Selasa, 23 Desember 2025
Beranda / Kolom / Cerita dari Perspektif Ilmu Perencanaan

Cerita dari Perspektif Ilmu Perencanaan

Selasa, 23 Desember 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hendri Yuzal

Hendri Yuzal, mantan pekerja BBR NAD Nias (kanan). [Foto: dokpri]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Pasca penugasan ke Aceh beberapa waktu lalu dalam rangka koordinasi persiapan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, Suprayoga Hadi menyampaikan keprihatinan mendalam sekaligus perhatian serius terhadap kondisi Aceh. 

Bersama Masry SpAn dan Teuku Afriza, kami berdiskusi mengenai sejumlah isu krusial yang memerlukan tindak lanjut terpadu oleh seluruh pemangku kepentingan. Isu-isu tersebut tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan mendesak pada fase tanggap darurat, tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap efektivitas transisi menuju pemulihan yang berkelanjutan.

Pertama, dalam konteks masa tanggap darurat yang masih berlangsung, kebutuhan akan dukungan alat berat dan kehadiran relawan tetap sangat signifikan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa proses pembersihan material banjir -- mulai dari lumpur, puing bangunan, hingga timbunan sampah dalam skala besar -- masih terus berlangsung hingga kini. Di saat yang sama, relawan yang terorganisasi masih sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk pekerjaan fisik, tetapi juga untuk dukungan sosial, logistik, serta pendampingan bagi masyarakat terdampak.

Kedua, pembangunan Hunian Sementara (Huntara) menjadi isu yang tidak kalah mendesak. Huntara bukan semata solusi tempat tinggal sementara, melainkan bagian integral dari upaya pemulihan martabat, rasa aman, dan stabilitas sosial masyarakat. Karena itu, penentuan lokasi Huntara harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan peta risiko bencana, kesesuaian tata ruang, status lahan, serta akses terhadap infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kekeliruan dalam penentuan lokasi berpotensi menciptakan kerentanan baru dan memperpanjang penderitaan warga. Huntara seharusnya diposisikan sebagai jembatan strategis menuju hunian tetap yang aman, layak, dan berkelanjutan.

Ketiga, percepatan transisi dari masa tanggap darurat menuju fase rehabilitasi dan rekonstruksi mensyaratkan kerja kolektif dan sinergi yang kuat antaraktor. Kompleksitas dampak bencana di Aceh tidak mungkin ditangani secara parsial oleh satu pihak. Pemerintah pusat memegang peran penting dalam penyediaan kebijakan, pendanaan, serta koordinasi nasional, sementara pemerintah daerah menjadi ujung tombak implementasi di lapangan. Pada saat yang sama, kontribusi lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan dunia usaha perlu diorkestrasi agar selaras dengan rencana induk pemulihan, sehingga bantuan yang diberikan tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Partisipasi aktif masyarakat setempat menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan hasil rehabilitasi dan rekonstruksi.

Keempat, untuk memastikan efektivitas kerja kolektif tersebut, keberadaan regulasi yang jelas dan komprehensif menjadi kebutuhan mendesak. Regulasi ini harus mampu menjadi payung hukum bagi pelibatan multiaktor, mengatur pembagian peran dan kewenangan, mekanisme koordinasi, serta menjamin akuntabilitas dalam penggunaan sumber daya. Selain itu, regulasi yang kuat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, terutama terkait pengadaan barang dan jasa, penggunaan lahan, relokasi penduduk, serta penyaluran bantuan dari pihak nonpemerintah. Tanpa kerangka regulasi yang memadai, upaya pemulihan berisiko berjalan tanpa arah yang jelas dan sulit dikendalikan.

Kelima, pembelajaran dari penanganan bencana di masa lalu menunjukkan bahwa tata kelola data dan informasi harus menjadi perhatian utama sejak tahap awal. Ketiadaan data yang akurat dan terpadu kerap menjadi hambatan serius dalam penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Karena itu, diperlukan sistem pengelolaan data yang mampu menyajikan informasi secara akurat, mutakhir, terverifikasi, dan mudah diakses oleh seluruh pemangku kepentingan. Tata kelola data yang baik akan menjadi fondasi bagi perencanaan berbasis kebutuhan riil di lapangan, sekaligus mendukung pengambilan keputusan yang tepat, transparan, dan akuntabel.

Berbagai isu krusial tersebut menegaskan bahwa keberhasilan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Aceh sangat ditentukan oleh kecepatan respons awal, ketepatan kebijakan, kekuatan kolaborasi lintas sektor, kepastian regulasi, serta kualitas data pendukung. Tanpa pengelolaan yang terintegrasi dan berorientasi jangka panjang, proses pemulihan berisiko tidak optimal dan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat terdampak. [**]

Penulis: Hendri Yuzal (Mantan pekerja BBR NAD Nias)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI