kip lhok
Beranda / Kolom / Akademisi, Politisi

Akademisi, Politisi

Minggu, 04 Februari 2018 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +



Seorang akademisi memberikan pendapatnya tentang kemacetan pembahasan anggaran belanja Aceh antara legislatif dan eksekutif pada sebuah media online. Lalu, koleganya merespon di dalam grup medsos para akademisi, kira-kira, begini: "Masyarakat telah menyerahkan kekuasaannya kepada legislatif, legislatiflah yang menjadi power utama."

Benarkah bahwa demokrasi merupakan sebuah proses penyerahan hak politik individu kepada individu lainnya, yang kemudian individu tersebut, sebagai anggota parlemen, menjadi kekuatan politik utama di dalam penghadapannya dengan pihak eksekutif? Sementara, individu yang berpartisipasi di dalam demokrasi itu telah kehilangan hak politiknya untuk menyatakan pendapatnya.

Sementara, perhatikan apa yang dikatakan oleh Rodee, dalam bukunya Pengantar Ilmu Politik, bahwa: "Manakala manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadinya melalui sumber yang tersedia, dan manakala mereka berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka akan melihat dirinya sibuk dengan kegiatan politik. Dalam pengertian yang luas ini, setiap orang adalah politisi." 

Jika apa yang dikatakan Rodee dipertimbangkan, maka dinamika kehidupan sehari-hari individu tidak terlepas dari berpolitik, sekaligus menunjukkan hak berpolitik tidak serta merta hilang manakala individu sudah berpartisipasi di dalam sebuah pemilihan umum, baik di dalam menentukan anggota legislatif maupun siapa yang menjadi eksekutif.

Apalagi ada penegasan dari Weber, bahwa setiap individu, sebagai warganegara, adalah anggota dari sebuah asosiasi politik, yang namanya: Negara. Oleh karena itu, interaksi-interaksi sosial yang terjadi antar anggota negara dapat dikatakan, hal itu adalah bagian dari berpolitik, sekaligus bernegara.

Jadi akademisi terbelah menjadi 2 kaum. Pertama, bagi kaum akademisi yang berpandangan adalah pelepasan hak politik, maka kehidupan bernegara ini ibarat penonton dan penari, yang telah melepaskan hak maka berperan sebagai penonton --menyaksikan; dan yang menerima pelepasan hak adalah penari, yang ditonton, hanya sebatas itulah interaksi antara warganegara dan politisi. Akademisi adalah penonton sebuah opera, duduk manis. Bahkan ketika para akademisi berebut penguasaan struktur di akademi, mereka berharap mahasiswa duduk manis, dan akan berang manakala ada sekelompok mahasiswa melakukan kritik, apalagi aksi protes.

Kedua, bagi kaum akademisi yang mengartikan proses demokrasi sebagai bagian dari pemberian amanah, maka mahasiswa selalu didorong untuk terlibat di dalam kebijakan: turut menyumbangkan ide, mengkritik, bahkan memprotes manakala terjadi penyimpangan. Akademi bukan panggung tarian, tapi arena pertunjukan Lenong yang semakin baik, dengan semakin tingginya partisipasi penonton. 

Karena itu, akademi yang memerankan diri sebagai penari, maka mahasiswa terbentuk sebagai penonton yang duduk manis. Sedangkan akademi yang memerankan diri sebagai aktor lenong, maka akan terbentuk mahasiswa yang selalu proaktif terhadap apa yang terjadi di panggung politik.*   


Penulis : Otto Syamsuddin Ishak



Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda