulkan mengapa negara terjebak pada demokrasi seremonial, karena sejumlah factor penyebab yang melatarbelakanginya.
Pertama, negara tidak punya kemampuan untuk mengalokasikan dana yang maksimal alih-alih memadai untuk mendidik rakyatnya dalam hal demokrasi substantif melalui pendidikan politik bagi pemilih (political voter education).
Kedua, yang paling parah, penyelenggara pemilu selama ini justru kerap terjebak mengurusi teknis pelaksanaan peralihan kekuasaan. Tanpa peduli turut serta memberikan penyadaran politik.
Ketiga, gerakan masyarakat sipil-yang sedianya menjadi benteng terakhir dalam pendidikan politik-nyatanya tidak begitu tampak peduli terhadap bagaimana membantu kerja kerja pendidikan politik bagi masyarakat.
Gerakan masyarakat sipil setiap momentum politik tiba, kerap mendadak malah menjadi tandem bagi lembaga penyelenggara, khususnya dalam hal pengawasan penyelenggaraan pemilu. Tentu tidak salah. Pengawasan jelas harus melibatkan semua unsur agar pemilu berkualitas.
Namun sedianya aspek substantif demokrasi, yaitu bagaimana agar tidak hanya mewujudkan pemilu berkualitas, melainkan juga demokrasi yang juga berkualitas, haruslah menjadi tanggung jawab bersama. Padahal peran ini sangat strategis bagi gerakan sipil.
Keempat, partai politik secara kelembagaan tampak mandul dalam memberikan penyadaran politik. Kembali alih alih menjadi medium katalisator peningkatan pendidikan politik, dalam prakteknya partai justru kerap memberikan contoh buruk demokrasi bagi masyarakat.
Terutama dalam hal menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Etika demokrasi pun menjadi absrud dalam realitas dilapangan. Partai terjebak agenda pragmatisme kekuassan dan sikap oportunis sehingga tidak lagi punya ideologi demokrasi kesejahteraan (Welfare State)
Sehingga,di masyarakat terbentuknya budaya pragmatisme dan juga menikmati praktek politik uang dan hoax yang dilakukan elit. Disinilah esensi demokrasi subtansi tidak ada lebih mengikuti pola demokrasi seremonial.
Disinilah dituntut komitmen, keseriusan, dan konsisten dari pelaksana negara yakni elit politik untuk memujudkan demokrasi subtantif bukan melanggengkan demokrasi seremonial di negara Indonesia tercinta ini.
Menuju Arah Demokrasi Subtantif
Proses demokrasi masih dimaknai dengan memenangkan kontestasi, dengan cara apa pun yang yang dianggap benar. Ukuran suksesnya pun sederhana, yaitu tokoh yang diusung jadi pemimpin. Kualitas demokrasi yang demikian, tentu masih dari nilai hakiki demokrasi.
Tetapi itu semua adalah praktik demokrasi yang tengah kita alami sebagai demokrasi yang sah secara prosedural walaupun dari kacamata demokrasi substantif, masih jauh panggang dari api.
Demokrasi substantif sejauh ini masih sebatas kerinduan, artinya mimpi untuk mencapai demokrasi yang berfokus pada kepentingan rakyat mungkin saja bisa terwujud. Namun syaratnya, para pihak perlu memastikan proses pemilu yang bebas dari politik uang dan kampanye negatif yang berisi ujaran kebencian serta membawa isu SARA.
Maka perlu didesain seperti apa konsep tata kelola kepemiluan untuk mengurusi pendidikan pemilih. Perlu perubahan orientasi pendidikan pemilih dari hal sebatas teknis, seperti cara mencoblos ataupun pengenalan peserta pemilu, menjadi jauh lebih mendalam dan menuju hakikat demokrasi. Pendidikan pemilih perlu dirancang agar mengedepankan konsep pendalaman demokrasi (deepening democracy).
Disisi lain, harus ada konstribusi pihak pihak lainya seperti media, akademisi, perlu memberikan kontribusi nyata agar pemilih sadar bagaimana pentingnya memanfaatkan hak politik mereka, agar tidak dimanfaatkan oleh elit politik yang haus kekuasaan.
Sehingga, diharapkan dalam momentum pesta demokrasi serentak pemilu 2024 mendatang, Indonesia tidak kembali terjebak dalam kubangan demokrasi seremonial. Kini kembali ke kita, apakah kita mau mengubahnya.
Semoga hati kita tergerak untuk memperbaikinya, karena negeri ini butuh manusia yang peduli dan mau melakukan perubahan, Kalau bukan kita yang melakukanya siapa lagi??? **