Ahistoris: Kamoe Menolak Kami?
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Kita sering, tanpa sadar, menjadi ahistoris. Kita sering, disatu sisi mengklaim diri membela konstitusi, tapi bertindak kontradiksi dengan konstitusi. Akhir-akhir ini, fenomena itu mulai menampak di Aceh. Hal itu ditunjukkan oleh (aksi) opini penolakan kehadiran KAMI.
Ada penolakan perseorangan atas dasar ketokohannya, yakni dari Cutman dan Ayah Polo.
Cutman yang pernah menjadi bagian dari GAM mengatakan konflik Aceh 30 tahun, dari DI/TII sampai GAM. Kalkulasi politiknya jelas keliru, karena DI/TII muncul 1953, dan GAM 1976. Belum lagi kalau dihitung mundur, ada PKI, ada revolusi sosial, ada era penguasaan Jepang dan Belanda.
Kemudian, apakah KAMI, sebagaimana yang dikatakan Cutman, memerankan “narasi politik identitas”? Apakah sama antara gerakan moral dengan gerakan politik identitas?
Bahkan, politik identitas, sebenarnya sudah menjadi fenomena politik global sebagai sinambung dari politik pelabelan terorisme yang menguat sejak ambruknya gedung WTC di AS pada 11 September 2001.
Apalagi, sepanjang gerakan perlawanan yang dilakukan oleh orang Aceh sejak zaman Belanda (1873) hingga GAM (2005) adalah berbasis pada identitas keagamaan, yakni Islam. Itulah basis politik sehingga orang Aceh disebut fanatik pada Islam. Lalu, mengapa Cutman menjadi penolak politik identitas?
Ayah Polo alias Mulia Budi, yang mengklaim sudah melakukan kajian, tapi tak menyebutkan perspektifnya. Ia berkata: ” Saya melihat KAMI serupa dengan gerakan ingin menjatuhkan pemerintah yang sah secara konstitusional, hal tersebut menjadi ancaman baru bagi negara kesatuan republik Indonesia.”
Opini tersebut membahayakan karena ahistoris. Bukankah sejarah bernegara di Indonesia menunjukkan fakta sebaliknya? Rezim jatuh, negara terus berlanjut hingga hari ini. Orde Lama jatuh, muncul Orde Baru.
Orde Baru dijatuhkan oleh gerakan reformasi 1998, negara berlanjut hingga ada rezim Jokowi untuk periode keduanya pada hari ini. Lalu, apakah mungkin bila rezim sekarang jatuh, maka negara akan hilang, apakah umat pecah?
Penolakan terhadap KAMI, juga dilakukan oleh massa, yang menyebut dirinya Aliansi Gerakan Masyarakat Cinta Kesatuan Republik Indonesia (GATA NKRI). Mereka menyatakan, antara lain: "Stop pecah belah anak bangsa demi keutuhan negara tercinta. Rakyat tolak deklarasi KAMI di Aceh".
Bagaimana bernalarnya bahwa KAMI bisa memecah belah (di Aceh)? Bagaimana KAMI memprovokasi pikiran orang Aceh? Apakah orang Aceh dianggap tidak memiliki pikirannya tersendiri yang tumbuh dalam konteks keacehannya?
Di sisi lain, bagaimana polisi dapat menolak kebebasan berserikat dan kebebasan berpendapat yang termaktub di dalam Konstitusi UUD NRI 1945? Apakah mereka lupa dengan UU 39/1999 tentang HAM?
Justru mereka yang berpikir ahistoris, lalu bertindak atau melakukan aksi, yang pantas diwaspadai karena sering kontradiksi antara yang dipikirkan atau yang diteriakkan dengan yang ia lakukan. Mereka melabel pihak lain memprovokasi, padahal mereka menghasut.
Mereka adalah pencipta hantu (politik) dalam kehidupan keseharian bernegara yang demokratis disiang bolong!*
penulis: Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.