Bahayanya Politik Anti Identitas
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Tanda-tanda kebangkitan politik identitas untuk Pemilu 2024 sudah dimulai. Uniknya, tanda-tanda itu muncul dari kelompok politik yang anti pada politik identitas. Bahkan sikap anti politik identitas itu sudah dijelmakan seperti kehadiran genderuwo di siang bolong.
Padahal, dalam konteks keindonesiaan, politik identitas hadir bersamaan bersamaan dengan kebangkitan politik muslim, baik pada awal kemerdekaan (Orde Lama), maupun pada awal 1980-an (Orde Baru), yang secara umum adalah kemunculan jamaah-jamaah pengajian dalam kancah bernegara dalam bentuk apa pun.
Karena itu, kelompok-kelompok politik yang anti terhadap politik identitas, adalah cenderung atau sebagian besar dari golongan politik yang memiliki akar sentiment, atau anti keislaman, bahkan islamophobia.
Hal itu dipertegas dengan isu-isu yang dimunculkan oleh mereka, yang selalu terkait dengan radikalisme, intoleransi, terorisme, khilafah dan seterusnya, bahkan dikaitkan dengan kian maraknya gaya hidup (jilbab, jubah, jenggot, celana gantung, makanan halal, travel umrah, haji, dan seterusnya)
Dalam konteks keindonesiaan, pandangan golongan politik yang anti identitas tidak sejalan dengan basis kemajemukan masyarakat Indonesia, yang sudah diakui sebagai bhinneka tunggal ika, yang telah dijadikan identitas keindonesiaan secara konstitusional.
Politik identitas dipahami secara negatif, ada pun yang menjadi basis politik identitas di Indonesia, cenderung berbasis pada SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Jadi, golongan politik yang anti dengan politik identitas di Indonesia, adalah golongan politik yang mewarisi jargon-jargon sentiment yang dikembangkan pada masa Orde Baru, bahkan yang menjadi korban atau mengidap trauma politik Orde Baru. Bukan golongan politik yang berbasis pada kebinnekaan Indonesia secara kultural.
Karena itu, sebenarnya gerakan golongan anti politik identitas ini adalah sudah setua usia NKRI itu sendiri. Kita bisa lihat rivalitas atau konflik politik sejak masa awal republik ini berfundasikan pada agama, khususnya Islam, yang menjadi polar/kutub utama dikhotomi atau trikhotomi politik.
Hal ini bisa dilihat pada hasil-hasil penelitian aliran politik, diantaranya hasil penelitian Geertz, yang menemukan trikhotomi keislaman di Jawa (santri, priyayi dan abangan). Tentunya juga dapat dilihat dari hasil penelitian politik di masa Orde Lama, yakni: dikhotomi politik Islam Jawa dan luar Jawa, seperti Masyumi-NU; dan kemunculan organisasi keislaman lokal, yang juga turut bermetamorfosa menjadi partai politik berbasis agama (Islam).
Lalu, apakah golongan politik identitas (politik keislaman) berbahaya bagi ketahanan nasional?
Dalam konteks sejarah politik Indonesia, yang justru berbahaya, adalah tindakan-tindakan golongan politik anti identitas. Pada masa Rezim Soekarno yang dibasmi justru golongan politik identitas, misalnya Masyumi, atau DI/TII Kartosuwirjo. Soekarno justru membangun payung politik bersama dengan golongan politik anti identitas, yang disebut sebagai Nasakom.
Namun, kejatuhan Rezim Soekarno tidak lepas dari keberhasilan golongan politik anti identitas menyusup ke dalam tubuh negara atau NKRI, khususnya aparat negara yang dibolehkan menggunakan instrumen kekerasan (Weber). Kudeta adalah puncak destruksi golongan politik anti identitas.
Demikian pula pada masa Rezim Soeharto, yang justru dibasmi adalah golongan-golongan politik identitas, dengan berbagai cara.
Ada dengan cara memunculkan dan membasmi Komando Jihad (Komji), melarang golongan politik identitas menghidupkan partai (Masyumi), dan partai yang sudah ada dilebur dan diintegrasikan (PPP). Cara lain, dengan merawat SARA sebagai isu pemecahbelah bangsa.
Soeharto, praktis bukannya jatuh karena aksi golongan politik identitas. Tokoh muda golongan anti identitas menjelma menjadi penggerak utama golongan politik anti identitas. Lalu, sejalan dengan perubahan politik global paska runtuhnya Gedung WTC, sudah semakin menghidupkan hidup isu politik terorisme, radikal, khilafah dan seterusnya.
Isu-isu itu menjadi arus utama di dalam tindakan-tindakan aparat bersenjata membasmi golongan politik identitas. Contoh mutakhir adalah tindakan Pangdam Jaya, yang menyatakan: turunkan baliho FPI dan HRS, mendorong untuk membubarkan FPI, dan menghindari fanatisme dalam beragama, dan lain lain.
Cermin historis lainnya di masa Rezim sekarang adalah tragedy pembunuhan pada Km 50. Hal ini semakin tegas menunjukkan adanya kesamaan aktor dengan targedi pembunuhan Brigadir J, yakni melibatkan anggota sindikat Sambo.
Meskipun peristiwanya mirip (penembakan, modusnya penghilangan dan perusakan barang bukti, serta pemusnahan TKP) dengan pelaku sindikasi aparat yang sama, namun perlakuan secara hukum berbeda.
Namun, hal yang penting bahwa para aktor dalam sindikasi pembunuhan itu adalah cenderung pada golongan politik anti identitas.
Bukankah berarti bahwa ketahanan nasional NKRI yang tangguh itu, justru dihancurkan oleh sindikasi instrument pertahanan dan keamanan negara yang cenderung berafiliasi ke golongan politik anti identitas?
Roda gila anti politik identitas mulai diputar oleh golongan politik tertentu. Apakah peristiwa politik ke depan (2024) akan mengulang kembali peristiwa sejarah di masa Orla, Orba dan OrRe 1998?*
*Penulis adalah sosiolog dan alumni Lemhanas, PPSA-XX.