Alarm Politik untuk Mualem
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Aryos Nivada (Akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub). Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Kolom - Mumpung masih ada waktu. Sebelum semuanya berantakan. Tutup peluang lawan mengambil keuntungan. Segera pikir ulang. Sebab, alarm kalah berulang sudah mulai kelihatan.
Pengusungan Fadlullah alias Dek Fad adalah tanda alarm pertama. Dek Fad bukan calon yang diambil dari hasil seleksi yang dilakukan Partai Aceh. Partai-partai yang ikut mengusung Mualem tidak nyaman. Ini bisa memicu potensi menarik dukungan.
Harusnya, dilakukan rapat konsolidasi lintas partai koalisi pengusung Mualem. Jangan sampai partai yang mengusung merasa hanya dijadikan barisan ‘intak linto’ saja, tanpa dihormati dan dihargai keberadaan mereka di dalam koalisi.
Bila tanda-tanda picah kongsi itu terbaca pihak lawan, sangat mungkin akan ada penyeberangan untuk mengusung kandidat lain. Peluang Bustami Hamzah yang awalnya terlihat ‘apoh apah’ dalam menggalang dukungan jadi punya nafas tambahan untuk memperkuat barisan pengusung.
Mualem lupa kalau dirinya pernah kalah di Pilkada 2017. Saat itu, secara sepihak mengusung calon wakil dari partai yang juga diputuskan sendiri. Meski ada banyak partai yang ikut bergabung, namun mereka tidak menggerakkan mesin partainya secara maksimal.
Berbeda jika keputusan dihasilkan dari rapat bersama. Semua partai pendukung dan partai pengusung akan bertanggung jawab dan bekerja terhadap apa yang sudah diputuskan secara bersama.
Ada pengalaman lain yang juga bisa dijadikan pelajaran. Sarjani sukses mengambil semua partai saat di Pilkada 2017. Apa yang terjadi? Sarjani dikalahkan oleh Abu Chik “Roni Ahmad” karena mesin pendukung Sarjani tidak berkerja maksimal.
Penetapan Dek Fad juga mengabaikan peran Tuha Peut Partai Aceh yang sekaligus Wali Nanggroe. Posisi Wali Nanggroe merujuk pidato Abu Razak di Hari Damai Aceh sedang berada di Rusia. Jika benar mengabaikan Wali Nanggroe maka ini juga akan melemahkan dukungan dari para mantan kombatan.
Itu terkait kemampuan mereduksi dan menetralisir gejolak dikalangan partai pendukung dan dikalangan internal eks kombatan. Jangan sampai merugi untuk kedua kalinya dengan menelan kekalahan.
Hal lain upaya melakukan konsolidasi lintas ulama penting jangan sampai berdampak terhadap keberlanjutan ketika masuk di arena Pilkada. Tekanan dari ulama yang difasilitasi masyarakat sipil jika tidak diantisipasi dapat membuat ulama meninggalkan Mualem dan berpindah dukungan kepada lawan dengan menjadikan ulama sebagai calon wakil.
Intinya, Mualem perlu calon wakil pendampingnya yang mampu menjadi sosok penetralisir agar di terima oleh semua pihak, apakah itu dari partai pendukung, kalangan internal, direstui Tuha Peut, nyaman juga bagi kalangan birokrat, teknorat dan akademisi.
Mualem juga butuh wakil yang mengerti pemerintahan. Sejarah membuktikan mereka semua mampu membuat perubahan berarti bagi pembangunan Aceh lintas sektor.
Artinya penghormatan terhadap proses dan prosedural yang sudah ditetapkan harusnya menjadi pedoman agar tidak merugikan pihak yang sudah mengikuti proses dari awal hingga akhir.
Mualem juga harus menjunjung tinggi dan menghargai mereka yang sudah bersusah payah menjadi hal terpenting agar tidak memunculkan penentang baru dari barisan sakit hati.
Sekarang tergantung Mualem. Mau menang atau mau kalah. Mau menghadapi segala tantangan dengan kepala tegak atau terperangkap dalam kepercayaan cit ka meunang karena presiden ka sajan tanyo. Satu yang pasti, sekarang ini alarm politik sebagai tanda bahaya sudah berbunyi. []
Penulis: Aryos Nivada (Akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub)