Bang Nurdin AR
Font: Ukuran: - +
Reporter : Otto Syamsuddin Ishak
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Awal 1990-an, pertama sekali saya bertemu Nurdin AR. Saya sebagai dosen muda mengikuti kursus Bahasa Inggris, dan beliau salah satu dosennya. Kemudian, beliau ditangkap dan dipenjara karena terkait Aceh Merdeka (AM).
Lama, saya tak bertemu dengan dosen yang rapi itu. Beliau necis, sangat Aceh sekali gayanya.
Lalu, saya ketemu lagi, dalam acara di sebuah warung di Lamnyong, selepas beliau di penjara, 1998. Saya cukup kenal dengan Bang Nurdin dan Bang Hasbi, entah mengapa. Mereka mengatakan terima kasih pada saya karena tulisan-tulisan saya di koran lokal, rupanya sangat menghibur. Katanya: “setiap ada artikel saya, maka mereka berebut untuk membacanya.
Suatu hari, saya kedatangan orang Hendry Dunant Centre (HDC). Mereka ingin mengetahui siapakah yang besar antara GAM dengan MP-GAM. Sejak itulah saya mulai belajar tentang proses perdamaian.
Apalagi, Ketika Tim HDC kembali ke saya, mereka minta tolong pada saya unyuk mengumpulkan orang-orang GAM. Saya katakan: “Itu suatu hal yang tidak mungkin bisa saya lakukan. Siapa saya?.”
Dari Tim HDC saya mengetahui pertemuan itu atas restu Tgk Abdullah Syafii. Maka pertemuan dilangsungkan di sebuah gedung perguruan tinggi di pinggiran Banda Aceh. Bang Nurdin salah satu dari sejumlah tokoh GAM yang hadir.
Kemudian kami berangkat ke Davos, Jenewa via Bangkok, pada April 2000. Ketika tiba di Bangkok, Zakaria Saman sudah menunggu di Bandara. Dari Bandara ke hotel dengan taxi. Mereka bernostalgia. Saya bengong karena orang baru dalam kawanan itu.
Mereka berkhayal bagaimana hidup mereka bila Aceh meraih kemerdekaan. Seingat saya, Zakaria Saman mengatakan akan membeli moge untuk pergi berkebun ke Tangse. Tidak ada kalimat bahwa ingin menjadi gubernur.
Esoknya, kami urus visa ke kedutaan Swiss. Ketika berangkat, Zakaria Saman menjadi bagian delegasi dari Aceh. Tiba di Bandara Frankfurt jelang subuh, kami bertemu dengan tim dari Swedia, antara lain, Hasan Tiro, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.
Sepanjang perjalanan, bila ada waktu saya banyak bertanya pada Bang Nurdin tentang Hasan Tiro. Karena saya sudah mulai tahu bahwa beliau banyak mengetahui hal tentang Aceh Merdeka. Saya terkesan bahwa beliau orangnya cerdas, keras dalam berprinsip, banyak mengetahui, rasional dan tidak dogmatis. Setiap informasi selalu diperiksa dengan sumber lain.
Pada saat itulah, saya mengecek rumor tentang Hasan Tiro yang banyak beredar, baik dari buku yang ditulis oleh tokoh DI/TII maupun yang beredar di warung kopi. Bahwa kekayaan Hasan Tiro, salah satu sumbernya, bersumber dari uang yang dikumpulkan untuk pembelian senjata DI/TII.
Bang Nurdin mengatakan bahwa dia telah mengecek rumor itu pada sejumlah tokoh DI/TII. Hal itu tidak benar. Mungkin hal demikian lebih merupakan kampanye intelijen untuk membusukkan Hasan Tiro sehingga rakyat Aceh antipati. Ya, kalau di zaman now, mungkin, hal demikian adalah kerjaan para buzzer untuk memproduksi hoax (jika tidak dapat dikatakan memproduksi fitnah).
Karena itulah, ketika berada di lobi hotel, saya sengaja berjalan memutar di belakang kursi Hasan Tiro untuk melihat kerah jas yang dikenakan beliau. Beliau selalu perlente, mengenakan jas biru tua, dan sapu tangan di kantong. Padahal kami hendak jalan mencari makanan. Ternyata, saya melihat ada garis memudar di kerah jas.
Demikian juga pada saat diajak ke kamarnya oleh Hasan Tiro, saya melihat barang-barang bawaannya semua sudah tua: tas echolac jadul warna coklat dan tape recorder butut.
Di sisi lain, saya juga mendengar salah satu delegasi dari Aceh mengumpulkan uang dari para panglima wilayah untuk diberikan kepada Wali. Kesemua uang itu ditukar dollar di Medan. Namun, dollar itu tidak diberikan langsung pada Hasan Tiro, melainkan diberikan pada salah seorang anggota delegasi dari Swedia.
Ketika perundingan mulai berjalan, maka Nurdin AR menyentil isu HAM berdasarkan pengalaman empirisnya sendiri, yakni sejak beliau ditangkap hingga masa penahanan. Di situlah saya melihat bang Nurdin adalah delegasi GAM yang paling cerdas, menguasai realitas Aceh keseharian dan memiliki kemampuan politik negosiasi yang baik.
Saya lama tak bertemu beliau hingga pasca MoU Helsinki. Kebetulan saya diajak oleh Asmara Nababan, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed, Daniel Theodore Sparinga, Ph.D untuk bertemu dengan Profesor Ilmu Politik University of Oslo, Prof Olle Tornquist di Norwegia. Agendanya, untuk membicarakan tentang pembangunan demokrasi di Aceh pasca Tsunami dan MoU Helsinki.
Pada saat itu, Bang Nurdin masih di Norwegia. Kami bertemu di rumah orang Aceh. Jadi informasi tentang perdamaian Helsinki untuk pertama kalinya saya dapatkan dari Bang Nurdin.
Saya kira beliau adalah juru runding Aceh yang turut serta sejak awal (Jeda Kemanusiaan) hingga akhir (Helsinki), tapi belum saya dengar bahwa beliau mengklaim diri sebagai juru runding yang handal, di antara segudang juru runding di Aceh.
Atas dasar itulah, ketika saya dan Juanda Gamal diminta untuk memberi asistensi pada salah satu faksi politik di Pattani, Thailand Selatan, kami mencoba diskusi dengan Bang Nurdin. Beliau merespon dengan sangat antusias, seraya minum kopi di sebuah warkop di tengah pasar Bireuen.
Kami bertemu terakhir ketika Juanda dan ACSTF menggagas persiapan bagi caleg-caleg PA Aceh Besar untuk pileg 2019. Beliau memberikan materi tentang AM dan GAM. Sangat komprehensif, sistematis dan penuh hikmah.
Selamat jalan Bang! Al-Fatihah untuk Abang!
Penulis
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.