Beranda / Kolom / Tradisi Panglo dan Ekonomi Pedesaan Perempuan Gayo

Tradisi Panglo dan Ekonomi Pedesaan Perempuan Gayo

Kamis, 07 April 2022 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Husaini Yusuf, SP., M.Si. [Foto: For Dialeksis]


Oleh Husaini Yusuf, SP., M.Si


Ketika kita bicara Gayo, tentu semua ingatan kita langsung tertuju jauh ke daerah dataran tinggi penghasil komoditas unggulan kopi arabika tersebut. Karena disanalah salah satu kopi arabika terbaik Indonesia dihasilkan, meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.  

Memang secara geografis, mereka dianugerahi karunia tak tertandingi oleh Allah Swt yang tak dimiliki orang lain di banyak tempat. Komoditas tersebut menjadi primadona bagi penduduk dataran tinggi itu sebagai tulang punggung ekonomi dan masa depan.

Dataran tinggi Gayo itu bukan saja dikenal dengan kopi arabika-nya, namun disana juga tersedia banyak kearifan lokal dan adat istiadat yang kuat sebagai simbol perekat hubungan sosial masyarakat dalam beragam aktivitasnya.

Kita selama ini memang mengenal tarian kolektivitas Tari Saman yang merupakan salah satu tari tradisional asal Gayo yang bahkan sudah cukup dikenal di seluruh mancanegara. Tarian satu ini merupakan sebuah tarian suku dataran tinggi Gayo.

Tarian Saman kerap disajikan ketika perayaan peristiwa-peristiwa penting di dalam bahkan di luar negeri sekalipun yang ditampilkan oleh komunitas Aceh dan juga para warga asing.

Ternyata, selain Tari Saman yang sudah populer itu, di dataran tinggi tersebut juga menyimpan ragam kearifan lokal yang menjadi simbol bagi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sosial dan ekonomi. Diantara kearifan lokal tersebut adalah tradisi Panglo.

Dalam artikel ringkas ini, saya sengaja mengangkat tradisi tersebut sebagai sebuah tradisi inspiratif bagi pembaca dan juga sebagai upaya dalam merawat tradisi lokal yang mengakar di masyarakat pedesaan. Karena secara sosial budaya dan ekonomi, kearifan lokal itu memberikan manfaat luar biasa bagi solidaritas masyarakat.

Tradisi Panglo memang tidak sepopuler layaknya Tari Saman. Namun, itu kerap dilakukan masyarakat terutama mereka yang mendiami kawasan pedesaan di kabupaten Gayo Lues. Tradisi tersebut acapkali dilakukan warga dalam aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

Dalam kegiatan ekonomi misalnya, Panglo sering dilaksanakan masyarakat dalam sektor pertanian. Mulai dari hulu hingga aspek hilir. Pada aspek hulu, komunitas masyarakat pedesaan memanfaatkan tradisi Panglo tatkala melakukan penanaman padi dan juga ketika mengelola lahan perkebunan.

Panglo merupakan bentuk kerjasama yang dilakoni para kaum perempuan dan juga laki-laki dengan membuat sebuah kelompok kecil yang tidak berbatas. Umumnya mereka berkumpul sekitar 5 hingga 10 orang dalam satu kelompok dengan sistem kerjasama saling membantu dan bergiliran dari satu lahan ke lahan petani anggota lainnya yang tergabung dalam kelompok hingga selesai.

Salah satu yang ditunjukkan kaum perempuan di Desa Penosan, Kecamatan Blang Jerango, Kabupaten Gayo Lues pada masa pandemi Covid-19 adalah dengan memanfaatkan tradisi Panglo dalam menggerakkan kegiatan roda ekonomi petani. Pola ini sangat efektif untuk menekan biaya produksi usahatani padi mereka.

Diantara tradisi Panglo yang sering dilakukan komunitas petani perempuan antara lain pada aspek penanaman, penyiangan rumput, dan saat panen. Bagi petani yang jadwal tanam pada lahannya, maka mereka harus menyiapkan makanan dan minuman untuk kebutuhan anggota kelompok hingga siang hari.

Pada saat mewabahnya Covid-19, kondisi ekonomi petani khususnya di Kabupaten Gayo Lues sangat sulit, stagnan dan sangat menyulitkan petani. Namun, bagi petani perempuan Gayo Lues, hal itu dapat terbantukan dengan adanya tradisi yang masih mengakar tersebut. Paling tidak, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar upah tanam, penyiangan dan panen.

Untuk lahan sawah seluas 1 ha misalnya, biaya kebutuhan upah yang harus dikeluarkan untuk ketiga tahapan tersebut bisa mencapai 10 juta. Bayangkan, itu bukan hal mudah bagi mereka. Apalagi dimasa paceklik pandemi Covid 19. Namun kearifan lokal itu sangat membantu mereka mengatasi kekurangan materi tersebut.

Tradisi ini didasari dari filosofi bahwa kehidupan manusia itu tidak dapat hidup tunggal, melainkan harus saling membantu satu sama lain guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Kondisi ini terjadi bukan tanpa sebab, mereka bisa menjalankan tradisi itu karena kekompakan dan saling membutuhkan satu sama lain.

Hasil amatan dan survey kami bahwa ternyata kolaborasi budaya Panglo itu bukan saja pada kegiatan usahatani padi, namun berdampak pula pada solidaritas masyarakat dalam aktivitas lainnya di luar sektor pertanian.

“Tradisi itu bukan saja saling membantu dalam usahatani namun juga menciptakan kerukunan dan keharmonisan antar warga diluar usahatani seperti dalam acara hajatan hidup (pesta) dan hajatan mati (kemalangan)” sebut Ketua Kelompok Tani Penosan Jailani Rapi

Fakta sosial yang ada di Kabupaten Gayo Lues dengan Tradisi Panglo-nya menunjukkan kepada kita bahwa untuk menciptakan kerukunan dalam komunitas masyarakat itu dibutuhkan kebersamaan dan interaksi yang intensif.

Kondisi ini biasanya mudah dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kesadaran kolektif atau meminjam bahasa Durkheim bapaknya Sosiologi yaitu Solidaritas Mekanik yang identik dengan komunitas pedesaan.

Kita berharap kesadaran kolektif itu dapat juga dijalankan oleh komunitas masyarakat modern meskipun ‘diikat’ dengan berbagai ‘perbedaan’ tugas, kesibukan dan hal lainnya sehingga kecenderungan menggantikan kehadiran fisiknya dalam suatu kebersamaan dapat diminimalisir. 


Penulis adalah: Peneliti di BPTP Aceh, Alumnus Pascasarjana Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengurus BPW PISPI Aceh. Tinggal di Gampong Jurong Peujera, Ingin Jaya, Aceh Besar. Email: hussainiyussuf85@gmail.com

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI